[caption id="attachment_399103" align="aligncenter" width="500" caption="Mengapa jaman Rakai Pikatan membangun Prambanan yang dikelilingin candi Budha, semata-mata toleransi. Saat ini Masjdi dan gereja juga sudah menjulang tinggi sebagai tempat suci (dok.pri)"][/caption]
Saya masih teringat akan sebuah peristiwa getir yang membuat harmonisasi Daerah Istimewa Yogyakarta berguncang. Sebuah ormas mengusik sekelompok orang yang sedang beribadah, kontan menimbulan reaksi keras diberbagai kalangan. Berjalannya waktu, tragedi tersebut sirna dan saya melihat kembali sebuah harmoni keberagaman di bumi mataram. Dari sebuah bukit saya menyaksikan simbol-simbol Ketuhanan menjulang tinggi mengalahkan tingginya pohon. Toleransi tidak terjadi baru-baru ini, tetapi ratusan tahun silam sudah terjadi di tanah Panembahan Senopati ini dan candi Sojiwan menjadi saksi bisunya.
[caption id="attachment_399105" align="aligncenter" width="464" caption="Candi Sojiwan, salah satu candi unik di Klaten yang tak jauh dari Prambanan (dok.pri)."]
Siang itu saya diajak kawan untuk mampir sebentar disebuat candi unik di pinggiran Yogyakarta, namun sebenarnya secara administratif ada di Klaten-Jawa Tengah. Dia memilihkan sebuah candi yang begitu spesial, karena memiliki keunikan dibandingkan candi-candi yang lain, walaupun masing-masing candi memiliki kisahnya sendiri. Sapa ramah penjaga candi mempersilahkan kami masuk, tanpa harus membayar tiket dan cukup menuliskan buku tamu.
[caption id="attachment_399106" align="aligncenter" width="555" caption="Prambanan dan Sojiwan ibarat kopi dan teh, beda tapi bersatu dalam persaudaraan (dok.pri)."]
Di sebuah kursi dari kayu dibawah pohon, kami duduk sambil melihat kemegahan candi ini. Berlahan saya mengeluarkan kompor portable untuk mendidihkan air. Teman yang hobi kopi kental merasakan seduhan pertama saya, sebelum saya menggantinya dengan harumnya teh melati. Teh dan kopi yang berbeda rasa, aroma dan warna ternyata menjadi penyatu diskusi kami tentang candi ini.
Perlahan teman mulai bertutur dari berbagai studi literatur yang telah dia cerna. Diksahkan candi Sojiwan dibangun pada abad ke-9 M saat terjadi adu kuasa di tanah jawa antara dua dinasti. Jika wilayah Selatan dikuasai oleh wangsa Sanjaya beragama Hindu Siwa, maka wangsa Syailendra yang menganut Budha Mahayana menguasai wilayah utara. Adu pengaruh begitu kuat diantara 2 dinasti ini, sehingga diupayakan perdamaian dengan menjodohkan Rakai Pikatan dari wangsa Sanjaya dengan Pramodawardhani dari wangsa Syailendra. Tujuan dari pernikahan ini adalah untuk mendinginkan konflik.
[caption id="attachment_399108" align="aligncenter" width="528" caption="Nuansa Budha begitu kental terasa di candi Sojiwan (dok.pri)"]
Ternyata tujuan mulia ini tak sepenuhnya mulus, karena Balaptra Dewa sebagai sodara Pramodawardhani tidak setuju. Ujung dari konflik ini kemudian terjadilah perang dan  Balaputra Dewa berhasil dikalahkan oleh Rakai Pikatan. Balaputra Dewa yang kalah akhirnya melarikan diri ke Sumatera dan membangun kerajaan Sriwijaya.
Dalam masa damai, Rakai Pikatan dan keluarganya hidup harmonis antara pemeluk Hindu Syiwa dengan Budha Mahayana. Harapan mereka mulia yakni menginginkan kedua agama tersebut hidup berdampingan. Sebagai pemenuhan keinginannya maka Rakai Pikatan membangun candi Prambanan yang bercorak Hindu dan di kelilingi candi-candi Budha seperti Kalasan, Plaosan, Sewu dan Sojiwan.
[caption id="attachment_399110" align="aligncenter" width="471" caption="Sebalah kiri adalah candi Sojiwan dan kanan adalah Prambanan, di sekitarnya masih banyak candi-candi yang lain (dok.pri)."]
Sambil menyeruput kopi, maka cerita berlanjut mengenai keberadaan candi ini. Prasasti Rukam (907 M) menceritakan tentang Nini Haji Rakryan Sanjiwana yang meresmikan Desa rusakan yang usai diperbaiki akibat letusan Gunung Merapi. Sebagai imbal jasanya, maka warga Rukam harus memelihara sebuah bangunan suci yang konon ditarik benang merah adalah candi Sojiwan. Nama Sojiwan/Sajiwan dari nama Sanjiwana yakni ratu Pramodhawardhani.
Usai kopi tinggal ampasnya dan teh meninggalkan gelas kosong, maka saya mencoba berjalan melihat detail candi. Relief-relief yang tak lazim saya temui, karena berbeda dengan kebanyakan candi Budha. Saya melihat relief dari bagian per bagian, seperti saya sedang berjalan di tepi dinding taman kanak-kanak yang penuh lukisan. Ada monyet naik buaya, ada burung angsa, begitu juga dengan reptil seperti kura-kura.
[caption id="attachment_399109" align="aligncenter" width="538" caption="Relief yang penuh dengan cerita fabel (dok.pri)."]
Dinding candi yang penuh dengan goresan fabel atau dongeng yang penokohannya adalah hewan. Cerita-cerita tentang kehidupan diceritakan lewat simbol-simbol binatang. Sepertinya butuh waktu lama untuk mengerti apa cerita yang disebut dengan Jataka. Yang pasti tak berselang lama teman sudah bersiap untuk bergegas melihat Sojiwan dari atas. Benar saja dari atas, saya melihat realita fabel dalam dunia nyata. Rakai Pikatan tidak salah membangun tempat-tempat suci ini yang sekarang diadopsi dalam dunia modern. Tak hanya Hindu, Budha, tetapi kubah-kubah masjid juga menjulang tinggi. Tidak salah daerah ini begitu sangat istimewa, sayang jika cita-cita tentang toleransi oleh pendahulu kita itu tercoreng, Yogya istimewa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H