STC-9, Sebuah operasi klandestin Indonesia Dalam Upaya Mengembalikan Papua Ke Pangkuan Ibu Pertiwi
19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengumandangkan perintah menegakkan kedaulatan NKRI dengan cara mengambil/menyatukan Pulau Papua bagian barat yang azasinya adalah bagian utuh Indonesia. Perintah ini dikenal dengan Tri (Tiga) Komando Rakyat atau Trikora. Pasca perintah ini Komando Mandala segera dibentuk yang dipimpin Mayjen TNI Soeharto (kemudian menjadi Presiden RI ke-2) berkedudukan langsung dibawah Presiden Soekarno selaku Panglima Komando Tertinggi (KOTI). Salah satu bentuk upaya mempersiapkan konfrotasi langsung dengan militer Kerajaan Belanda yang menguasai Papua kala itu adalah dengan melakukan infiltrasi ke area konflik untuk membentuk kantung-kantung wilayah de facto republic (Sebutan singkat untuk Indonesia masa revolusi dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan).
Misi khusus sangat rahasia pun disusun dimana TNI AD melatih inti kekuatan infiltran yang sebagian besar adalah putra asli Papua dengan dukungan penuh TNI AL yang akan mengantar langsung ke sebuah titik infiltrasi yang sudah ditetapkan (Awal Januari 1962). Laksamana TNI R.E. Martadinata dengan cepat memerintahkan Asisten Operasinya, Komodor I Yosaphat Soedarso untuk membentuk satuan tugas khusus demi keberlangsungan misi. 4 MTB (Motor Terpedo Boat) Jaguar Class terbaru milik TNI AL kemudian ditetapkan sebagai kendaraan angkut pasukan infiltran yang tengah dilatih TNI AD. Satuan tugas itu sendiri kita kenal dengan nama STC 9 dengan Kolonel Laut Soedomo selaku komandan STC.
9 Januari 1962, RI Harimau-604/654, RI Matjan Kumbang-605/653, RI Matjan Tutul-606/650 dan RI Singa-608/651 meninggalkan pangkalannya di Jakarta untuk melaksanakan misi. Dalam perjalanan, satu buah kapal mengalami kerusakan (RI Singa-608) sehingga batal melanjutkan misi. Misi itu sendiri benar-benar rahasia. Mereka bahkan tidak boleh menggunakan radio untuk melakukan komunikasi dengan pihak lain karena ada kemungkinan terdeteksi dan keberadaan mereka dapat diketahui lawan.
Selama pelayaran menuju daerah sasaran, seluruh MTB berada pada kondisi Black Out total dan Radio Silence. Di samping itu seluruh lampu kapal dipadamkan serta sejauh mungkin menghindari pertemuan dengan kapal-kapal niaga. Satu-satunya lampu yang boleh dinyalakan, sebuah lampu kecil di bagian belakang kapal. "Lampu itulah pedoman arah bagi kapal yang kebetulan berada di belakangnya," kata Kapten Sidhopramono (terakhir berpangkat mayor), yang kala itu menjadi Komandan RI Matjan Kumbang (alumnus AAL 1960). Pelayaran SCT-9 dilaksanakan dengan gerak melambung, menyusuri lebih dulu perairan Nusa Tenggara sebelum nantinya membelok ke arah timur laut ketika sudah mendekati daerah sasaran menyeberangi perairan Maluku.
Kolonel Soedomo juga menetapkan tiga titik kumpul (rendezvous/RV) antara Jakarta sampai ke Maluku. RV pertama terletak di selat Madura, bertemu dengan RI Patimura. RV kedua di utara Flores dengan RI Rakata dan RV ketiga di dekat Pulau Udjir, Kepulauan Kai, Maluku. Lokasi rendezvous terakhir untuk bisa bertemu dengan RI Multatuli, sebelum masuk ke perairan Papua.
Ketiga titik pertemuan tersebut harus bisa ditemukan sendiri, karena di situlah kapal-kapal cepat torpedo harus mengisi tambahan bahan bakar. Banyaknya RV ditetapkan, terkait kemampuan teknis MTB yang harus melakukan bekal ulang BBM setiap 500 Mil laut. Selama pelayaran musibah menimpa dua kapal, RI Matjan Kumbang mengalami gangguan mesin, sehingga agak terlambat sampai di RV ketiga. Sementara itu RI Singa, tidak bisa mencapai RV ketiga, karena kehabisan bahan bakar di tengah jalan. Dengan demikian meskipun tidak bersamaan, hanya tiga MTB bisa mencapai perairan PuIau Udjir dan merapat ke Rl Multatuli untuk menerima bahan bakar tambahan dan memuat para infiltran.
"Kami mendarat dengari cara nekat" kata Kolonel Moersjid (kala itu merupakan Asisten I Kepala Staf ADRI yang turut dalam operasi, terakhir beliau berpangkat Mayor Jenderal TNI). Ia merasa para penerbang Hercules AURI tampaknya mendarat dengan pedoman yang juga dalam situasi serba darurat. Mursjid menambahkan, "Dalam briefing awal di Jakarta, kami telah menerima penjelasan, landasan darurat di Pulau Langgur sudah selesai diperbaiki, sehingga bisa menampung pendaratan Hercules dengan nyaman. Tetapi setelah mendarat dengan suara gemuruh dan terbanting-banting, ketika keluar dari perut pesawat, yang kami temukan justru samak belukar setinggi manusia...".
Sesudah debarkasi pasukan selesai dilakukan di landasan darurat Pulau Langgur, para infiltran tersebut kemudian menyeberang ke Pulau Udjir, tempat RI Multatuli melepas sauh. Menjelang sore hari tanggal 15 Januari, di atas RI Multatuli Kolonel Soedomo Komandan STC 9 memberikan briefing tentang rencana operasi. Hadir lengkap ketiga komandan MTB, Deputi Operasi KSAL Komodor I Yos Soedarso, Asisten Operasi KSAD Kolonel Moesjid, Letnan Kolonel Roedjito dan Kapten Memet Sastrawiria, yang terakhir adalah perwira intelejen MBAL yang kemudian turut gugur bersama RI Matjan Tutul.