Sepak bola modern, menjadikan sektor tengah sebagai nadi permainan. 3 Â pemain tengah bertipikal menyerang + 1 penyerang bayangan dipadukan 1 Â pemain gelandang bertahan kerap menjadi pilihan pelatih manapun di dunia.
Dengan mendunianya pola serta strategi permainan, mau tidak mau dibutuhkan pemain dengan kemampuan tinggi di sektor ini. Mengapa? Karena kreatifitas berasal dari sana untuk membongkar pola strategi pertahanan lawan.
-
Indonesia sebelum era Sin Tae Yong, identik dengan pola permainan 5 : 3 : 2 dengan 2 pemain bek sayap berperan aktif sebagai gelandang sayap ketika menyerang. Formasi 5 pemain belakang ini juga dikenal dengan sebutan "The Back Five" atau "The Sweeper System" karena a1pemain bertahan bertugas sebagai pemain sweeper, yaitu pemain yang posisinya berada di belakang empat bek dan bertugas sebagai benteng pertahanan terakhir. Sin Tae Yong pun pada periode awal kepelatihannya kerap menggunakannya.
Mengapa? Dalam kacamata penulis hal ini disebabkan saat itu kemampuan rata-rata pemain Timnas dibawah negara Asia bahkan Vietnam dan Thailand (Sesama tim Asia Tenggara) pun jauh diatas Indonesia. Kala itu Timnas Indonesia berada di tingkatan Singapura, Malaysia hingga Myanmar.
-
Melalui program naturalisasi, paling awal yang dilakukan Sin adalah merombak lini belakang Timnas Indonesia. Salah satu alasannya (menurut penulis) mengapa dilakukan, karena postur pemain belakang lokal kita belum cukup ideal dibandingkan penyerang dari tim Asia hingga dunia meski secara skil, Mangkualam, Arhan, Ridho, Dewangga, Yama hingga Ferari sangat baik. Secara postur, pemain-pemain seperti Hubner, Baggot, Amat, Walsh, Pattynama ditambah Baggot (Diaspora) berada diatas kebanyak pemain di kawasan Asia Tenggara. Hal ini membawa kolaburasi cantik bila dipadukan dengan pemain lokal yang disebutkan sebelumnya.
-
Pentas Piala Asia Qatar yang baru berakhir menjadi pembuktian betapa pondasi permainan Indonesia mulai terbentuk meskipun belum mampu mengimbangi (berpatok pada hasil akhir) tim-tim besar Asia seperti Irak, Jepang dan Australia.
Dalam kacamata penulis, hal ini lebih karena belum cukup kokohnya permainan di lini penyerangan dimana Indonesia pada pagelaran ini tidak memainkan pemain penyerang murni melainkan menempatkan Struick yang aslinya seorang gelandang serang diposisi ini.
Selain hal ini, untuk pemain yang banyak berkutat di liga-liga Eropa. Pola 5: 3: 2 bukanlah pola yang lazim mereka mainkan, hal ini menyebabkan kadang adanya kekakuan pada permainan tim.
-
Pola 5 : 3 : 2 tentu memperkokoh pertahanan, namun dengan situasi Asia yang suhu rata-rata jauh diatas Eropa, para pemain bek sayap menjadi cukup kewalahan jika harus nail membantu penyerangan dan kembali ke posisi dengan cepat.
Dampaknya ketika transisi terjadi dalam kondisi cepat, pemain di belakang menjadi paling banyak 3 orang saja. Hal ini sangat disadari oleh para pelatih di Benua Biru. Karenanya banyak dari mereka tetap menggunakan pakem 4 pemain belakang dengan kombinasi di lini tengah:
- Ortodoks dengan 1 Gelandang Bertahan; 3 Gelandang Menyerang (1 playmaker) Â dan 2 Penyerang.
- Striker Tunggal dengan 2 Gelandang Bertahan; 3 Gelandang Menyerang (1 playmaker) dan 1 Penyerang (striker).
- Diamond dengan 1 Gelandang Bertahan; 3 Gelandang menyerang (1 playmaker); 1 Penyerang Bayangan dan 1 Penyerang Tunggal (striker).
Pola ke-2 dan ke-3 sekarang menjadi favorit di benua Eropa, utamanya tim-tim besar. Keduanya membuat lini tengah demikian kuat dengan pertahanan tetap kokoh meski keempat pemain bertahan berdiri sejajar.
Penyerang tunggal di depan menjadi pemain paling dinamis untuk melakukan berbagai upaya dengan 2 orang pemain siap menusuk kedalam (Playmaker atau Penyerang Bayangan).
-
Pelatih Sin sangat menyadarinya dan lambat laun nampak akan membawa Timnas kearah ini. Ketika berhadapan dengan tim dengan level permainan setingkat Timnas saat ini memainkan pola modern ini dan bagi para pemain naturalisasi di posisi belakang, mereka lebih nyaman karenanya.
Saat ini nampak pelatih Sin mulai memainkan pola 4 : 2 : 3 : 1 dimana 2 gelandang bertahan memiliki posisi vital pada jantung pertahanan Timnas. pola ini membuat Indonesia mampu bermain jauh lebih baik namun terkendala pada posisi penyerang tunggal yang belum cukup mampu bersaing di level Asia. Pola ini pun dapat menjadi trend setter Timnas kedepan dan sebaiknya diadopsi di level klub lokal Indonesia.
-
Kelemahan terbesar saat ini di dalam tubuh Timnas adalah belum adanya Penyerang Tunggal stylish di level permainan minimal Asia. Tanpa mengurangi kemampuan Sananta (182 cm) dan Drajat (178 cm), keduanya cukup mumpuni sebagai penyerang murni. Namun postur mereka belum cukup mampu bersaing dengan pemain-pemain belakang tim diluar Asia Tenggara.
Penyerang murni sekarang menjadi pekerjaan rumah terbesar pelatih Sin. Kita membutuhkan penyerang murni dengan kemampuan keeping bola tinggi dengan postur ideal diatas 185 cm..
Semoga dalam waktu singkat bisa terwujud.
Jayalah Garudaku. KITA BISA
(BERSAMBUNG KE BAGIAN 3)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H