Hikmat kebijaksanaan merupakan bentuk kearifan lokal dalam menentukan kriteria kepemimpinan. Sehingga politisi yang tak memiliki hikmat kebijaksanaan tidak layak memimpin Indonesia. Para penyelenggara negara tanpa hikmat kebijaksanaan tak mungkin diharapkan melahirkan kebijakan yang menyejahterakan.
Hikmat kebijaksanaan semestinya menjadi panduan utama bagi para pejabat publik yang terpilih melalui kontestasi politik. Karenanya, sungguh aneh jika ada pemimpin yang dipilih oleh rakyat tapi ketika menyampaikan narasi tidak ada rasa empati, terlebih jika kebijakan yang dikeluarkan justeru menyakiti rakyatnya sendiri.
Praktik politik yang berpedoman kepada nilai-nilai hikmat kebijaksanaan senantiasa mengutamakan kepentingan bersama dalam mewujudkan kebaikan. Politik yang mampu merekatkan semua pihak untuk mencapai kesepakatan, bukan malah menyekat dan menyikat pihak yang berlawanan. Narasi yang dikembangkan adalah merangkul untuk memperkuat persaudaran dan persatuan bukan justeru memukul yang memicu perpecahan.
Jika merujuk pada kamus bahasa Arab, hikmat berasal dari kata hikmah yang mempunyai arti kebijaksanaan, pendapat atau pikiran yang bagus, pengetahuan, filsafat, kenabian, keadilan. Hikmah juga bermakna kumpulan keutamaan dan kemuliaan yang mampu membuat pemiliknya menempatkan sesuatu secara proporsional. Hikmah sebagai ungkapan dari perbuatan seseorang yang dilakukan pada waktu yang tepat dan dengan cara yang tepat pula. (https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/celoteh-kang-erick/14/01/24/mzw9ja-hikmah-barang-hilang-milik-orang-beriman)
Memang rasanya janggal, ditengah praktik politik yang sarat dengan vote buying atau vote trading kita mengharapkan muncul sosok politisi yang memegang teguh prinsip hikmah kebijaksanaan. Figur langka yang saat ini kita rindukan bisa dipersiapkan dengan cara melakukan pendidikan politik berkelanjutan. Hal ini sekaligus untuk menumbuhkan kesadaran kembali pada nilai-nilai Pancasila.
Peran yang seharusnya dilakukan oleh partai politik dalam menyiapkan kader pemimpin yang berakhlak mulia dan bermental negarawan. Kita menyadari bahwa para pendiri bangsa ini telah meletakan dasar negara yang sangat kokoh bagi kapal Indonesia untuk berlayar mengarungi samudera dan menghadapi gelombang ujian serta badai rintangan.
Bencana non alam pandemi Covid-19 menjadi momentum bagi negeri ini untuk meluruskan haluan agar sesuai dengan cita-cita berdirinya negara. Para pemimpin harus kembali kepada nuraninya dan membulatkan tekad untuk mengaktualisasi spirit hikmah kebijaksanaan. Kepercayaan masyarakat akan menguat jika pemerintah dan elit politik mampu membuktikan kerja kerasnya membela kepentingan rakyat bukan sekedar menggugurkan kewajiban.
Ditengah perayaan idul fitri sebagai ungkapan kemenangan melawan hawa nafsu, maka sepatutnya kita merenungi perjalanan bangsa ini. Memang kita tidak sedang menghadapi penjajahan kolonial seperti di masa lalu, tapi sedang melawan imperialisme ekonomi yang berwujud hutang dan pinjaman. Kita sedang menghadapi serangan virus corona yang tak kasat mata serta tidak tahu kapan berakhirnya.
Negeri ini membutuhkan banyak sosok negarawan yang siap berjuang, mengabdi dan melayani rakyat setulus hati. Negara ini tidak memerlukan politisi dadakan sarat pencitraan yang tampil musiman pada saat mengais dukungan. Bukan pula elit petualang yang ambisi kekuasaan dengan berpolitik hanya mengandalkan uang.
Mari menjaga negeri dari serangan wabah pandemi dengan menggalang solidaritas dan kepedulian tanpa batas. Kini waktunya membangun peradaban politik berlandaskan ‘hikmah kebijaksanaan’ demi melindungi keselamatan dan kedaulatan rakyat.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H