Mohon tunggu...
Dhany Wahab
Dhany Wahab Mohon Tunggu... Penulis - Lembaga Kajian Komunikasi Sosial dan Demokrasi [LKKSD]

IG/threads @dhany_wahab Twitter @dhanywh FB @dhany wahab Tiktok @dhanywahab

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama FEATURED

Ada Apa dengan RUU Pemilu?

28 Januari 2021   12:30 Diperbarui: 2 Maret 2022   13:50 837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pemilu (sumber: KOMPAS)

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyepakati 33 Rancangan Undang-undang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2021. 

Kesepakatan ini diambil dalam Rapat Kerja Menteri Hukum dan HAM, Badan Legislasi DPR, dan Dewan Perwakilan Daerah terkait pengambilan keputusan RUU Prolegnas prioritas 2021.

Satu diantara RUU yang menjadi prioritas adalah Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang diusulkan oleh DPR. Namun, dinamika yang berkembang saat ini sejumlah petinggi partai politik menyuarakan penolakan terhadap RUU tersebut.

Sejumlah alasan dikemukakan diantaranya revisi UU Pemilu tidak mudah, lantaran banyak kepentingan yang harus diakomodir seperti kepentingan partai politik, pemerintah pusat dan daerah, penyelenggara pemilu dan masyarakat.

Selain itu demokrasi prosedural menjadi kurang baik akibat bongkar pasang melalui UU Pemilu. Perubahan UU Pemilu dalam waktu relatif cepat membuat tidak ada waktu untuk mematangkan demokrasi.

Sebaliknya bagi yang mendukung berpendapat semangat pembentukan RUU Pemilu adalah untuk jangka panjang. RUU Pemilu ini justru agar menghentikan kebiasaan revisi UU Pemilu setiap menjelang Pemilu. Urgensi pembentukan RUU Pemilu ini akan menguji efektifitas sistem  Pemilu yang ada sekarang ini, dalam kerangka demokrasi, sirkulasi elit, dan kualitas demokrasi.

Alasan lain perlunya RUU Pemilu ini adalah menghindari tumpang tindih antara UU Pemilu dengan UU Pilkada. Dua undang-undang itu akan disatukan dalam satu aturan utuh RUU Pemilu. Kodifikasi UU Pemilu dan UU Pilkada dalam peraturan yang terintegrasi untuk mengatur pemilu dari hulu sampai hilir secara komprehensif.

Pro kontra tentang pembahasan RUU Pemilu yang disuarakan oleh partai politik tentu beralasan karena sesuai kepentingan subyektif masing-masing parpol. 

Sedangkan pertimbangan obyektif diperlukan untuk menghasilkan sistem pemilu yang demokratis dan inklusif bagi kepentingan bangsa dalam jangka panjang.

Secara substansi ada beberapa isu dalam draf RUU Pemilu (26 Novembder 2020) yang perlu kita cermati dan komparasikan dengan realitas sekarang ini, diantaranya;

Pertama, Normalisasi pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada). Dalam RUU Pemilu terdapat norma pemilihan kepala daerah yang selanjutnya disebut Pemilu Daerah pertama diselenggarakan pada tahun 2027, dan untuk selanjutnya diselenggarakan setiap lima tahun sekali (Pasal 734 ayat 1). Sedangkan pemilihan kepala daerah serentak masih akan dilaksanakan pada tahun 2022 dan 2023 (Pasal 731).

Sementara UU Nomor 10 Tahun 2016 secara eksplisit menyebut waktu pelaksanaan pilkada serentak. Pasal 201 ayat (8) berbunyi; Pemungutan suara serentak nasional  dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.

Pilkada memiliki urgensi untuk tetap diselenggarakan pada 2022 dan 2023 sesuai siklus pemilihan bagi kepala daerah yang akhir masa jabatannya pada 2017 dan 2018. 

Jika pilkada digelar secara nasional pada tahun 2024 maka sebanyak 271 daerah bakal dipimpin oleh penjabat (Plt) kepala daerah. Selain itu 270 kepala daerah hasil pilkada serentak 2020 mungkin menjabat tidak genap lima tahun hingga 2024.

Pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024 yang berbarengan dengan pemilu akan berpotensi membebani anggaran negara. 

Secara teknis penyelenggaraan pilkada yang tahapannya beririsan dengan pelaksanaan pemilu juga dapat menimbulkan ancaman elektoral. 

Sehingga, pelaksanaan pilkada sesuai dengan akhir masa jabatan kepala daerah dipandang sebagai pilihan yang rasional sebelum diselenggarakan pemilu daerah pada tahun 2027.

Kedua, Anggota Partai Politik Menjadi Penyelenggara Pemilu. Dalam draf RUU Pemilu yang Pasal 16 ayat 7 berbunyi: Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan Partai Politik secara proporsional berdasarkan hasil pemilu sebelumnya. 

Norma itu menyebut bahwa komposisi anggota KPU, KPU provinsi, hingga kabupaten/kota memperhatikan keterwakilan partai politik. Hal ini bertentangan dengan syarat menjadi anggota KPU seperti terdapat dalam pasal 27 ayat (1) huruf (i) yang berbunyi; mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun pada saat mendaftar sebagai calon;

Aturan soal keanggotaan KPU dari parpol ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No 81/PUU-IX/2011. Putusan ini menutup kesempatan anggota parpol untuk menjadi calon anggota KPU atau anggota Bawaslu. Jika hendak menjadi penyelenggara pemilu, mereka diharuskan mundur dari parpol sekurang-kurangnya lima tahun saat pendaftaran.

Sekedar contoh, pada pemilu tahun 1999 anggota KPU terdiri dari perwakilan partai politik dan perwakilan pemerintah. KPU tidak bisa menetapkan hasil pemilu karena ditolak oleh partai yang kalah sehingga mengakibatkan ketidakpastian politik. Selain itu sudah sepatutnya lembaga penyelenggara pemilu harus independen dari kepentingan partai politik sebagai peserta pemilu.

Ketiga, Sistem pemilu proporsional terbuka. Dalam draf RUU Pemilu pasal 206 ayat (1) berbunyi: Pemilu untuk memilih Anggota DPR dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. (2) Sistim proporsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sistem yang menggunakan daftar nomor urut calon berdasarkan penetapan partai politik yang dihitung berdasarkan perolehan suara terbanyak.

Sistem proporsional terbuka seperti yang diterapkan dalam Pemilu 2019 dinilai menimbulkan praktik politik biaya tinggi. Pemilu menjelma seperti ‘pasar bebas’ yang menimbulkan persaingan tidak hanya antar parpol tapi juga memicu konflik antar caleg dalam satu parpol. Praktik pemilu dengan sistem proporsional terbuka mengakibatkan biaya logistik pencetakan surat suara dan formulir menjadi lebih mahal. Ukuran surat suara yang relatif lebih lebar dan besar menyulitkan bagi para pemilih saat mencoblos di bilik suara.

Untuk mendukung sistem kepartaian yang kokoh dan profesional semestinya sistem proporsional tertutup menjadi pilihan seperti yang diterapkan pada masa lalu. Partai politik memiliki keharusan untuk melakukan kaderisasi dengan menempatkan calon anggota legislatif yang kompeten dan berkualitas berada di nomor urut teratas. Sistem ini juga yang membedakan pemilihan anggota DPR/DPRD dengan anggota DPD RI.

Keempat, pemberlakuan ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold). Dalam RUU Pemilu pemberlakukan ambang batas diterapkan tidak hanya di DPR RI saja namun juga berlaku ditingkat DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Pasal 217 berbunyi: Partai Politik Peserta Pemilu Anggota DPR harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 5% (lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR.

Penerapan ambang batas DPR naik menjadi 5 persen dinilai akan menyebabkan semakin besar suara sah yang terbuang. Bahkan diberlakukan ketentuan ambang batas di tingkat DPRD Provinsi sebesar 4 persen (pasal 238) dan DPRD Kabupaten/Kota sebesar 3 persen (pasal 251) akan berdampak pada eksistensi partai politik baru/kecil yang semakin sulit menempatkan anggotanya di parlemen.

Selayaknya praktik demokrasi tetap memberikan ruang yang memadai bagi partai politik dan rakyat yang telah menggunakan hak suaranya. Upaya penyederhanaan partai politik mesti ditempuh dengan cara yang lebih bijak dan adil dengan pembatasan alokasi jumlah kursi di setiap dapil yang lebih proporsional.

Kelima, penerapan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Tidak berbeda dengan pilpres pada tahun 2019 dalam draf RUU Pemilu terkait norma pencalonan presiden dan wakil presiden disyaratkan memiliki dukungan minimal 20 persen dari jumlah kursi DPR.

Pasal 187 ayat (1) berbunyi: Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187, diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Pemilihan Presiden tahun 2014 dan 2019 memberi pengalaman yang sangat memprihatinkan bagi kita. Pilpres yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon menyebabkan pembelahan masyarakat dalam dua poros besar yang saling berhadapan. Dampak sosialnya masih terasa hingga saat ini, meski kedua paslon presiden dan wakil presiden sudah menyatu dalam pemerintahan.

Pemilu presiden akan lebih adil dan kompetitif jika setiap partai politik yang mempunyai kursi di DPR dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Kita mendorong setiap parpol mengadakan konvensi untuk menjaring bakal kandidat yang akan diusung dalam pilpres. Tentu partai politik juga akan berpikir secara rasional untuk mengusung paslon sendiri atau membangun koalisi dengan parpol lainnya.  

Di dunia ini ada banyak sistem dan aturan pemilu yang bisa dipilih untuk disepakati, namun tidak ada satupun sistem dan aturan yang sempurna. Bangsa Indonesia telah berpengalaman menyelenggarakan pemilu sejak tahun 1955 dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Kita mendambakan terwujudnya praktik demokrasi substansial bukan sekedar demokrasi prosedural.

Pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat seharusnya mampu menghasilkan manfaat yang komprehensif bagi masyarakat. Pemilu yang melahirkan eksekutif dan legislatif berwatak negarawan. 

Mengedepankan partisipasi daripada mobilisasi. Menjunjung tinggi toleransi dalam menghadapi perbedaan. Mendahulukan kewajiban dan tanggungjawab demi mensejahterakan rakyat bukan cuma sebagai alat mempertahankan kekuasaan. Semoga.**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun