[caption id="attachment_393325" align="alignnone" width="640" caption="Saya dan teman-teman yang beruntung dan terpilih dalam program newmontbootcamp yang diselenggarakan oleh PT.NTT. Nampak para peserta sedang turun dari bus menuju lokasi pelatihan dan simulasi (dok.pri)."][/caption]
"saya sudah kerja 6 tahun sama sekali belum melihat pit, bahkan ada yang 15 tahun sama sekali belum pernah melihat haul" kata salah satu staff di laboratorium PT.Newmont Nusa Tenggara. Siang ini di jam  istirahat saya berhasil meledek habis-habisan beberapa pegawai di divisi lingkungan hidup karena katanya kerja di pertambangan, tetapi belum melihat seperti apa pertambangan itu. Saya yang awam sama sekali tidak pernah bermimpi melihat tentang seluk beluk pertambangan, tetapi sangat beruntung terpilih menjadi peserta Newmont Boot Camp untuk melihat secara langsung dunia pertambangan.
Saya bisa melihat muka bumi digali berbentuk kerucut selebar hampir 2 km dan sedalam 1 km, bisa naik truk raksasa dengan roda 300an juta, hingga menyentuh cairan konsentrat berisi mineral berharga. Di awali ajakan teman dengan memberikan sebuah tautan di kompasiana.com. Kebimbangan seorang yang menggeluti dunia Biologi untuk melihat dunia pertambangan. Sesaat memeras otak, akhirnya sebuah tulisan bisa saya layangkan di kompasiana dengan judul Ada Apa Dengan Pertambangan. Isinya hanya ingin melihat pertambangan dari sisi ilmiah dan edukasi, terutama tentang isu kerusakan lingkungan.
[caption id="attachment_393326" align="alignnone" width="640" caption="Awal dari sebuah impian untuk terbang di pertambangan sumbawa (dok.pri)."]
Lamaran untuk ikut Newmont Boot Camp juga saya layangkan di PT.Newmont yang isinya apa yang ingin saya lakukan di pertambangan. Medio April 2013 tak disangka pengumuman muncul dan saya terpilih menjadi salah satu pemenang. Tak lama berselang saya dihubungi untuk wawancara untuk seleksi peserta melalui telepon, karena tidak bisa hadir di Jakarta. Akhirnya jawaban pasti saya peroleh, saya menjadi salah satu peserta yang akan dibawa ke Sumbawa selama 9 hari untuk melihat secara langsung tentang pertambangan.
Otak saya langsung berputar untuk menggali apa saja yang ingin saya lakukan sambil membayangkan tentang lobang besar menganga yang dinamakan pit, hingga monster-monster pemakan batu. Harapan ke sumbawa sepertinya harus pupus manakala ada peraturan pemerintah yang mengharuskan perusahaan tambang untuk mengolah hasil tambang. Disisi lain PT.NNT tidak memiliki smelter atau pengolah mineral, tetapi langsung mengekspor konsentrat untuk di kirim ke luar negeri untuk pengolahan metal berharga. Harapan semakin sirna, manakala karyawan dirumahkan dan aktifitas pertambangan berhenti.
[caption id="attachment_393327" align="alignnone" width="640" caption="Saya hanya bisa membayangkan dari ketinggian tentang ada apa di pertambangan (dok.pri)."]
Bayangan saya saat itu bukan tertundanya keberangkatan menuju sumbawa, tetapi nasib karyawan dan lingkungan. Karyawan tak lagi bisa bekerja dan lingkungan menjadi merana. Kabar baik pun datang selepas 3 bulan tidak beroprasi. Harapan menuju sumbawa pun muncul dan setelah penantian panjang akhirnya datang. Sebuah surat elektronik berisi tiket pulang pergi dan jadwal kegiatan diterima dan saatnya melanglang buana di tanah sumbawa. Mimpi tak lagi lagi harus dikejar, tetapi mimpilah yang mengejar saya karena ada 7 hari harus menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk kunjungan di pertambangan.
Mimpi yang mengejar saya untuk terbang dari Yogyakarta menuju Denpasar Bali. Secangkir teh panas ditangan, sambil sesekali melongokan wajah ke luar sambil melihat sayap-saya yang memantul karena turbulensi saya hanya bisa membayangkan kejutan 7 hari ke depan. Dari ketinggian 38.000 kaki dengan kecepatan pesawat 845 km/jam seolah otak saya beku memikirkan bayangan dunia tambang, manakala melihat layar informasi sudu di luar -40C. Kali ini saya mencoba menikmati penerbangan daripada memikirkan apa yang ada di darat sana.
[caption id="attachment_393328" align="alignnone" width="640" caption="Denpasar menyambut saya dengan tenggelamnya sang surya (dok.pri)."]
Dari Denpasar saya hanya diberi kesempatan buang air kecil sebentar, sebab pesawat yang akan menerbangkan mimpi saya menuju Lombok sudah siap tinggal landas. Cuaca yang kurang baik membuat beberapa kali pesawat berbaling terguncang. Cara ampuh mengurangi ketegangan adalah dengan membaca majalah yang disediakan. Tangan ini meraba-raba ke atas kabin untuk menyalakan lampu baca. Saat telunjuk ini menekan tombol, nyala lampu tak kunjung tiba, namun hanya suara mirip bel pintu dengan satu nada suara. Alhasil setelah berulang menekan-nekan tombol datanglah awak kabin. "maaf saya saya pencet", manakala baru sadar itu tombol panggilan dan awak kabin pun yang menyalakan lampu. Dalam benak saya "sengsara membawa malu".
[caption id="attachment_393329" align="alignnone" width="640" caption="Pentingnnya melihat dan tak hanya meraba, manakala saya salah memencet tombol (dok.pri)"]
Dalam gelapnya malam akhirnya roda-roda burung besi berbaling 2 mendarat di bandara Praya Lombok. Sesaat seorang menelepon saya dan mengantarkan saya di hotel di Mataram. Malam pertama di Lombok, saya bertemu dengan 2 peserta dari Bandung yang sama-sama sehari lebih cepat datangnya.
Penantian panjang dan melelahkan terbayar manakala tubuh ini menceburkan diri di kolam renang hotel, sesaat sebelum salah satu staff menjemput kami untuk dibawa ke Sumbawa. Di tepi kolam renang sesaat saya tak percaya dengan mimpi-mimpi saya. Saya teringat cerita tentang Aristoteles yang bertanya pada Plato tentang apa itu hidup. Plato lantas menenggelamkan kepala muridnya hingga hampir kehabisan nafas, lalu menariknya keluar dan berkata "itulah hidup" sambi melihat Aristoteles yang terengah-engah. Hal serupa saya lakukan, "ini bukan mimpi, tapi kenyataan" kembali saya berenang manakala mimpi kembali mengejar.
[caption id="attachment_393333" align="alignnone" width="640" caption="Pulau Lombok. awal dari penjelajahan kami di Sumbawa (dok.pri)."]
Dalam sebuah kabin mobil dengan 4 percepatan saya duah berani meledek 3 pegawai tambang. Lalu saya berkata pada staf "mau lihat pit dan naik haul, ikutlah bootcamp" dan mereka tertawa. Penggalan sebuah cerita selama 7 hari yang akan membawa saya keluar dari mimpi. Dari sebuah lomba dengan gagasan sederhana, akhirnya menjadikan saya sebagai salah satu yang mendapat kesempatan melihat daerah yang lalat pun tidak bisa masuk jika tak memiliki ID card.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H