Naskah ini merupakan bagian selanjutnya dari tulisan sebelumnya yang bertajuk,"Kultur, Budaya dan Iklim, Akan Membawa Timnas Manapun Menjadi Salah Satu Terbaik di Sepakbola Dunia".
-
Federasi Sepak Bola Prancis (FFF) melihat situasi gagalnya Timnas Perancis untuk ikut Putaran Final Piala Dunia 1960 sebagai hal yang cukup serius sehingga menyusun langkah strategis jangka panjang dengan diawali membentuk berbagai akademi sepakbola. Institut National du Football menjadi akademi sepakbola pertama di Perancis. Hingga tahun 1972 di seluruh negeri terbentuk banyak akademi sepakbola. Dalam akademi itu, FFF memberikan kebijakan berupa secara terbuka mengajarkan anak-anak imigran yang pada masa itu banyak yang berasal dari Aljazair, Maroko, hingga Tunisia. Mereka (para imigran) sebelumnya dianggap oleh penduduk asli sebagai beban negara dalam bidang ekomomi, sosial, hingga pendidikan, melalui pembinaan terarah menjadi tulang punggung Timnas Perancis dimasa selanjutnya.
-
Sejak tahun 1972, perkembangan sepakbola di Perancis dalam waktu satu dekade mulai menunjukkan perubahan dan menuai pencapaian signifikan. Piala Eropa 1984 yang berlangsung di Perancis, tim ini meraih kesuksesan besar dengan menjuarai turnamen tersebut. Dipimpin oleh Michel Platini, Prancis menunjukkan permainan yang mengesankan dan mencetak total 14 gol, dengan Platini menjadi pencetak gol terbanyak dengan 9 gol. Kesuksesan ini memperkuat posisi Prancis sebagai kekuatan baru dalam sepakbola Eropa. Pada Piala Dunia 1986 di Meksiko, Prancis mencapai perempat final meskipun kalah dari Belgia, tetapi penampilan solid mereka melawan Kanada dan Hungaria di fase grup menunjukkan kemajuan tim. Perancis juga secara konsisten lolos ke Putaran Final Piala Eropa yang sebelum tahun 1996 hanya diikuti 8 tim terbaik Eropa. Meski sempat tidak bisa melaju ke Putaran Final Piala Dunia 1990, Perancis secara konsisten menjadi salah satu tim terbaik di Eropa. Di era 1980-an, pemain keturunan mulai menjadi pilar negeri itu. Selain Platini yang merupakan keturunan Itali, beberapa nama besar hadir di Timnas Perancis seperti; Luis Fernndez (Spanyol); Marius Tresor (Guadeloupe), Jean-Pierre Papin (Perancis-Aljazair) dan Basile Boli (Ivory Coast).
-
Sejak tahun 1990 juga, Perancis mulai mengimplementasikan sistem pelatihan yang lebih terstruktur dan modern, yang mengedepankan pengembangan bakat muda di seluruh negeri. Liga Prancis, Ligue 1, juga berperan penting dalam menyediakan platform bagi pemain muda untuk tampil di level profesional. Klub-klub seperti Lyon, Marseille, dan Paris Saint-Germain berinvestasi dalam akademi mereka, menghasilkan banyak talenta yang kemudian menjadi pemain kunci di tim nasional. Dampak besarnya, tahun 1998, Perancis berhasil meraih gelar juara setelah mengalahkan Brasil di final. Kemenangan ini tidak hanya menjadi momen bersejarah bagi sepakbola Prancis, tetapi juga memicu semangat nasionalisme dan kebanggaan di kalangan masyarakat. Dua tahun kemudian, Perancis menambah koleksi trofi mereka dengan memenangkan Piala Eropa kedua pada tahun 2000, di mana mereka menunjukkan permainan yang sangat mengesankan dan solid.
Perkembangan sepakbola di Prancis sejak tahun 1972 tidak hanya dipengaruhi oleh sistem pelatihan dan akademi, tetapi juga sangat terkait dengan kultur, budaya, dan iklim yang ada di negara tersebut. Sepakbola di Prancis telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat, mencerminkan nilai-nilai sosial, identitas nasional, dan keragaman budaya. Momen-momen bersejarah, seperti kemenangan di Piala Dunia 1998 dan 2018, menyatukan rakyat Prancis dan merayakan keberagaman etnis yang ada. Budaya olahraga yang kuat di Prancis mengajarkan anak-anak untuk menghargai kerja keras, disiplin, dan semangat tim, dengan akademi-akademi seperti Clairefontaine (berdiri tahun 1988) yang fokus pada pengembangan keterampilan teknis dan pendidikan karakter. Iklim sosial yang inklusif memberikan peluang bagi pemain muda dari latar belakang kurang beruntung untuk berkembang melalui sepakbola, sementara klub-klub berinvestasi dalam komunitas lokal. Dukungan pemerintah dalam infrastruktur olahraga dan program pelatihan mencerminkan pemahaman bahwa sepakbola dapat menyatukan masyarakat dan mempromosikan nilai positif. Dengan demikian, perkembangan sepakbola di Prancis adalah hasil interaksi kompleks antara sistem pelatihan, kultur, budaya, dan iklim sosial, yang memungkinkan tim nasional meraih prestasi di level internasional dan membangun komunitas yang lebih kuat dan inklusif.
PSSI sejak masa kepemimpinan Iwan Bule, seiring kedatangan Sin Tae Yong (STY) selaku pelatih kepala Timnas Indonesia, mulai merubah haluan sistem naturalisasi pemain sepakbola dengan mencari para pemain berdarah Indonesia yang merumput di Eropa. Elkan Baggott (Tahun 2021), Sandy Walsh (2022), Shayne Pattynama (2022) dan Jordi Amat (2022) adalah para pemain keturunan (berdarah Indonesia) yang muncul dan hingga saat ini masih terus dipanggil memperkuat Timnas. Khusus Elkan Baggott (kembali menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) setelah sempat kehilangan status kewarganegaraannya karena faktor usia) sejak pertengahan tahun 2024 hingga awal 2025 tidak dipanggil, kuat dugaan akibat perbedaan pendapat dengan STY.
Kebijakan yang diambil PSSI di bawah Iwan Bule kemudian diteruskan dan dikembangan oleh Erick Tohir. Jumlah pemain terus ditambah dengan datangnya beberapa pemain seperti Ivar Jenner, Rafael Struick, Nathan Tjoe-A-On, Justin Hubner dan Jay Idzes pada tahun 2023. Mereka semua (kecuali Jay Idzes, belum dapat turut andil akibat proses naturalisasinya selesai setelah periode pendaftaran nama pemain) memperkuat Indonesia dalam Piala Asia 2024 dan mampu membawa Timnas Indonesia untuk pertama kalinya lolos dari putaran grup yang mulai dimainkan sejak Putaran Final Piala Asia tahun 1970 di Thailand. Periode 1970 hingga 2024 kemarin, Indonesia tercatat berpartisipasi sebanyak 6 kali. Pada gelaran 2024 Timnas Indonesia akhirnya dihentikan Australia di babak sistem gugur.
Pasca Piala Asia, Indonesia kedatangan Tom Haye, Ragnar Oratmangoen dan Calvin Verdonk. Mereka memperkuat Timnas pada babak-babak akhir putaran kedua penyisihan Piala Dunia 2026 Zona Asia. Bersama para pemain yang sebelumnya bergabung, ketiganya memberikan impak besar terhadap pola permainan Indonesia dan membawa Timnas secara meyakinkan lolos ke fase penyisihan selanjutnya yang saat ini tengah dijalani (Putaran ketiga Penyisihan Piala Dunia 2026 Zona Asia).
Situasi ini membuat Indonesia di sorot oleh dunia, karena sebelumnya (sejak proses kualifikasi berjenjang mulai diterapkan FIFA), Indonesia tidak pernah sekalipun lolos penyisihan hingga putaran ketiga Piala Dunia Zona Asia. Erick Tohir kemudian menambah kekuatan Timnas dengan mendatangkan pemain tambahan diawali dengan Marten Paez untuk memperkuat jajaran palang pintu terakhir Timnas. Pada debutnya, Paez tampil meyakinkan dalam pertandingan menghadapi Arab Saudi di Putaran Ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia.
Bersambung .. (Akan dilanjutkan dengan bagaimana Indonesia di era Kepemimpinan Erick Tohir mulai merubah iklim sepakbolanya hingga peluang negeri ini menjadi salah satu calon kontestan Piala Dunia 2026)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI