[caption id="attachment_393458" align="alignnone" width="640" caption="Bandara Lombok, nampak pedagang asongan yang berjulan di depan sebuah rumah makan modern dan anak-anak terlihat asyik bermian troli (dok.pri)"][/caption]
Kedua wajah pramusaji terheran-heran melihat saya dengan Rahma. Kita bak seperti sedang dalam masalah, manakala kedua raut muka kami memerah sambil sesekali meneteskan air mata. Mereka pterlihat sungkan sehingga hanya sesekali curi pandang ke saya dan Rahma. Benar, saya dan Rahma sedeng bermasalah manakala air mata menetes, keringat mengucur dan kadang mulut terengah-engah.
"saya tadi pesan 2 porsi nasi goreng tidak pedas, kenapa ini rasanya pedas sekali", kedua pramusaji tetap bersikeras bahwa masakannya tidak pedas. Saya sadar, baru saja terbang dari tempat tinggal saya di Yogyakarta menuju Lombok-NTB. Sebuah budaya kuliner yang begitu kontras, sehingga gegar makanan begitu terasa. Hingga 7 hari ke depan saya dan Rahma harus bersiap dengan menu pedas khas Lombok, dimana perut mudah sekali menolak.
[caption id="attachment_393459" align="alignnone" width="640" caption="Salah satu lorong menuju bandara yang berubah menjadi pasar dadakan. Nampak seorang pembeli sedang membayar untuk beberapa buah yang dibelinya. Dibelakang penjual buah nampak merek yang sedang melihat pesawat sedang tinggal landas dan mendarat.(dok.pri)."]
Pesawat baling-baling yang saya tumpangi mendarat dengan mulus di bandar udara Lombok di Praya menjelang malam. Setelah hampir setengah hari mengangkasa saatnya menikmati romansa jetlag, manakala perbedaan 1 jam begitu terasa manakala jam biologis sedikit terguncang dari kesetimbangan. Dibalik bergesernya jam biologis yang lebih cepat 1 jam, saya masih teringat suasana bandara malam itu tentang orang-orang yang ada di ruang penjemputan dan ingin melihatnya lagi lebih dekat lagi keesokan harinya.
Pagi yang cerah usai kecele di pasar, karena terlalu pagi menyambangi sebab pedagang belum menggelar dagangan dan pembeli belum berdatangan. Rasa kecewa akhirnya tertebus manakala menjelang siang kaki ini dibawa ke bandara. Dari sekian banyak bandara yang saya kunjungi, baik bandara yang paling maju dan modern dalam dan luar negeri, tetapi baru bandara ini yang memiliki keunikan tersendiri. Saya seolah begitu sumringah melihat suasana bandara yang tidak seperti dan layaknya bandara.
[caption id="attachment_393460" align="alignnone" width="640" caption="Larangan merokok di kawasan Bandara sepertinya bukan masalah di sini, terlihat pedagang menawarkan rokok kepada saya (dok.pri)."]
Pak Fahri yang menemani saya nampak tersipu manakala saya bertanya "ini bandara pak..?". Sepanjang lorong menuju bandara nampak pedagang menggelar dagangan di kanan kiri jalan. Aneka jajanan, makanan kecil, nasi bungkus, beragam jenis makanan dan bermacam merk rokok dijajakan. Benar-benar seperti pasar tiban, jika saya melihat para pedagang ini memenuhi sisi luar lorong. Di pagar yang membatasi lapangan terbang nampak anak-anak dan orang tua saling menunjuk pesawat manakala ada yang tinggal landas dan mendarat.
Langkah kaki ini menuju ruang tunggu bandara. Suasana tidak jauh berbeda, sebab di dalam juga terdapat pedagang asongan. Di selasar nampak mereka yang menggelar tikar sambil membuka bekal makanan. Perkiraan saya tentang siapa mereka yang hadir dibandara dibantah oleh pak Fahri "mereka tidak menunggu atau mengantar penumpang pesawat, tetapi sedang piknik di bandara". Saya hanya diam dan melongo mendengar pak Fahri, sebab saya berpikir mereka sedang mengantar atau menjemput sanak keluarganya. Sungguh bandara yang tak hanya menjadi tempat berpisah dan bertemu, tetapi menjadi lokasi rekreasi para pelancong.
Nusantara memang kaya akan adat dan budaya serta memiliki ciri khasnya. Bagi saya yang tinggal di Jawa Tengah yang terbiasa dengan makanan tanpa cabai, kali ini harus kesepian di tengah keramaian. Saya hanya bisa merana manakala melihat teman-teman saya yang begitu beringas menikmati plecing kangkung yang dicocolkan dengan sambal. Tidak puas dengan plecing, maka tahu susu yang disapukan dalam sambal menjadi pelengkapnya. Tangan kanan dan kiri bahu membahu memisahkan daging dan tulang ayam taliwang yang berselimut bumbu pedas yang meresap. Saya hanya diam sambil menikmati apa yang tidak pedas, hanya tahu polos dan plecing yang belum tersentuh dengan sambal.
Lombok, sebuah pulau idaman yang saya kunjungi pada tahun 2003 manakala sendirian melakukan pendakian ke Gunung Rinjani. Sebuah kota yang penuh sejarah tepat di bawah kaki istana dewi Anjani. Kekaguman saya tak hanya pada lansekep bentang alamnya, tetapi pada budanyanya. Bahasa sasak yang kadang masih menyerempet bahasa Jawa halus membuat saya seperti tinggal di kampung sendiri.
Hari ini saya mencoba menapak tilas 11 tahun yang lalu dari perjalanan seorang diri, namun sekarang bersama rekan-rekan newmontbootcamp. Dengan menumpang bus carteran kami dibawa menuju pelabuhan khayangan yang bisa ditempuh 2-3 jam dari kota Mataram. Dalam guyuran hujan lebat, saya bernostalgia dengan Masbagik dan Aikmel yang familiar di telinga para pendaki gunung, karena dari kota tersebutlah perjalana menuju Sembalun dan Senaru sebagai intu gerbang Gunung Rinjani.
[caption id="attachment_393461" align="alignnone" width="640" caption="Pelabuhan Kayangan, khusus untuk kapal cepat dan dermaga PT.NNT (dok.pri)."]
Tujuan kami adalah pelabuhan Kayangan yang nantinya kami akan berpindah di kapal cepat yang akan menyebrangkan kami menuju Benete di Pulau Sumbawa. Untuk menuju Benete hanya dilayani oleh kapal cepat, sedangkan menuju Sumbawa bisa dilakukan dengan naik kapal Feri menuju pelabuhan Pototano. Kapal cepat yang kami tumpangi adalah Tenggara 1 yang biasa dipakai oleh karyawan PT.NNT dan masyarakat umum. Untuk karyawan PT.NNT bisa menggunakan layanan transportasi ini secara cuma-cuma, dan masyarakat umum harus membayar sekitar Rp 120.000,00.
[caption id="attachment_393462" align="alignnone" width="640" caption="Tiket berupa kartu sudah di tangan dan saatnya menyebrang menuju Benete (dok.pri)."]
Nusantenggara 1 adalah kapal cepat satu-satunya yang beroprasi sehari 2 kali dari Kayangan menuju Benete. Pagi dari Benete pukul 08.00 dan Sore sekitar pukul 03.00, sesampai di Kayangan langsung balik menuju Benete. Melintasi selat Alas kadang harus menikmati ganasnya pertemuan arus Samudra Hindia dengan Laut Bali yang kadang-kadang menghasilkan ombak besar. Dengan ID Card dari PT.NNT kami langsung dipersilahkan masuk dengan melewati pos pemeriksaan dan tas dan barang bawaan harus mesuk dalam alat pemindai seperti di bandara.
[caption id="attachment_393463" align="alignnone" width="640" caption="Tenggara 1, kapal cepat yang menghubungan Kayangan dan Lombok (dok.pri)."]
Di dalam kapal, memiliki aturan yang ketat seperti halnya pada pertambangan. Peraturan ini semata-mata untuk keselamatan, dan tatacararnya tak berbeda jauh seperti dalam kabin pesawat udara. Pukul 16.30 Nusatenggara 1 sudah angkat sauh dan saatnya membelah ombak selat alas. Waktu tempuh menuju Benete sekitar 1,5 jam dan tergantung kondisi perairan. Hujan gerimis mengiringi kapal cepat yang kami tumpangi dan beberapa kali kapal terhendi karena ada benturan pada lambung perahu. Saat laut lepas, maka mesin kapal dipacu hingga 24 knot hingga badan kapal terguncang-guncang terkena hempasan gelombang.
[caption id="attachment_393464" align="alignnone" width="640" caption="Suasana dalam kapal cepat Tenggara 1 (dok.pri)."]
Pukul 18.00 kapal sudah merapat di dermaga PT.NNT dan hanya karyawan saja yang diperbolehkan turun, sedangkan masyarakat umum turun di pelabuhan NNT. Kami segera di bawa masuk ke dalam kantor PT.NNT untuk sekilas mengenal tambang New Mont terkait dengan keselamatan. Masing-masing dari kami menerima ID Card, mirip dengan E-KTP. ID Card ini berguna sebagai akses masuk ke lokasi pertambangan, perkantoran, camp site dan ruang makan. Dengan ID Card ini, kami bisa mengakses beberapa tempat atau tempat lain dengan ijin khusus. ID Card ini juga sebagai tiket masuk dalam ruang makan dengan cara memindai dipintu baru kita bisa masuk. Jika ID Card ini sampai hilang atau dicuri orang, maka tamatlah di pertambangan, sehingga kami harus menjaga dengan baik dan bak ibarat nyawa kami di selembar kartu.
[caption id="attachment_393465" align="alignnone" width="640" caption="Orientasi PT.NNT dan keselamatan selama di pertambangan (dok.pri)."]
Usai di perkenalkan dengan keselamatan dan aturan di PT.NNT kami dibawa masuk dalam bus yang akan membawa kami ke Town Site. Masing-masing tempat duduk di dalam bus dilengkapi dengan sabuk pengaman, dan semua penumpang harus mengenakannya. Dalam gelap malam bus menuju tengah hutan yang nantinya akan menjadi tempat tinggal kami selama 7 hari kedepan. 30 menit berlalu, akhirnya bus berbelok ke kanan dan terlihat rumah-rumah mirip barak berjajar dengan bangunan modern. Lampu-lampu penerangan jalan menghiasi sisi kanan kiri jalan.
Sebuah kota ditengah hutan belantara, itu yang terpikir dalam benak saya. Kota yang sepi dan senyap, dan nyaris tidak berpenghuni. Beberapa kendaraan dobel gardan melintas dengan tiang bendera lebih dari 3m dan bus-bus karyawan hilir mudik. Sampailah kami di camp site yang akan menjadi rumah kami selama 1 minggu. Ruangan seluas 3x4m dengan 2 buah tempat tidur nampak tertata rapi lengkap dengan pendingin udara. Saya melihatnya ruangan ini mirip hotel, dan benar inilah hotel ditengah hutan.
[caption id="attachment_393466" align="alignnone" width="640" caption="Camp site dengan segala fasilitas yang lengkap dan nyaman. Nampak seorang peserta NewmontBootcamp sedang ibadah Shalat (dok.pri)."]
Usai meletakan barang-barang kami segera diminta turun menuju green house untuk makan malam. Malam ini kami di ajak makan malam sekaligus penyambutan peserta NewmonBootcamp oleh pihak PT.NNT. Menu makanan mirip dengan acara nikahan, kami boleh mengambil sebanyak dan sepuasnya asal perut masih muat. Benar-benar makan besar, setelah seharian perjalanan. Malan ini kami beramah tamah sambil mengunyah, dan saya melirik Rahma ternyata menu makanan kami sama, sama-sama tidak pedas.
[caption id="attachment_393467" align="alignnone" width="640" caption="Sebuah pesan berantai, manakala perut sudah kenyang, badan sudah lelah dan mata mengantuk (dok.pri)."]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H