Konflik regional di Asia Tenggara telah menjadi tantangan besar bagi ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) sejak organisasi ini berdiri pada tahun 1967. Dua konflik utama yang melibatkan kawasan ini adalah konflik Vietnam-Kamboja pada akhir 1970-an dan sengketa Laut China Selatan yang berlangsung hingga saat ini. Kedua konflik ini tidak hanya menguji efektivitas ASEAN sebagai organisasi regional, tetapi juga mencerminkan perbedaan pendekatan yang diambil ASEAN dalam menyelesaikan konflik tersebut. Artikel ini menganalisis perbedaan pendekatan ASEAN dalam menghadapi kedua konflik tersebut, dengan mengacu pada makalah yang relevan.
Konflik Vietnam-Kamboja: Realisme yang Teruji
Konflik Vietnam-Kamboja (1977--1989) melibatkan dua negara komunis yang bersekutu dengan kekuatan besar dunia---Uni Soviet dan Tiongkok. Konflik ini berakar pada ketegangan wilayah dan ideologi, dengan puncaknya adalah invasi Vietnam ke Kamboja yang menggulingkan rezim Khmer Merah. ASEAN, yang saat itu baru berusia sepuluh tahun, dihadapkan pada tantangan besar untuk mempertahankan stabilitas kawasan.
ASEAN awalnya mengandalkan prinsip non-intervensi, sesuai dengan norma yang dipegang teguh sejak pendiriannya. Namun, invasi Vietnam melampaui batas prinsip ini. ASEAN pun mengambil langkah-langkah untuk menginternasionalisasi konflik dengan melibatkan komunitas internasional, termasuk melalui PBB.
Dalam upayanya, ASEAN melakukan beberapa cara seperti:
- Mengutuk Tindakan Vietnam. ASEAN secara tegas mengecam invasi Vietnam ke Kamboja sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan dan norma internasional.
- Memanfaatkan Diplomasi Multilateral. ASEAN mendorong konferensi internasional seperti International Conference on Kampuchea (ICK) pada tahun 1981 untuk mencari solusi damai.
- Mendorong Penarikan Pasukan. ASEAN berhasil menekan Vietnam untuk menarik pasukannya dari Kamboja pada tahun 1989, sebagai hasil dari berbagai dialog dan tekanan internasional.
Namun, keterlibatan negara-negara besar seperti Uni Soviet, Tiongkok, dan Amerika Serikat dalam konflik ini menunjukkan bahwa ASEAN masih bergantung pada dukungan eksternal untuk menyelesaikan masalah yang kompleks. Hal ini menjadi cerminan bahwa pada masa itu ASEAN masih belum memiliki kapasitas yang cukup kuat untuk menyelesaikan konflik tanpa campur tangan kekuatan luar.
Sengketa Laut China Selatan: Liberalitas dan Diplomasi Panjang
Berbeda dengan konflik Vietnam-Kamboja yang bersifat militer langsung, sengketa Laut China Selatan melibatkan klaim teritorial yang tumpang tindih, terutama antara Tiongkok dan beberapa negara anggota ASEAN seperti Vietnam, Filipina, dan Malaysia. Wilayah ini memiliki nilai strategis yang besar karena kekayaan sumber daya alamnya dan posisinya sebagai jalur perdagangan internasional utama.
Pendekatan ASEAN terhadap sengketa ini lebih bersifat diplomatis dan menggunakan instrumen hukum internasional. Beberapa langkah utama ASEAN dalam menangani sengketa ini adalah:
- Deklarasi dan Kode Etik. ASEAN bersama Tiongkok menyepakati Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) pada tahun 2002 untuk mengurangi ketegangan di wilayah sengketa. ASEAN berupaya menyusun Code of Conduct (COC) yang mengikat secara hukum, meskipun negosiasinya masih menghadapi banyak tantangan hingga kini.
- Pendekatan Multilateral dan Hukum Internasional. ASEAN mendukung penyelesaian sengketa melalui jalur damai sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Filipina membawa kasus ini ke Mahkamah Arbitrase Internasional pada tahun 2013, yang menghasilkan putusan pada tahun 2016 bahwa klaim Tiongkok atas Nine-Dash Line tidak memiliki dasar hukum.
- Penguatan Dialog Keamanan. ASEAN memanfaatkan ASEAN Regional Forum (ARF) untuk melibatkan negara-negara besar seperti Tiongkok dan Amerika Serikat dalam diskusi keamanan.
Namun, tidak semua negara anggota ASEAN memiliki pandangan yang sama mengenai penyelesaian konflik ini. Beberapa negara, seperti Kamboja, lebih memilih pendekatan bilateral dengan Tiongkok, yang sering kali memperlemah posisi kolektif ASEAN dalam menghadapi isu ini.
Perbandingan Pendekatan ASEAN