Dalam perjalanan ke Cikarang, saya sempat mendengarkan curhatan seorang kakek melalui siaran radio. Kakek yang mengaku tinggal di Depok mengungkapkan rasa kangen kepada cucunya. Kepada penyiar ia mengatakan sudah lebih dari sebulan harus menahan diri untuk melepas rindu kepada sang cucu karena mesti mematuhi aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang ditetapkan oleh pemerintah.
Begitu emosionalnya sang kakek sehingga terdengar manahan isak tangis diujung telepon. Saya ikut larut terbawa merasakan bagaimana keinginan yang ada di dalam hatinya. Sang kakek kemudian bertanya sampai kapan kira-kira masa pembatasan ini akan berlanjut. Mungkin pertanyaan sang kakek juga mewakili kebanyakan orang yang berharap agar pandemi Corona segera mereda sehingga bisa beraktivitas kembali secara normal seperti biasa.
Pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diterapkan bersamaan dengan bulan ramadhan memang menjadi ujian kesabaran lahir batin. Kewajiban kita untuk menjalankan puasa dan keharusan mematuhi larangan berpergian, seolah kita berada dalam penjara. Kebebasan yang menjadi hak dasar manusia sedang di uji agar kita naik kelas menjadi pribadi yang taat aturan.
Sejumlah kegiatan inti aturan PSBB dalam pasal 13 Permenkes 9 tahun 2020 meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, pembatasan kegiatan sosial dan budaya, pembatasan moda transportasi dan pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan.
Sanksi bagi warga yang melanggar berupa teguran lisan, peringatan, catatan Kepolisian terhadap para pelanggar, penahanan kartu identitas, pembatasan/penghentian/pembubaran kegiatan, penutupan sementara, pembekuan dan pencabutan izin. Bahkan di Jakarta pelanggar bisa terkena hukuman pidana satu tahun penjara dan denda Rp 100 juta.
PSBB adalah bentuk komitmen bersama sebagai usaha untuk melawan penyebaran virus Corona yang telah menjadi musuh bersama umat manusia. Kepatuhan setiap orang sangat diperlukan agar usaha mencegah penularan wabah Corona tidak menjadi sia-sia. Kesabaran menahan diri untuk tetap berada #dirumahaja menjadi tantangan bagi setiap orang agar tidak tergoda untuk melanggar aturan.
Sama seperti halnya puasa yang kita jalani di bulan Ramadhan merupakan pembelajaran untuk mengendalikan hawa nafsu. Melalui puasa kita berlatih mengontrol emosi, terutama menahan marah. Jika kita mampu mengontrol amarah selama Ramadan tak hanya mendapat pahala, melainkan juga manfaat kesehatan.
Kemampuan mengendalian diri pada saat kebebasan aktivitas kita dibatasi dapat menjauhkan diri dari stress dan depresi. Puasa melatih kesabaran untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang meskipun dalam keadaan normal sering mengerjakan. Seperti makan dan minum yang merupakan kebutuhan hakiki setiap makhluk hidup, tapi ketika sedang berpuasa kita dilarang melakukannya.
Orang yang lapar kadang menjadi gelap mata dan mudah tersulut emosi, tapi ketika menahan lapar dengan menjalani ibadah puasa tujuannya agar kita menjadi insan penyabar. Rasa sabar itu yang bisa menjadi obat ketika kita sedang menghadapi masalah bencana pandemi Corona seperti saat ini.
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 153).
Menurut Aid Al-Qarni sabar adalah kemampuan jiwa untuk senantiasa berlapang dada, berkemauan keras, serta memiliki ketabahan yang besar dalam menghadapi masalah kehidupan.