Mohon tunggu...
Dhany Wahab
Dhany Wahab Mohon Tunggu... Penulis - Lembaga Kajian Komunikasi Sosial dan Demokrasi [LKKSD]

IG/threads @dhany_wahab Twitter @dhanywh FB @dhany wahab Tiktok @dhanywahab

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemilu Kombinasi Manual dan Digital

20 Mei 2020   17:15 Diperbarui: 20 Mei 2020   18:49 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemilihan 2020 yang sedianya berlangsung pada bulan September, rencananya baru akan digelar pada 9 Desember mendatang. Penundaan dilakukan menyusul adannya status darurat bencana non alam berupa pandemi Corona.

Rencana pelaksanaan pada 9 Desember juga masih tergantung dengan situasi dan kondisi pasca pandemi Covid-19. Sebelum dimulainya kembali tahapan Pilkada Serentak, Komisi II  DPR bersama Mendagri, KPU dan Bawaslu akan melaksanakan rapat kerja terkait kesiapan pelaksanaan tahapan lanjutan Pemilihan Kepala Daerah 2020.

Rapat itu akan dilaksanakan setelah masa tanggap darurat pandemi virus Corona berakhir atau sekitar awal Juni 2020. Mencermati dinamika yang berkembang sekarang ini, sejumlah kalangan mengusulkan akan lebih baik jika Pemilihan diundur hingga pertengahan tahun depan. Alasannya, karena diperlukan waktu yang memadai bagi bangsa ini untuk melakukan pemulihan (recovery) dari dampak pandemi.

Momentum tersebut juga berkaitan dengan rencana revisi Undang-Undang Pemilu yang dilakukan oleh DPR pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55 Tahun 2019. 

Seperti kita ketahui MK memberi sejumlah pilihan desain pemilu serentak yang tetap konstitusional sesuai UUD 1945. Dimana pada prinsipnya yang tidak boleh dipisahkan adalah Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR dan DPD.

Wacana yang berkembang desain Pemilu nantinya akan dibagi menjadi Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal. Langkah ini dimaksudkan dapat memperkuat sistem presidensial sekaligus meningkatkan partisipasi pemilih dalam setiap pelaksanaan pemilu.

Apapun format pemilu yang nantinya akan diberlakukan, saya lebih tertarik menyoroti proses tahapan rekapitulasi perhitungan suara dalam pemilu. Dalam sistem demokrasi elektoral, menurut hemat saya, dari berbagai persoalan yang ada, yang paling krusial adalah proses rekapitulasi penghitungan suara mulai dari tingkat TPS sampai ke jenjang berikutnya.

Rekapitulasi suara pemilu 2019 secara umum sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017. Dalam UU tersebut, proses rekapitulasi dilaksanakan secara manual berjenjang dari TPS hingga nasional.

KPU menggunakan teknologi hanya untuk rekapitulasi C1 yang discan dan ditampilkan di website KPU dalam bentuk tabulasi. Sistem ini bernama Situng (Sistem Penghitungan), agar masyarakat tahu perkiraan hasilnya lebih dulu, namun bukan hasil resmi.

Belajar dari penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 dengan lima kotak suara berpengaruh terhadap proses rekapitulasi ditingkat TPS. KPU bahkan harus memperpanjang waktu penghitungan suara di TPS selama 12 jam pada hari berikutnya. Sementara, sebagai contoh proses rekapitulasi ditingkat KPU Kabupaten Bekasi memakan waktu hampir sebulan setelah hari pencoblosan.

Salah satu penyebabnya karena proses rekapitulasi ditingkat PPK Tambun Selatan yang membawahi lebih dari seribu TPS berlangsung paling lama. Proses rekapitulasi yang berlarut-larut membuka celah terjadinya penyimpangan dan praktik manipulatif dalam menghitung suara setiap peserta pemilu.

Maka usulan KPU untuk menggunakan e-rekap sebagai model penghitungan suara dengan memanfaatkan teknologi informasi patut diapresiasi. Sistem rekapitulasi manual yang berlangsung selama ini dengan menggunakan banyak formulir selain merepotkan para petugas TPS juga rentan terjadinya pemalsuan.

Ketua KPU Arief Budiman dalam acara diskusi daring Kolase Konstitusi bertema ‘Membangun Demokrasi Ditengah Pandemi’ pada 15 Mei 2020 sempat menyinggung tentang rencana KPU melakukan uji coba e-rekap pada pelaksanaan Pemilihan tahun ini.

Secara singkat dijelaskan bahwa seluruh tahapan pemilu atau pemilihan berlangsung secara konvensional. Pemilih datang ke TPS untuk menggunakan hak suaranya dengan cara mencoblos pada surat suara yang tersedia. Proses selanjutnya petugas akan melakukan penghitungan suara dengan mencatat pada formulir C1 Plano. Seluruh tahapan ini dapat disaksikan secara langsung oleh saksi peserta pemilu, pengawas dan masyarakat.

Berikutnya formulir model C1 Plano akan dicapture/difoto di TPS untuk kemudian langsung diupload ke server pusat tabulasi suara. Salinan foto model C1 Plano ini nantinya yang akan diserahkan kepada para saksi, pengawas dan diumumkan di TPS. Sehingga tidak perlu lagi dilakukan penulisan ulang perolehan suara pada formulir C1 salinan.

Proses digitalisasi rekapitulasi suara ini yang diharapkan dapat mempercepat penghitungan suara hasil pemilu. Dengan memanfaatkan teknologi informasi memberikan jaminan untuk mendapatkan hasil perolehan suara yang akurat dan transparan. Publik dapat langsung mengetahui hasil perolehan suara di TPS masing-masing melalui aplikasi yang tersedia.

Guna mewujudkan proses digitalisasi penghitungan perolehan suara berlangsung dengan lancar dan tepat waktu, maka diperlukan kesiapan dari penyelenggara pemilu, diantaranya;

Pertama, sumber daya manusia penyelengara pemilu yang melek teknologi. Setiap TPS dipastikan setidaknya ada seorang petugas yang memiliki kemampuan dibidang IT. Proses rekrutmen KPPS memberikan prioritas untuk kalangan milenial yang berusia antara 20 hingga 40 tahun. 

Rentang usia tersebut yang saat ini sudah terbiasa menggunakan berbagai macam platform digital. Kebiasaan ini akan mempermudah pada saat mengikuti bimbingan teknis tata cara upload C1 Plano ke server.

Kedua, tersedianya sarana hardware dan software mulai dari tingkat TPS yang handal dan aman dari gangguan hacker. Hal ini perlu menjadi perhatian untuk menghindari praktik peretasan yang kerap terjadi di dunia maya. Kita masih ingat sejumlah situs yang dihack dan pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik. Pengiriman data dan gambar dalam jumlah besar dan waktu yang bersamaan juga harus menjadi perhatian terhadap keandalan server.

Ketiga, tersedianya akses jaringan internet yang memudahkan untuk pengiriman data dan gambar hasil capture C1 Plano. Sejumlah wilayah ditanah air masih terdapat blank spot tentu akan menyulitkan bagi petugas yang lokasi TPS-nya berada di daerah terpencil. Sekali lagi proses upload sebaiknya dilakukan di TPS dengan disaksikan langsung oleh saksi peserta pemilu, pengawas dan masyarakat.

Jika proses rekapitulasi penghitungan suara dapat dilakukan secara digital melalui e-rekap maka hal ini dapat menjadi entry point bagi penggunaan e-voting. Sistem dan infrastruktur pemilu yang berbasis IT akan memberikan kemudahan dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemilu. Sekarang tinggal political will para pemangku kepentingan, mau tidak membuat regulasi yang memberikan legitimasi proses rekapitualsi suara berbasis digital.

Bilamana semua pihak berpikir untuk kemajuan pembangunan demokrasi di masa depan, maka regulasi yang memberikan ruang kepastian hukum bagi pelaksanaan pemilu yang lebih modern akan diberi kemudahan.

Sebaliknya jika kepentingan pragmatis politis yang lebih dominan maka gelaran pemilu dengan cara manual dan konvensional masih akan dipertahankan, sementara jumlah pemilih akan terus bertambah secara significan setiap lima tahun. Kita tunggu hasil revisi RUU Pemilu. Adakah perubahan visioner yang mampu memacu upaya peningkatan kualitas demokrasi elektoral di negeri ini?.**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun