“Ada benci dan cinta,
Siapa yang menang?
Yang sering engkau beri makan”
Saya punya pekerjaan yang mengharuskan kaki banyak berjalan. Tidak selalu seribu langkah per hari. Kaki mengetahui banyak hal tentang capaian hidup, melalui percakapan di internet, saya mendengar kaki alat transportasi pertama yang mesti hangat.
Bulan Juni, dua kosong dua empat, pukul lima pagi lewat dua puluh lima menit, saya berpijak di ketinggian 3.142 MDPL. Nampak Gunung Rinjani di ufuk Timur. Di Barat menjulang deretan gunung yang ada di Tabanan dan Buleleng. Batukaru, Sanghyang, Lesung, Tapak, Adeng, Pohen dan Catur. Yang paling jelas Abang dan Batur.
“Takjub mendaras. Mural tidak mempersoalkan apa pun, bibir etika lingkungan berbisik, terima kasih.”
Di tengah lipstik sun rise yang aduhai, sayup-sayup saya mendengar dua orang asing saling bertegur tanya, berdebat tentang harga.
“Seratus dua puluh tujuh dolar untuk mendaki Gunung Agung? seru cowok Prancis sambil mengangkat tracking pole. Tapi, pantas saja bayar segitu, desak cewek Belanda. Makin bagus harga, makin sayang pada sesuatu. Prinsipnya, harga adalah substitusi yang baik.”
Si cowok mengawali dengan pertanyaan “Apa yang membedakan Bali dengan pulau lainnya?” dan kemudian dengan cepat berpaling ke kenikmatan yang menyejukkan.
Saya tidak dapat menahan kantuk mendengar ironi ini. Saat lautan awan tidak menghalangi matahari untuk merona, saya baru saja habis makan buah Ara. Mungkin kedua tamu itu belum baca Marx. Ya, pantas saja, dia-kan orang Jerman, pikir saya.
“Bali adalah suatu pulau dan tempat di mana dewa-dewi dilahirkan. Pusat liburan dengan bantuan mantra-mantra.”