Prevalensi Remaja Merokok
Sudah genap satu bulan pelaksanaan pembelajaran tatap muka terbatas di Kota Pematangsiantar  untuk sekolah tingkat SMA /SMK. Semua warga sekolah beradaptasi budaya baru untuk tetap ketat mematuhi protokol kesehatan covid-19. Kembali ke sekolah pun menjadi rutinitas setiap hari. Pergi dan pulang sekolah menjadi pemandangan biasa lagi. Ada siswa/i yang naik angkutan umum, naik sepeda motor atau dengan berjalan kaki bagi yang berdomisili dekat sekolah.
Hari ini kembali lagi saya menemukan pemandangan di setiap persimpangan penantian angkutan umum beberapa siswa dengan santainya mengisap rokoknya. Â Sambil menanti angkutan umum yang akan membawanya ke sekolah. Pastinya rokoknya akan tetap di isapnya di dalam angkutan kota tanpa merasa peduli dengan sekitarnya.Â
Saya menyadari ternyata tidak ada yang berubah dengan wajah kota ini. Sama halnya dengan perangai masyarakatnya yang masih selalu setia dengan rokoknya. Bahkan terlihat semakin parah saja. Yang merokok ( orang dewasa maupun remaja ) cuek saja, di sambut warga masyarakat yang melihatnya pun acuh saja tidak ambil pusing.Â
Apakah hal ini menjadi hal yang harus dimaklumi, sebagai perilaku atau gaya hidup perkotaan ? Yang pasti saya pernah punya pengalaman yang tidak mengenakkan saat menegur anak remaja tetangga yang kepergok membeli 2 batang rokok di warung saat akan berangkat sekolah. Saat saya konfirmasikan dengan orang tuanya, ternyata respon mereka di luar dugaan saya. Mereka bukannya berterima kasih saat saya peduli, malahan memberikan argumen yang menyakitkan hati. " Urusin saja urusan Anda, biar kami yang mengurus moral anak kami ".
Inilah yang namanya degradasi moral zaman sekarang. Sehingga mata rantai keluarga perokok sukar dihentikan. Â Siklus orang tua perokok - anaknya pun perokok - Â cucu dan cicitnya ikut merokok.Â
Remaja perokok kebanyakan karena pengaruh lingkungan, entah itu teman atau keluarganya. Remaja mudah sekali terpengaruh oleh sesuatu yang baru, unik dan menarik. Remaja cenderung berpikir irasional.Â
Banyak remaja yang malu jika bukan perokok. Rokok menjadi sarana pergaulan. Dengan merokok akan diterima dalam pergaulan.  " Ayam berkokok di atas genteng, yang tidak merokok tak ganteng ".  Ini adalah pantun sesat yang pernah saya dengar dari remaja. Manalah ada korelasi rokok dengan ganteng. Sesungguhnya ini lebih kepada jaga image dan harga diri. Remaja akan  merasa hebat dan jantan jika sudah merokok.Â
Akhirnya remaja yang berpikir irasional ini pun menjadi target pemasaran rokok. Produsen rokok menyatakan, remaja adalah target potensial pembeli rokok di masa depan. Dengan segmen pasar yang terbuka dan luas. Karena remaja selalu mengikuti trend mode, termasuk rokok, ada kecenderungan remaja akan loyal pada merek rokok  pertama kali yang di isapnya.Â
Produsen rokok pun gencar menawarkan iklan yang masif di masyarakat, sehingga kasus remaja merokok pun tetap tinggi. Di samping itu tak dapat dipungkiri selain karena akses rokok yang mudah, juga harganya murah dan bisa dibeli batangan menjadi penyebabnya juga.Â
Saat industri menyatakan hal di atas, ini adalah bahaya ketika kesehatan remaja yang nota bene generasi penerus bangsa di korbankan. Â Saat negara ini menaruh harapan pada generasi emas 2045, apakah negara harus menutup mata dengan prevalensi remaja merokok ini?
Dibutuhkan Kolaborasi Peran Semua Pihak
Lebih baik mencegah daripada  mengobati. Sebelum mengulik topik betapa sulitnya berhenti merokok, marilah lebih dahulu kita melihat ke dalam. Bagaimana menciptakan remaja generasi bangsa yang anti rokok. Apa tindakan preventif yang harus dilakukan. Karena kita semua merindukan generasi emas yang sehat jasmani dan rohani. Â
 Pertama, Peran orang tua.Â
Rumah adalah tempat pertama anak untuk memperoleh bekal kehidupan. Tempat memperoleh pendidikan dan juga kasih sayang. Orang tua harus dapat " menjadi contoh bukan sekadar memberi contoh ". Menjadi contoh di dalam perbuatan dan perkataan. Â
Selama ini, banyak orang tua yang merasa sudah berperan ketika memberikan nasihat kepada anaknya supaya tidak merokok. Sementara orang tua tersebut aktif merokok. Inilah yang dinamakan nasihat yang tidak berdampak sama sekali. Karena teladan lebih kuat dari nasihat.Â
 Hasil penelitian membuktikan bahwa, jika orang tua perokok maka anaknya cenderung perokok juga. Jadi letak masalahnya adalah keteladanan. Demi kesehatan dan masa depan anak, orang tua harus berhenti merokok. Jangan berharap anak akan menjauh dari rokok jika orang tuanya sendiri pun perokok aktif.Â
Jika ditanya pasti tidak ada orang tua yang mau anaknya menjadi perokok. Untuk itu tegaskan motto di rumah : " Rumah ini area bebas rokok dan asap rokok ".
Kedua, Peran Sekolah
Sekolah harus lebih aktif lagi dalam menyampaikan edukasi tentang bahaya merokok agar para siswa termotivasi untuk menjauh dari rokok. Sekolah harus dijadikan area bebas rokok. Dalam hal ini semua warga sekolah harus dengan disiplin dan konsisten mengikuti peraturan sekolah. Â " Â Di sekolah dilarang merokok ", berlaku untuk semua warga sekolah tanpa kecuali. Â Miris sekali bukan, kenyataan di sekolah masih banyak guru yang merokok. Di kelas guru bebas merokok, sambil mengajar sambil merokok.Â
Selama sekolah masih belum serius dengan rokok, jangan berharap menemukan siswa yang anti rokok. Jangan hanya menyuarakan bahaya rokok sementara banyak guru yang belum bisa bebas dari rokok.Â
Ketiga, Peran pemerintahÂ
Besar harapan kepada pemerintah agar lebih serius menangani masalah rokok. Karena salah satu yang menyebabkan tingginya angka remaja perokok yaitu karena tidak adanya regulasi terkait rokok. Regulasi di sini bukan hanya tentang pengaturan  tentang iklan rokok, atau regulasi tentang rokok ilegal, menciptakan kawasan tanpa asap rokok, ataupun fasilitas layanan kesehatan untuk perokok,  namun regulasi teknis yang langsung berhubungan dengan remaja perokok aktif atau pasif. Contohnya :
Pertama, Melarang dan didukung dengan sanksi tegas merokok di semua tempat publik, seperti hotel, perpustakaan, tempat ibadah, kendaraan umum, restoran, pusat pendidikan.
Sampai hari ini di Indonesia, perokok relatif bebas mengisap rokok di mana saja. Kawasan bebas rokok di negara ini masih minim. Kawasan ini pun sangat mungkin di langgar karena sanksinya bisa dikatakan tidak ada. Â
Sering kali saya yang kerap menggunakan jasa angkutan umum, asap rokok nyaris tak terhindarkan. Karena justru saat saya mengeluh pada asap rokok, malah dianggap "aneh ". Para perokok tetap tenang merokok.Â
Kedua, Melarang dan memberi sanksi tegas untuk menjual rokok kepada anak di bawah usia 18 tahun.
Peraturan seperti ini yang paling mendesak untuk diterapkan. Selama ini dengan akses mudah dan harga murah apalagi lemahnya regulasinya, rokok bisa ditemukan di mana saja dan kapan saja.Â
 Seharusnya kita belajar dari negara -negara yang berhasil menghasilkan generasi mudanya jauh dan anti rokok. Bila kita lihat, semua negara itu bukan hanya concern dari regulasi hukum yang berpihak kepada remaja tapi penerapan hukumnya yang tegas. Pemberian denda berupa uang atau pun penjara sudah biasa. Hal ini terukur untuk memberi efek jera.Â
Bisakah hal seperti ini diterapkan di Indonesia ?
Saya yakin kita pasti bisa... Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H