"Pangkat saya lebih yunior, tetapi karena saya komandan STC, sayalah yang harus bertanggung jawab dalam keseluruhan operasi," begitu kata Soedomo (Terakhir beliau berpangkat Lasmana TNI dan pernah menjadi KSAL) mengenang situasi saat itu. Ketika menguraikan rencana operasi, Soedomo menatapkan mereka akan berangkat meninggalkan RV ke tiga malam hari dengan kecepatan rata-rata kapal ditetapkan 20 mil per jam. Ketiga kapal harus tetap berlayar total Black out dengan selalu dalam formasi 18 (kiellinie), bergerak berurutan. RI Harimau berada paling depan, RI Matjan Tutul di tengah dan RI Matjan Kumbang paling belakang.
Soedomo masih tetap berupaya agar Komodor I Yos Soedarso tidak usah ikut berlayar. Saya ingatkan tugas kita hanya mengantar para infiltran sampai di daerah sasaran. Tetapi sayang beliau tetap menolak. Malahan minta agar dirinya di satukan dengan unit infiltran, pasukan ini harus mencapai pantai Papua dengan memakai perahu karet.
Atas pertimbangan tersebut, maka Soedomo kemudian menempatkan Yos Soedarso di Rl Matjan Tutul bersama para infiltran. Sementara dirinya dengan Moersjid dan Roedjito naik RI Harimau. Belakangan baru Soedomo tahu, keinginan Yos Soedarso untuk bisa ikut mendarat, didorong oleh tekadnya dalam memenuhi perintah Trikora dari Bung Karno. Khususnya bagian, kibarkan Bendera Merah Putih di bumi Irian. "Beliau sudah membawa bendera dari Jakarta, untuk bisa ditancapkan di Papua. Selanjutnya, beliau juga ingin mengambil sebongkah tanah dari Papua untuk di serahkan kepada Bung Karno." Bersambung ..
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI