Bumi mengambil waktu untuk berkacaÂ
Masih tetap menemukan fakta wajah  dan realita rupa Â
Dari kaca yang jujur dan wajar bersuara
Wajah nya tiada berseriÂ
Paras nya tidak beraura lagi
Dan bumi berduka
Bumi juga terluka.
Bumi mengingat manusia,flora juga fauna
Yang masih akan tetap selalu bersamanya hingga akhir masa
Bumi merasa hanya flora dan fauna yang mengerti akan kegundahan nya
Mereka memberi kecerian dihatinya
Mereka juga menghiburkan jiwanya
Walau semakin hari bumi merasa ;
Kicauan desiran dan pekikan mulai jarang mengusik hari harinya..
Manusia yang dia tahu insan mulia
Kini sudah beranjak dari hakekatnya
Mereka kehilangan kearifannya
Menjadi buas merampas sesama
Perilaku tak beda dengan fauna
Bumi masih merasakan sakitnya dipermainkan
Selalu menjadi arena perlombaan insan
Semua...
Memperebutkan kuasa atas dirinya
Menguras isi perutnya
Mengiris kulitnya
Dan masih juga mengikis tulang belulangnya
Semua..
Tidak perduli kekeringannya
Tak mau tahu kegersangannya
Tak mau pusing akan kematiannya
Dan bumi  bersedih
Bumi juga menangis
Tuan puan berhentilah
Apakah sampai bumi menjerit marah?
Tak takut kah kita angkara murkanya?
Tuan puan berkacalah seperti bumi yang memberikan waktu berkaca
Lihatlah wajah bumi kitaÂ
Lihatlah wajah wajah kita
Dan hati kita resahlah
Kiranya jiwa kita  gundahlah
Semoga nurani kita pekalah
Supaya bumi kita kembali bersuka....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H