Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Lintas Alas Antara Lombok dan Sumbawa

27 Januari 2015   18:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:17 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_393458" align="alignnone" width="640" caption="Bandara Lombok, nampak pedagang asongan yang berjulan di depan sebuah rumah makan modern dan anak-anak terlihat asyik bermian troli (dok.pri)"][/caption]

Kedua wajah pramusaji terheran-heran melihat saya dengan Rahma. Kita bak seperti sedang dalam masalah, manakala kedua raut muka kami memerah sambil sesekali meneteskan air mata. Mereka pterlihat sungkan sehingga hanya sesekali curi pandang ke saya dan Rahma. Benar, saya dan Rahma sedeng bermasalah manakala air mata menetes, keringat mengucur dan kadang mulut terengah-engah.

"saya tadi pesan 2 porsi nasi goreng tidak pedas, kenapa ini rasanya pedas sekali", kedua pramusaji tetap bersikeras bahwa masakannya tidak pedas. Saya sadar, baru saja terbang dari tempat tinggal saya di Yogyakarta menuju Lombok-NTB. Sebuah budaya kuliner yang begitu kontras, sehingga gegar makanan begitu terasa. Hingga 7 hari ke depan saya dan Rahma harus bersiap dengan menu pedas khas Lombok, dimana perut mudah sekali menolak.

[caption id="attachment_393459" align="alignnone" width="640" caption="Salah satu lorong menuju bandara yang berubah menjadi pasar dadakan. Nampak seorang pembeli sedang membayar untuk beberapa buah yang dibelinya. Dibelakang penjual buah nampak merek yang sedang melihat pesawat sedang tinggal landas dan mendarat.(dok.pri)."]

14223310501591394929
14223310501591394929
[/caption]

Pesawat baling-baling yang saya tumpangi mendarat dengan mulus di bandar udara Lombok di Praya menjelang malam. Setelah hampir setengah hari mengangkasa saatnya menikmati romansa jetlag, manakala perbedaan 1 jam begitu terasa manakala jam biologis sedikit terguncang dari kesetimbangan. Dibalik bergesernya jam biologis yang lebih cepat 1 jam, saya masih teringat suasana bandara malam itu tentang orang-orang yang ada di ruang penjemputan dan ingin melihatnya lagi lebih dekat lagi keesokan harinya.

Pagi yang cerah usai kecele di pasar, karena terlalu pagi menyambangi sebab pedagang belum menggelar dagangan dan pembeli belum berdatangan. Rasa kecewa akhirnya tertebus manakala menjelang siang kaki ini dibawa ke bandara. Dari sekian banyak bandara yang saya kunjungi, baik bandara yang paling maju dan modern dalam dan luar negeri, tetapi baru bandara ini yang memiliki keunikan tersendiri. Saya seolah begitu sumringah melihat suasana bandara yang tidak seperti dan layaknya bandara.

[caption id="attachment_393460" align="alignnone" width="640" caption="Larangan merokok di kawasan Bandara sepertinya bukan masalah di sini, terlihat pedagang menawarkan rokok kepada saya (dok.pri)."]

142233118068944068
142233118068944068
[/caption]

Pak Fahri yang menemani saya nampak tersipu manakala saya bertanya "ini bandara pak..?". Sepanjang lorong menuju bandara nampak pedagang menggelar dagangan di kanan kiri jalan. Aneka jajanan, makanan kecil, nasi bungkus, beragam jenis makanan dan bermacam merk rokok dijajakan. Benar-benar seperti pasar tiban, jika saya melihat para pedagang ini memenuhi sisi luar lorong. Di pagar yang membatasi lapangan terbang nampak anak-anak dan orang tua saling menunjuk pesawat manakala ada yang tinggal landas dan mendarat.

Langkah kaki ini menuju ruang tunggu bandara. Suasana tidak jauh berbeda, sebab di dalam juga terdapat pedagang asongan. Di selasar nampak mereka yang menggelar tikar sambil membuka bekal makanan. Perkiraan saya tentang siapa mereka yang hadir dibandara dibantah oleh pak Fahri "mereka tidak menunggu atau mengantar penumpang pesawat, tetapi sedang piknik di bandara". Saya hanya diam dan melongo mendengar pak Fahri, sebab saya berpikir mereka sedang mengantar atau menjemput sanak keluarganya. Sungguh bandara yang tak hanya menjadi tempat berpisah dan bertemu, tetapi menjadi lokasi rekreasi para pelancong.

Nusantara memang kaya akan adat dan budaya serta memiliki ciri khasnya. Bagi saya yang tinggal di Jawa Tengah yang terbiasa dengan makanan tanpa cabai, kali ini harus kesepian di tengah keramaian. Saya hanya bisa merana manakala melihat teman-teman saya yang begitu beringas menikmati plecing kangkung yang dicocolkan dengan sambal. Tidak puas dengan plecing, maka tahu susu yang disapukan dalam sambal menjadi pelengkapnya. Tangan kanan dan kiri bahu membahu memisahkan daging dan tulang ayam taliwang yang berselimut bumbu pedas yang meresap. Saya hanya diam sambil menikmati apa yang tidak pedas, hanya tahu polos dan plecing yang belum tersentuh dengan sambal.

Lombok, sebuah pulau idaman yang saya kunjungi pada tahun 2003 manakala sendirian melakukan pendakian ke Gunung Rinjani. Sebuah kota yang penuh sejarah tepat di bawah kaki istana dewi Anjani. Kekaguman saya tak hanya pada lansekep bentang alamnya, tetapi pada budanyanya. Bahasa sasak yang kadang masih menyerempet bahasa Jawa halus membuat saya seperti tinggal di kampung sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun