Mohon tunggu...
Cerita Doktor Dharma
Cerita Doktor Dharma Mohon Tunggu... Dosen - Ada benci dan cinta, siapa menang? Sering engkau beri makan

Setiap orang punya bukunya sendiri

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Milih Muja apa Muji?

15 Januari 2025   06:01 Diperbarui: 15 Januari 2025   07:19 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya sedang mungut sampah plastik di selokan air yang mampet ketika saya melihat bos toko pangan menyuruh emak setengah baya menyapu lantai toko dengan ramah. Tolong sapu, habis itu pergi ke pasar beli tempe dan telor, lantas buat sarapan, saya mau keluar, pinta si bos, si emak mengangguk polos.

Tentu saja, mata dibuat santun. Satu jam berselang, selokan air pun lancar, setibanya di rumah, saya buka Medium, ada tulisan menarik, perbudakan modern ditulis Monti Datta, pikiran menerawang ke belakang. Pikiran berpikir, bertanya, apa ini model perbudakan modern?, lap top kubuka dan kutulis cerita menurut imajinasiku.        

Dikisahkan ada dua nasib yang telah ditentukan, ditetapkan, digariskan, dan dibariskan, yang memerintah dan yang diperintah. Yang memerintah ditakdirkan menengadah, maunya dipuja. Yang diperintah takdirnya menunduk, maunya dipuji. Dari jaman dulu hingga kini, puja dan puji adalah dua hal yang berbeda.

Yang memerintah cenderung anggap yang diperintah sebagai keluarga. Demi kebaikan bersama, menindas dengan kebajikan adalah bijak. Baginya, yang diperintah mesti dipuji sepanjang sebagai komoditi. Yang diperintah cenderung anggap yang memerintah sebagai tetangga, baginya memuja yang memerintah adalah haram.

Afek yang dipuja dan yang dipuji membentuk kehidupan untuk tidak memahami sesuatu, namun untuk merasakan sesuatu, dukun kampus menamainya sebagai emosi, yang terlatih untuk menjadi cerdas, tatkala yang dipuja dan yang dipuji berantem. Kapan itu terjadi?, tatkala yang private disodorkan ke publik, ini pantas di analisis. Bila tidak, jangan memikirkannya, urusan dewe-dewe, bukan urusan kesejahteraan emosional.

Kapan emosi sejahtera? Tatkala yang dipuja merasakan yang dipuji, dan yang dipuji memahami yang dipuja. Interaksi di antara keduanya membangun kemampuan adaptasi saat berselancar dengan masa-masa sulit. Ini bagus agar mental sehat di tengah ketidakpastian.

Saya belum melihat peristiwa tadi pagi sebagai perbudakan modern, mungkin pikiran saya masih dibelenggu feodalisme, mudah-mudahan tidak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun