Di sisi lain, pendidikan dan pelatihan bela negara juga perlu disesuaikan dengan kemajuan teknologi, memanfaatkan media digital dan platform online untuk meningkatkan kesadaran generasi muda akan pentingnya ketahanan bela negara. Kerja sama internasional dalam bidang keamanan juga menjadi hal yang tak kalah penting, karena ancaman dapat datang dari luar, dan kolaborasi dalam teknologi serta pertukaran informasi menjadi kunci untuk menghadapi ancaman global. Terakhir, pendekatan multidimensional yang melibatkan aspek sosial, ekonomi, dan politik juga diperlukan untuk menjaga stabilitas nasional, karena ketahanan bela negara tidak hanya mengandalkan kekuatan militer, tetapi juga kohesi sosial dan kesejahteraan masyarakat. Dengan mengintegrasikan semua aspek ini, ketahanan bela negara di era Revolusi Industri 4.0 dapat terjaga dengan baik meskipun tantangan yang dihadapi semakin kompleks. Universitas Islam Sultan Agung Semarang (UNISSULA) sebagai lembaga pendidikan tinggi memiliki peluang yang sangat besar dalam menanamkan nilai-nilai bela negara pada setiap mahasiswanya. Kurikulum dan pembelajaran yang diterapkan harus memiliki keterkaitan yang jelas dengan semangat nasionalisme serta kesadaran akan pentingnya menjaga kedamaian dan keberagaman yang ada di Indonesia. Selain itu, riset dan pengembangan yang berfokus pada kebijakan publik yang mendukung ketahanan sosial dan ekonomi juga menjadi bagian penting dalam upaya memperkuat ketahanan bangsa.
Tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan terhadap ketahanan bela negara di era Revolusi Industri 4.0 muncul dari berbagai dimensi yang saling terkait dan memerlukan penanganan yang komprehensif. Salah satu tantangan terbesar adalah kecepatan dan skala perubahan teknologi yang terus berkembang pesat. Di tengah kemajuan teknologi yang terus berubah, negara harus beradaptasi dengan cepat dalam mengembangkan sistem pertahanan yang tidak hanya tangguh secara fisik tetapi juga secara digital. Hal ini mencakup kebutuhan akan pengembangan infrastruktur siber, peningkatan sistem pengamanan data, serta pelatihan sumber daya manusia yang mumpuni. Keterlambatan dalam mengikuti perkembangan ini dapat menyebabkan ketidakmampuan untuk merespons ancaman dengan efektif, terutama dalam menghadapi serangan berbasis teknologi seperti siber dan perang informasi. Di masa lalu, ancaman terhadap ketahanan negara umumnya berkaitan dengan konflik bersenjata antara negara-negara. Namun, saat ini, ancaman tersebut bisa datang dari berbagai sektor yang berinteraksi dalam dunia yang semakin terkoneksi. Teknologi yang sangat maju membawa dampak positif dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, namun juga membuka celah bagi ancaman yang lebih canggih dan lebih sulit dideteksi.Â
Ancaman utama di era Revolusi Industri 4.0 juga tidak lagi terbatas pada konfrontasi militer tradisional, melainkan meluas ke bidang dunia maya. Serangan siber terhadap infrastruktur kritis, seperti jaringan listrik, air, dan komunikasi, bisa menyebabkan kerusakan yang lebih besar daripada ancaman fisik langsung. Selain itu, penggunaan teknologi untuk terorisme digital, penyebaran disinformasi, dan pengaruh dari propaganda asing semakin memperburuk situasi. Ancaman ini semakin kompleks karena bersifat tersembunyi dan sulit dilacak, serta dapat mengarah pada destabilitas sosial dan politik dalam negeri. Selain itu, perkembangan senjata otomatis, drone, dan kecerdasan buatan dalam peperangan juga membawa ancaman baru yang memerlukan adaptasi dari sisi pertahanan negara. Namun, selain ancaman dari luar, terdapat pula hambatan internal yang menghambat upaya negara dalam memperkuat ketahanan bela negara. Salah satu hambatan terbesar adalah keterbatasan sumber daya manusia yang terampil di bidang teknologi dan siber. Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, pendidikan dan pelatihan yang memadai dalam bidang ini masih sangat terbatas. Tanpa adanya sumber daya manusia yang terlatih, negara akan kesulitan untuk membangun sistem pertahanan yang modern dan tangguh. Selain itu, adanya ketimpangan akses terhadap teknologi di berbagai wilayah, baik secara geografis maupun sosial-ekonomi, dapat menghambat pemerataan keamanan dan pertahanan di seluruh negeri. Infrastruktur yang tidak merata, terutama di daerah terpencil, juga menjadi kendala dalam membangun ketahanan bela negara yang menyeluruh dan efektif.
Salah satu tantangan besar yang muncul adalah kerentanannya terhadap serangan yang dapat mengganggu kehidupan masyarakat sehari-hari. Serangan terhadap sistem digital negara, seperti peretasan terhadap data sensitif, pencurian identitas, atau sabotase terhadap infrastruktur penting, dapat memicu ketidakstabilan ekonomi, politik, dan sosial. Dalam hal ini, ancaman bukan hanya datang dari kelompok teroris atau negara asing, tetapi juga bisa berasal dari individu atau kelompok yang memanfaatkan kerentanannya dalam teknologi. Negara perlu memperkuat ketahanan siber sebagai prioritas utama dalam strategi pertahanan mereka, untuk memastikan bahwa sistem digital yang mendukung operasi negara tetap aman dan berfungsi dengan baik. Selain itu, teknologi juga memunculkan ancaman baru dalam bentuk perang informasi. Penyebaran berita palsu atau disinformasi dapat menciptakan kebingungan dan ketegangan di kalangan masyarakat, serta mempengaruhi opini publik dalam menghadapi isu-isu nasional. Berita palsu yang disebarkan melalui media sosial dapat merusak reputasi pemerintah, memperburuk polarisasi politik, bahkan menciptakan ketegangan antar kelompok di dalam masyarakat. Ancaman seperti ini menjadi sangat berbahaya karena sulit untuk dideteksi dan ditanggulangi dengan cepat, mengingat penyebarannya yang sangat cepat dan luas di dunia maya.
Hambatan lain yang menghambat ketahanan bela negara adalah kurangnya kerjasama antara sektor-sektor terkait di dalam negeri. Dalam menghadapi ancaman yang semakin kompleks, negara membutuhkan kolaborasi yang lebih erat antara lembaga pemerintah, perusahaan teknologi, akademisi, dan masyarakat. Hambatan dalam koordinasi antar lembaga, baik di tingkat nasional maupun daerah, dapat memperlambat respons terhadap ancaman yang muncul. keterbatasan dana riset dan pengembangan bidang pertahanan, teknologi, dan keamanan juga bisa menjadi penghalang bagi kemajuan negara dalam memperkuat ketahanan bela negara. Negara memerlukan investasi yang signifikan dalam teknologi baru dan sistem pertahanan untuk menjaga keunggulannya dalam menghadapi ancaman global. Gangguan lain yang sangat mengkhawatirkan adalah fenomena "cyber warfare" yang dapat merusak tatanan kehidupan negara tanpa meninggalkan jejak fisik yang nyata. Serangan siber yang sukses dapat mematikan sistem vital seperti energi, transportasi, dan komunikasi, yang menjadi bagian integral dari operasi negara. Gangguan terhadap sistem ini dapat menghentikan aktivitas ekonomi dan mengancam keselamatan warga negara. Selain itu, ketergantungan yang tinggi pada teknologi juga meningkatkan risiko jika terjadi kegagalan teknis pada infrastruktur penting. Gangguan ini bisa datang dalam bentuk kesalahan teknis, serangan siber, atau bencana alam yang merusak fasilitas teknologi.
Gangguan yang dihadapi negara dalam menjaga ketahanan bela negara di era ini juga sangat beragam. Salah satunya adalah polarisasi sosial yang semakin tajam akibat penyebaran informasi yang tidak terverifikasi di media sosial. Berita palsu dan misinformasi dapat memperburuk ketegangan sosial, merusak kohesi nasional, dan menciptakan ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Ketidakstabilan sosial ini dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin merusak ketahanan negara dari dalam. Ketergantungan tinggi pada teknologi juga  menjadi gangguan besar jika terjadi serangan atau kerusakan pada sistem digital yang mendukung kehidupan. Gangguan pada sistem transportasi, komunikasi, maupun sistem keuangan akibat serangan siber dapat memperlambat respons terhadap ancaman eksternal, serta menyebabkan ketidaknyamanan dan kerugian ekonomi yang besar. Gangguan sosial akibat ketidakmerataan akses terhadap teknologi juga harus diperhatikan. Tidak semua lapisan masyarakat memiliki akses yang sama terhadap teknologi modern. Hal ini dapat menciptakan kesenjangan sosial yang memperburuk ketidakstabilan dalam negeri. Misalnya, kelompok tertentu yang tidak memiliki akses atau pemahaman yang cukup terhadap teknologi bisa terpinggirkan dan merasa tidak memiliki keterhubungan dengan negara, yang akhirnya melemahkan rasa persatuan dan kesatuan. Ketidakmerataan ini juga memperburuk risiko polarisasi sosial, yang dapat mengganggu solidaritas dan kemampuan negara dalam menjaga ketahanan bela negara.Â
Menghadapi semua tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan ini, diperlukan pendekatan yang lebih terintegrasi dan adaptif. Negara harus mengembangkan strategi pertahanan yang tidak hanya berbasis pada kekuatan militer, tetapi juga pada kekuatan digital dan siber. Penguatan kesadaran bela negara di kalangan masyarakat penting untuk memastikan bahwa setiap warga negara memiliki pemahaman yang cukup tentang ancaman dan cara menghadapinya. Kerjasama internasional dalam bidang teknologi dan pertahanan sangat diperlukan, mengingat ancaman di era Revolusi Industri 4.0 bersifat lintas batas negara. Semua pihak harus bekerja bersama untuk membangun ketahanan nasional yang lebih kuat, menghadapi ancaman yang semakin beragam dan canggih di masa depan. Secara keseluruhan, untuk mengatasi tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan tersebut, negara harus mengadopsi pendekatan yang lebih holistik dan adaptif. Ini mencakup peningkatan kemampuan teknologi pertahanan, penguatan sumber daya manusia, serta kolaborasi yang erat antara sektor publik, swasta, dan masyarakat. Selain itu, penting untuk membangun kerja sama internasional yang solid dalam menghadapi ancaman global yang semakin terhubung satu sama lain. Dengan kesiapan yang matang dalam menghadapi perubahan dan ancaman baru ini, ketahanan bela negara dapat diperkuat, meskipun tantangan yang dihadapi semakin kompleks dan dinamis.
Tantangan, Ancaman, Hambatan, dan Gangguan (TAHG) di Era Revolusi Industri 4.0
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia di era ini adalah kesenjangan digital. Ketidakmerataan akses terhadap teknologi dan internet, terutama di daerah terpencil, menciptakan ketimpangan antara masyarakat perkotaan dan pedesaan. Hal ini memperlambat penyebaran manfaat teknologi dan memperbesar jurang ekonomi di dalam negeri. Selain itu, transformasi tenaga kerja menjadi tantangan yang signifikan. Otomatisasi dan penggunaan teknologi canggih menggeser banyak pekerjaan konvensional, memaksa tenaga kerja untuk menguasai keterampilan baru yang relevan dengan kebutuhan industri 4.0. Tantangan lain adalah keterbatasan infrastruktur teknologi yang masih menjadi masalah mendasar. Jaringan internet di banyak wilayah belum memadai, baik dari segi kecepatan maupun cakupan. Hal ini menghambat inovasi digital dan adopsi teknologi secara merata di seluruh Indonesia. Tanpa infrastruktur yang memadai, transformasi digital tidak dapat berlangsung secara optimal.
Revolusi Industri 4.0 juga membawa ancaman yang tak bisa diabaikan, salah satunya adalah keamanan siber. Ketergantungan yang semakin tinggi pada teknologi membuat Indonesia menjadi target empuk bagi serangan siber, seperti pencurian data, penyebaran hoaks, hingga penipuan daring. Ketidaksiapan dalam menghadapi ancaman ini dapat berdampak pada kestabilan ekonomi, politik, dan sosial. Ancaman lainnya adalah kompetisi global yang semakin ketat. Industri lokal, terutama usaha kecil dan menengah (UKM), menghadapi tekanan dari perusahaan multinasional yang memiliki teknologi lebih maju. Tanpa inovasi dan dukungan yang memadai, banyak pelaku usaha dalam negeri berisiko tergilas oleh persaingan. Selain itu, era ini juga memunculkan ancaman dehumanisasi, di mana peran manusia dalam berbagai sektor tergantikan oleh mesin dan algoritma, mengurangi interaksi dan nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam menghadapi TAHG, Indonesia juga dihadapkan pada sejumlah hambatan internal. Salah satunya adalah regulasi yang belum fleksibel. Kebijakan dan aturan sering kali tertinggal dari dinamika perkembangan teknologi, sehingga tidak mampu mengakomodasi kebutuhan era 4.0. Misalnya, regulasi terkait keamanan data pribadi masih dalam tahap awal pengembangan, sementara ancaman kebocoran data terus meningkat. Hambatan lainnya adalah minimnya sumber daya manusia (SDM) yang terampil di bidang teknologi. Sistem pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya beradaptasi dengan kebutuhan Revolusi Industri 4.0. Kurikulum yang usang, minimnya pelatihan berbasis teknologi, dan akses terbatas ke fasilitas pendidikan modern menjadi kendala dalam mencetak tenaga kerja yang siap bersaing di tingkat global. Selain itu, resistensi terhadap perubahan atau budaya kerja konvensional juga menjadi hambatan besar. Banyak organisasi dan individu yang enggan beradaptasi dengan teknologi baru, yang pada akhirnya memperlambat transformasi digital.