Mohon tunggu...
Dhany Wahab
Dhany Wahab Mohon Tunggu... Penulis - Lembaga Kajian Komunikasi Sosial dan Demokrasi [LKKSD]

IG/threads @dhany_wahab Twitter @dhanywh FB @dhany wahab Tiktok @dhanywahab

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Musyawarah, Hakikat Jiwa Pancasila

1 Juni 2021   06:35 Diperbarui: 3 Juni 2021   21:44 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pancasila adalah warisan para pendiri bangsa (The Founding Fathers) yang menjadi dasar sekaligus tujuan yang harus dicapai dari berdirinya negara Indonesia. Rumusan lima sila yang sarat makna merupakan hasil kesepakatan bersama para tokoh bangsa mesti menjadi panduan (guide line) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Momentum peringatan Hari Kelahiran Pancasila setiap tanggal 1 Juni merupakan sarana kontemplasi bagi kita untuk mengukur sejauh mana nilai-nilai Pancasila teraktualiasasi dalam aktivitas keseharian. Kita harus terus berupaya menguatkan pemahaman Pancasila sebagai modal sosial mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam Kuliah Virtual bertema "Pendidikan Transformatif; Prioritas Pembangunan Karakter" yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Indonesia, (25/5/2021), Cendekiawan Yudi Latif, Ph.D menegaskan perlunya transformasi sosial berbasis Pancasila yang bertujuan untuk mewujudkan perikehidupan kebangsaan dan kewargaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Menurut Yudi Latif, sejatinya dalam Pancasila mencakup ranah mental kultural, ranah politikal dan ranah material. Sila pertama; Ketuhanan yang Maha Esa, sila kedua; Kemanusian yang adil dan beradab dan sila ketiga; Persatuan Indonesia merupakan kesatuan nilai yang mencerminkan masyarakat religius berkemanusiaan, egaliter, mandiri, amanah, tidak memuja materialisme-hedonisme, menjalin persatuan dan semangat pelayanan.

Sila keempat; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, meneguhkan integrasi kekuatan nasional melalui demokrasi permusyawaratan yang berorientasi persatuan (negara kekeluargaan) dan keadilan (negara kesejahteraan). Sila kelima; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, mengandung makna perekonomian merdeka yang berkeadilan dan berkemakmuran, berlandaskan usaha tolong-menolong, menekankan pengusaan negara (atas sektor strategis) seraya memberi peluang bagi hak milik pribadi dengan fungsi sosial.

Tanpa bermaksud mengurangi makna dari sila-sila yang lain, secara khusus kita cermati sila keempat  Pancasila dalam praktik kehidupan politik dan demokrasi di tanah air. Sebagai ranah politikal sila keempat secara tegas memandu bangsa Indonesia untuk mengutamakan semangat dan nilai permusyawaratan sebagai jalan menyelesaikan persoalan kebangsaan.

Polarisasi yang terjadi di tengah masyarakat sebagai residu dari hajatan pemilu mengundang keprihatinan kita semua. Keterbelahan sosial politik yang tercermin dari sikap pro-kontra masyarakat terhadap kebijakan pemerintah seharusnya dapat diminimalisir. Problema ini sepatutnya dapat diselesaikan melalui musyawarah yang memberikan ruang dialog seluas-luasnya bagi setiap elemen bangsa.

Karakter budaya kewargaan yang semestinya dikembangkan agar selaras dengan sila keempat Pancasila yaitu; (1) Menghormati aspirasi dan kepentingan rakyat dalam politik dengan terus menyempurnakan sistem dan praktik demokrasi, (2) Menghormati perbedaan pandangan dengan tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, (3) Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan yang menyangkut kehidupan bersama dengan dibimbing oleh kearifan dan akal sehat sesuai hati nurani yang luhur, (4) Dengan iktikad baik dan rasa tanggungjawab menerima dan melaksanakan hasil musyawarah, (5) Mengemban peran publik secara bertanggungjawab.

Dalam praktik demokrasi yang berkembang saat ini harus diakui semakin melemahnya spirit musyawarah di tengah masyarakat. Perbedaan pandangan dan dukungan politik seringkali makin menjauhkan kita dari upaya menjaga persatuan Indonesia. Keputusan yang diambil oleh lembaga perwakilan rakyat lebih dominan ditempuh dengan mekanisme pemungutan suara terbanyak (voting) ketimbang musyawarah mufakat.

Sejatinya negeri ini pernah mempunyai lembaga tertinggi negara yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) yang menjadi wadah musyawarah bagi para wakil rakyat. Namun, pasca amandemen UUD 1945, MPR menjadi lembaga negara yang kedudukannya sederajat dengan lembaga negara lainnya. Tugas dan fungsinya menjadi terbatas, bahkan seolah keberadaanya sama dengan ketiadaannya (wujuduhu ka'adamihi).

Semestinya Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dapat berperan lebih besar sebagai lembaga tinggi negara yang mengemban tugas dan tanggung jawab dalam mewujudkan daulat dan amanah rakyat. MPR RI selayaknya didorong sebagai wadah musyawarah untuk merumuskan haluan kebangsaan sehingga mampu memberikan kemashlahatan yang lebih besar kepada seluruh rakyat.

Esensi permusyawaratan sebagai bentuk kearifan nasional (national wisdom) bangsa Indonesia merupakan jalan lurus untuk mengetahui dan menyatakan pendapat atau gagasan dengan tujuan menemukan solusi dari setiap permasalahan. Budaya 'rembugan' yang disimbolisasikan dengan keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat seharusnya menjadi cerminan perilaku mulia bangsa Indonesia yang ber-Pancasila.

Pendekatan musyawarah sebagai tata cara pengambilan keputusan yang mengedepankan semangat kekeluargaan. Semangat musyawarah telah dicontohkan oleh pendiri bangsa ini. Mereka antara lain mencontohkan tiga jiwa mulia yang sebenarnya sederhana. Pertama mendatangi lawan untuk menjalin silahturahmi kembali, kedua tidak membalas perbuatan yang negatif dengan hal negatif juga dan yang ketiga dapat bersikap lemah lembut kepada semua orang.

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir mencontohkan sikap kenegarawanan dua tokoh bangsa ini yakni: Sukarno dan Ki Bagoes Hadikusumo. Keduanya terlibat langsung dalam sidang BPUPKI yang merumuskan Pancasila sebagai dasar negara pada 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Kenegarawanan mereka ditunjukkan saat membahas soal sila Ketuhanan.

Sukarno mengatakan bahwa dirinya muslim dan bangsa Indonesia. Dia akan membela Islam dalam permusyawaratan. "Bung Karno meyakinkan kaum muslim. Kalau saya muslim, saya buka dada saya di situlah Islam. Dan saya akan bela Islam dalam permusyawaratan," cerita Haedar dalam tausiyahnya. (sumber: detik.com)

Semangat 'permusyawaratan perwakilan' sudah semestinya kita rawat dan aktualisasikan dalam kehidupan berdemokrasi. Permusyawaratan jangan sekedar jargon semata yang difungsikan hanya dalam gelaran seremonial tahunan. Musyawarah selayaknya menjadi budaya dan karakter elit pemimpin dalam merumuskan kebijakan dan keputusan politik. Perilaku politik yang mengedepankan ruh musyawarah, berdialog penuh kasih sayang dengan pihak yang berbeda pandangan merupakan bukti jiwa Pancasila yang sebenarnya.**

Tayang di kumparan.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun