Mohon tunggu...
Dhany Wahab
Dhany Wahab Mohon Tunggu... Penulis - Lembaga Kajian Komunikasi Sosial dan Demokrasi [LKKSD]

IG/threads @dhany_wahab Twitter @dhanywh FB @dhany wahab Tiktok @dhanywahab

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilkada dan Pendidikan Pemilih

30 Mei 2020   14:45 Diperbarui: 31 Mei 2020   09:45 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak akan berlangsung di 270 daerah pada 9 Desember 2020. Sedianya pemilihan digelar pada bulan September, namun diundur hingga akhir tahun karena pandemi Covid-19. Pada tahun ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga mencanangkan program pendidikan pemilih berkelanjutan yang bertujuan untuk meningkatkan literasi pemilu dan demokrasi.

Pendidikan pemilih berkelanjutan merupakan investasi jangka panjang yang penting untuk dilakukan. Khususnya kepada para pemilih pemula yang baru pertama kali menggunakan hak politiknya dalam pemilu atau pemilihan.

Pemilihan 2020 diproyeksikan melibatkan lebih dari 105 juta pemilih, termasuk pemilih pemula yang baru berusia 17 tahun pada 9 Desember 2020 bertepatan hari pencoblosan. Sementara data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat ada 5.035.887 orang pemilih pemula pada Pemilu 2019 yang masuk dalam Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4).

Pemilih sebagai pemegang kedaulatan rakyat mempunyai peran yang sangat sentral dalam pelaksanaan demokrasi elektoral. Terlepas dari apapun yang mempengaruhi, ketika seorang pemilih berada di bilik suara, ia memiliki otoritas untuk menentukan pilihan. Proses pemberian suara yang durasinya tidak lebih dari lima menit sangat krusial bagi pemilih agar bisa mencoblos pilihannya secara cerdas dan rasional.

Pendidilkan Pemilih memang seharusnya dilakukan secara kontinyu sepanjang tahun sebagai upaya peningkatan kesadaran berpolitik bagi warga negara. Selama ini masyarakat baru membutuhkan informasi seputar pemilu atau kandidat yang akan dipilih menjelang diselenggarakan pesta demokrasi.

Sejatinya partai politik mempunyai kewajiban untuk memberikan pendidikan politik kepada konstituennya secara regular. Namun karena terbatasnya sumberdaya seringkali parpol hanya melakukan sosialisasi pada masa kampanye atau saat injury time.

Mencermati praktik pemilu di masa orde reformasi yang kental terasa justeru liberalisasi politik. Hal ini ditandai dengan munculnya beragam partai politik dalam waktu yang relatif singkat. Pembentukan partai politik seakan-akan menjadi alasan utama para politisi membangun kualitas demokrasi.

Padahal pada masa transisi demokrasi saat ini yang terjadi distribusi kekuasaan menyebar ke berbagai penjuru, praktik korupsi semakin merebak, regulasi dan institusi semakin menguat, merajalelanya praktik suap, pemotongan anggaran, pemerasan dan korupsi dilakukan sejak perencanaan (ICW, 2020)

Fenomena tersebut yang menimbulkan munculnya apatisme politik ditengah masyarakat dan merosotnya kepercayaan publik kepada partai politik dan penyelenggara negara. Jika hal ini tidak segera diatasi bisa berdampak kepada disintegrasi bangsa. Adakah praktik demokrasi yang dijalankan selama ini dapat menghadirkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh warga negara?

Peran pemilih dalam praktik demokrasi elektoral sangat penting, karena satu suara (one man one vote) dari manapun datangnya, dari rakyat jelata atau pajabat sangat menentukan masa depan bangsa. Untuk itu pendidikan pemilih berkelanjutan sangat relevan dengan pembangunan kualitas sumber daya manusia dan indeks demokrasi di Indonesia.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 pasal 198 ayat (1) menyebutkan; Warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih. Ketentuan ini yang seharusnya menjadi patokan dalam merumuskan sasaran pemilih untuk melakukan edukasi politik secara berkelanjutan.

Setiap warga negara yang mempunyai hak pilih harus mendapatkan informasi dan pengetahuan secara memadai sehingga pada saat menggunakan haknya dilandasi dengan rasa tanggung jawab terhadap kelangsungan negara. Model pendidikan pemilih berkelanjutkan bisa dilakukan dengan melibatkan unsur lembaga pendidikan, perguruan tinggi, organisasi masyarakat dan kelompok komunitas.

Semakin banyak pihak yang terlibat akan memberikan dampak positif bagi pendewasaan politik masyarakat. Materi yang disajikan meliputi prinsip-prinsip demokrasi, kewarganegaraan, sejarah pemilu di Indonesia dan praktik pemilu yang paling mutakhir.

Bagi kalangan pemilih pemula menjadi sangat urgen untuk ditanamkan sikap perilaku anti politik uang sejak dini. Tujuannya mereka bisa menjadi generasi baru yang mengutamakan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam berpolitik di masa depan.

Secara garis besar pendidikan pemilih berkelanjutan akan memberikan manfaat bagi Indonesia untuk menjadi negara yang demokratis, maju dan modern. Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan dilakukannya pendidikan pemilih, yaitu;

Pertama, Pendidikan pemilih akan mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pemilu dan pemilihan. Pemilih yang sadar kewajiban dan haknya sebagai warga negara tidak akan menyia-nyiakan kesempatan dalam menentukan pemimpin dan wakilnya di semua tingkatan. Partisipasi pemilih menjadi indikator kesuksesan pemilu, partisipasi pemilih yang tinggi menjadikan hasil pemilu lebih legitimate.

Kedua, Pendidikan pemilih bisa menjadi sarana pembekalan calon penyelenggara pemilu, yang bertugas mulai dari tingkat KPPS, PPS, PPK dan seterusnya. Pemilih yang tercerahkan akan mempunyai kepedulian untuk memantau semua proses pemilu secara berjenjang. Mempunyai keberanian untuk mengawasi setiap tahapan pemilu dan memastikan semuanya dilaksanakan sesuai dengan regulasi yang berlaku.

Ketiga, Pendidikan pemilih meningkatkan rasionalitas dan daya kritis masyarakat terhadap kontestan atau kandidat pemimpin di setiap tingkatan. Publik tidak serta merta percaya dengan janji-janji kampanye yang dilontarkan oleh peserta pemilu. Pemilih yang rasional akan menjadikan rekam jejak dan integritas kandidat sebagai preferensi saat menentukan pilihan.

Keempat, Pendidikan pemilih menjadi gerakan kolektif anti korupsi dan anti politik uang yang biasanya muncul seiring dengan berlangsungnya pemilu atau pemilihan. Ancaman terbesar dalam demokrasi adalah praktik jual beli suara (vote trading) yang akan berpengaruh dalam proses pengambilan kebijakan publik. Demokrasi yang tergadai karena pemilih tidak mandiri dalam menetukan pilihannya akan menjadikan pemilu hanya sekedar formal prosedural.

Kelima, Pendidikan pemilih untuk menyadarkan masyarakat bahwa proses penyelenggaraan negara diawali dengan pemenuhan kedaulatan rakyat. Menumbuhkan kesadaran dan kepedulian terhadap masa depan bangsa. Negara bisa tergadai lantaran ketidak pedulian warga dalam proses politik, apalagi jika kita sebagai pemilih bersikap pragmatis dengan menjual murah hak pilih pada setiap hajatan demokrasi.**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun