Mohon tunggu...
Kharisma Damayanti
Kharisma Damayanti Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Saya suka membaca berita

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Teori dalam Ilmu Hubungan Internasional

21 Oktober 2024   07:58 Diperbarui: 21 Oktober 2024   08:12 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

A. Realisme

Kekuatan tradisi kaum realis terletak pada kemampuannya menyatakan argumen karena kebutuhan. Tradisi kaum realis berusahan menjabarkan realitas, memecahkan masalah dan memahami keberlangsungan politik dunia. Untuk menyelesaikan tugas ini tradisi kaum realis membangkitkan sebuah tradisi filsafat, dengan Hobbers, Rousseau, dan Machiaveli yang mencoba kembali melengkapi teori dengan otoritas klasikisme. Dengan membangkitkan kembali para pendahulu intelektualnya, realisme kembali menekankan kekekalan dan pentingnya kontinuitas dalam penelitia teoritis. Perhatian normatif dengan permasalahan sebab-sebab perang dan keadaan damai, keamanan dan ketertiban akan terus menjadi pedoman penelitian dan pengajaran Hubungan Internasional karena semua itu pada intinya merupakan permasalahan-permasalahan yang penting. Realisme membicarakan masalah-masalah ini secara langsung dengan mengistimewakan interaksi dan distribusi kekuasaan global di atas pertimbangan lain. Realisme menjelaskan kompetisi dan konflik yang tidak bisa dihindari antar negara dengan menyoroti sifat tidak aman dan anrkis dari lingkungan internasional.

B. Neo-Realisme

Neo-Realisme memberikan penilaian yang meyakinkan mengenai mengapa kebijakan-kebijakan luar negeri negara-bangsa sangatlah mirip, mseki sifat internal mereka jauh berbeda. Neo-Realisme juga memberikan penjelasan yang lebih rinci mengenai keberlangsungan sistem internasional. Tetapi, Neo-Realisme melebih-lebihkan otonomi yang dinikmati negara dari kondisi domestik mereka, menekankan pentingnya struktur dan meremehkan potensi negara untuk mengubah sistem internasional. Neo-Realisme mengimplikasikan bahwa, dalam bentuknya yang sekarang, negara-bangsa adalah perangkat permanen dalam sistem internasional dan bahwa prospek ekspresi alternatif masyarakat politis adalah terbatas. Pernyataan ini sekarang sedang mendapat tantangan dari pemikiran hubungan internasional yang berorientasi dengan lebih kritis.

C. Liberalisme

Fokus dari perspektif liberalisme yaitu kebebasan, kerjasama, perdamaian, dan kemajuan. Penghormatan terhadap hak dan kebebasan individu menjadi dasar kerjasama untuk mencapai kepentingan secara kolektif. Saling ketergantungan melalui kerjasama ini membuat perang menjadi suatu tindakan yang irasional, sehingga perdamaian abadi sebagaimana yang pernah dikemukakan Immanuel Kant bukanlah merupakan suatu keinginan yang utopis, tetapi kenyataan yang mungkin dicapai melalui kolaborasi antar-negara, dan melalui kerjasama ini kemajuan sebagian besar komunitas dapat terealisasikan. Institusi-institusi internasional dibutuhkan sebagai fasilitator mencapai kemajuan yang diinginkan.

Terdapat empat hal mendasar yang menurut Gray (1995: xi-xiii) menyatukan rangkaian pemikiran perspektif liberalisme. Pertama, individualis; yaitu mengutamakan moral individu di atas bentuk kolektivitas lainnya. Kedua, egaliter; menghargai persamaan karena status moral manusia yang setara dan menolak tatanan hukum atau politik yang menimbulkan perbedaan. Ketiga, universalis; menekankan universalitas moral manusia dan menempatkan bentukbentuk asosiasi lainnya pada level tingkatan kedua. Keempat, melioris; percaya bahwa institusi sosial dan tatanan politik dapat diperbaiki. Keempat hal inilah yang tidak saja mengikat, tetapi mewarnai berbagai tesis yang dikembangkan dalam kerangka perspektif liberalisme dalam studi hubungan internasional.

D. Neo-Liberalisme

Agenda-agenda internasional yang semakin meluas seusai Perang Dingin tidak lagi semuanya dapat dijangkau melalui penjelasan-penjelasan power-politics neorealisme (Scholte, 1993). Singkatnya, neorealisme dianggap sebagai perspektif yang sedang mengalami krisis (James, 1993) sehingga ada kebutuhan untuk mendapatkan perspektif lain yang lebih relevan dengan perubahan situasi politik global setelah berakhirnya Perang Dingin.  Adapun prinsip yang terus berkembang pada tiga generasi teori pendahulu neoliberalisme ini ialah, menolak prinsip realisme yang melihat negara sebagai satu-satunya aktor hubungan internasional dan menekankan pentingnya kehadiran aktor-aktor non-negara, sementara dalil utama yang terus dikemukakan ialah tentang pentingnya peran institusi-institusi internasional dalam membantu negara untuk bekerjasama (Grieco, 1988: 486).

Rasionalitas sebagai pijakan berpikir dasar adalah satu elemen yang mirip antara neorealisme dan neoliberalisme, tetapi yang terakhir ini mengarahkan perhatian kita kepada peranan sentral institusi dan organisasi di dalam percaturan politik global (Martin, 2007: 110). neoliberalisme tetap menjadikan kerjasama antarnegara dalam situasi sistem internasional yang anarkis sebagai fokus perhatiannya. Dengan begitu, dapatlah dikatakan bahwa prinsip utama yang diusung neoliberalisme ialah optimisme terhadap kemungkinan kerjasama dibawah sistem internasional yang anarkis. perbedaannya terletak pada soal seberapa jauh kemungkinan itu dapat terealisasi. Neorealis skeptis melihat kemungkinan realisasinya oleh karena pada prinsipnya negara cenderung memaksimalkan kepentingan masing-masing. Sementara itu, neoliberalisme berargumen bahwa keuntungan timbal-balik akan menjadi dorongan untuk kerjasama, dan ketika hal ini difasilitasi oleh institusi internasional, maka kerjasama internasional adalah peluang yang menguntungkan bagi semua pihak (Baldwin, 1993: 5).

E. Marxisme

Pada pertengahan 1840-an, Marx berkeyakinan bahwa ekspansi kapitalisme telah menghapus pemisahan klasik antar negara-bangsa yang berdaulat dan mengganti sistem negara internasional dengan masyarakat kapitalis global yang disitu konflik utamanya terpusat pada dua kelas sosial yang saling berseberangan: Kaum borjuis global dan kaum proletar internasional. Hingga waktu yang belum lama, intisari pendekatan Marxis atas hubungan internasional tampak terdapat dalam sejumlah pendapat berikut ini. Kaum Rasionalis, seperti Hedley Bull, menganggap Marxisme sebagai sebuah pemikiran revolusioner yang fokus pada apa yang disebut pertentangan horizontal antara dua gerakan sosial yang secara keseluruhan memandang sebelah mata terhadap kekuatan bangsa-negara dan ketahanan struktur masyarakat internasional.

Marxisme menawarkan sebuah visi historis besar dalam rangka perubahan umat manusia dari keadaan asalnya dimana masyarakat skala kecil berinteraksi satu sama lain menuju kehidupan modern dimana umat manusia terintegrasi dan diperas oleh kerasnya kehidupan kapitalisme global. Marxisme menggambarkan hubungan antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan, mengungkapkan bagaimana pernyataan ketidakkekalan struktur memiliki dampak ideologis dalam mereproduksi batas-batas kebebasan manusia. Marxisme tidak memusatkan diri untuk memperjuangkan kemerdekaan warga negara di tiap-tiap negara atau peradaban namun memperjuangkan kemerdekaan seluruh umat manusia. Banyak keterbatasan dan kelemahan dalam visi ini: terlalu menekankan pada kelas dan produksi dengan mengesampingkan fenomena lainnnya seperti nasionalisme, negara, geopolitik, dan perang; kesalahan keyakinan bahwa perjuangan kelas akan membebaskan manusia dari alienasi, eksploitasi, dan keterasingan; sebuah keyakinan naif bahwa teknologi canggih akan menciptakan pra-kondisi esensial bagi emansipasi manusia; terlalu puas akan keyakinannya atas keunggulan peradaban Barat.

F. Konstrukvisme

Para penganut cara pandang konstruktivisme tentang hakikat dunia sosial dalam Studi HI mengadopsi premis konstruksi sosial (social construction) bahwa individu dan kelompok secara aktif menciptakan lingkungan tempat mereka berinteraksi -- dari level mikro hingga makro, walaupun mereka tidak mampu mengatur seluruh kejadian dan faktor eksternal seperti yang diinginkan. Sehingga dalam konteks politik global tindakan para aktor dimungkinkan, dan pada waktu bersamaan dibatasi, melalui berbagai kondisi serta institusi yang sudah berevolusi secara historis. Terdapat aktor-aktor lain, di samping negara sebagai aktor penting, seperti individu, kelompok elit, birokrasi, korporasi, organisasi internasional dan gerakan sosial yang berperan di tengah arena hubungan antarbangsa. Sehingga konstruktivisme berbeda dengan neo-neo yang memposisikan negara sebagai satu unit aktor utuh.

Intervensi konstruktivisme membuat pengetahuan dan penelitian HI yang menyoroti perilaku kebijakan luar negeri berbeda secara ontologis dan epistemologis. Dari aspek ontologi, konfigurasi aktor yang mempengaruhi proses pembuatan dan implementasi kebijakan luar negeri bersifat plural. Dalam perspektif neo-neo kebijakan luar negeri dirumuskan dan dijalankan oleh negara berdaulat diwakili elit pemerintahan individu dan kelompok beserta para diplomat. Sedangkan dari kaca mata konstruktivis, proses pengambilan dan pelaksanaan kebijakan melibatkan relasi antara struktur negara dengan elemen kekuatan masyarakat. Karakteristik interaksi politik antaraktor tidak melulu didominasi oleh kompetisi kepentingan material, tetapi lebih kompleks melibatkan ide, nilai dan institusi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun