Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakaatuh
Saya sarankan kepada sobat Renaisans untuk membaca artikel-artikel sebelumnya terkait "Pemujaan Berlebihan Tidak Sehat" guna menghindari kesalahpahaman antara penulis dengan pembaca, karena bisa dibilang materi kali ini agak sedikit TEPI JURANG.
Berikut tautan artikel sebelumnya:
Pemujaan Berlebihan...(Kata Pengantar)
Pemujaan Berlebihan...(BAB I Pemujaan Golongan)
Pemujaan Berlebihan...(BAB II Pemujaan Tokoh)
Pemujaan Berlebihan...(BAB III Pemujaan Gelar)
Kalau sudah membacanya atau memutuskan untuk melanjutkan tanpa membaca sebelumnya, mari kita mulai...
Tidak dapat dipungkiri bahwa menghormati seseorang berdasarkan nasab atau keturunan di belahan dunia manapun telah seperti mendarah daging menjadi sebuah adat, budaya, tata krama, atau aturan tidak tertulis yang disetujui. Saya secara pribadi pun tidak ada masalah dengan hal tersebut. Dalam adat Jawa ketika kita memiliki sepupu dari kakak ayah atau kakak ibu, kami diajarkan untuk memanggil mas atau mbak tak peduli selisih tahun antara saya dengan sang sepupu.
Dalam kebiasaan sebagian besar umat Islam di Indonesia pun demikian, memanggil dengan sebutan habib, sayyid, dan syarifah kepada orang yang memiliki garis keturunan dengan nabi Muhammad Shallahu Alaihi Wa Sallam serta panggilan gus dan ning kepada orang yang memiliki garis keturunan dengan kyai atau pemuka agama. Dan saya pun tidak masalah dengan adanya panggilan-panggilan tersebut yang meski saya sendiri tidak begitu menggunakan istilah-istilah itu dalam memanggil keturunan mereka.
Beda lagi cerita jika ada orang yang memaksakan dirinya untuk dipanggil dengan sebutan-sebutan di atas, meksipun jika benar dia adalah keturunan dari yang dimaksud saya lebih memilih untuk tidak menggunakannya karena orang seperti itu tidak layak untuk diberi kehormatan yang demikian. Tapi alhamdulillah saya hampir tidak pernah melihat fenomena keturunan orang shaleh memaksakan dirinya dipanggil dengan sebutan hormat, bahkan sebagian besar dari mereka menutupi identitas keturunan mereka dan lebih suka dipanggil seperti biasa.
Karena telah saya tanyakan kepada beberapa teman saya yang memiliki garis keturunan demikian, jawabannya adalah ketika status nasabnya diketahui oleh orang lain, maka secara tidak langsung muncul dorongan moral bahwa dia harus betul-betul menjaga marwah (kehormatan) dari nasabnya tersebut. Maka selain kurang nyaman, mereka juga merasa tidak bisa berkelakuan seperti diri mereka sendiri. Ada? Banyak!
Tapi justru yang menjadi objek permasalahan tajuk ini ialah orang-orang yang terlalu memuja garis keturunan, orang-orang yang beranggapan bahwa kita harus memberikan rasa hormat yang jauh lebih tinggi kepada orang yang mengalir dalam dirinya "darah suci", orang-orang yang membenarkan segala ucapan keturunan orang shaleh, yang semua itu dibalut dengan adab, agama, penghormatan kepada keluarga para pahlawan, dan lain sebagainya.
Mungkin alangkah baiknya dimulai dengan sebuah pertanyaan yang harus diajukan pada masing-masing pribadi, "Sebenarnya apa yang kalian muliakan? Garis keturunannya? Orangnya? Jasa orang shaleh atau para pahlawan yang melahirkan keturunan seperti mereka?"
Jika yang pembaca muliakan adalah darah yang mengalir pada seseorang, maka jika orang tersebut melakukan dosa besar, apakah pembaca akan membenarkan tindakannya? Apakah pembaca akan melindunginya mati-matian meski tau itu salah? Bagaimana jika orang tersebut mengajak berbuat huru-hara dan kemungkaran di muka bumi? Apakah anda selalu membenarkan ucapannya? Apakah anda yakin bahwa yang diucapkannya pasti benar? Atau bagaimana jika dia sedang berhadapan dengan orang yang juga memiliki garis keturunan yang sama, apakah anda akan tidak berpihak pada keduanya? Atau anda akan tetap mendukung salah satu di antara mereka yang padahal memiliki garis keturunan yang sama?
Pun jika yang pembaca muliakan adalah karena mereka merupakan keturunan dari orang shaleh atau pahlawan yang telah berjasa banyak bagi nusa, bangsa, dan agama, maka sejatinya yang kalian hormati adalah jasa. Dan jasa itu tidak ada hubungannya dengan keturunan-keturunanya, kecuali kalau keturunan tersebut memberikan jasa yang besar pula, maka dia layak dihormati dan tidak bisa dicocoklogikan antara jasanya dengan jasa yang telah dilakukan oleh leluhurnya. Terlebih jika keturunan dari orang yang telah berjasa tersebut malah berbuat kerusakan di muka bumi, maka sudah pasti dia tidak layak dimuliakan karena kerusakan yang dia sebabkan pastinya berlawanan dengan jasa dan visi-misi leluhur mereka yang membangun peradaban Islam atau peradaban NKRI dengan baik.
Karena kehormatan itu tidak diwariskan.
Konsep pemulian kepada orang yang memiliki darah biru maka menjadikan kita sebagai orang yang memuliakan sumber asal darah biru tersebut dan perlawanan kita terhadap mereka adalah perlawanan kepada leluhurnya bisa terbantahkan ketika terjadi hal-hal yang berlawanan dengan nilai-nilai Islam dalam konteks agama dan nilai-nilai Pancasila dalam konteks negara yang dilakukan oleh garis keturunan mereka.
Lantas berarti penulis tidak memuliakan garis keturunan nabi, pahlawan, pemuka agama, dan lain sebagainya?
Jika dianggapnya tidak memuliakan sama sekali, maka itu adalah kesimpulan yang tergesa-gesa. Karena jawaban saya adalah bahwa saya memuliakan seseorang bukan berdasarkan garis keturunannya, bukan berdasarkan jasa yang pernah leluhur orang tersebut lakukan, atau hal lain semacamnya. Namun, yang saya muliakan adalah ketaqwaannya. Sebagaimana dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 13:
Tarjamahan: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (Tafsirq.com)
Memangnya bagaimana cara mengukur standar ketaqwaan seseorang?
Penulis sendiri mengukur standar ketaqwaan seseorang adalah jika tindak-tanduk orang tersebut tidak bertentangan dengan apa yang termaktub dalam kitab sucinya, tidak bertentangan degan nilai-nilai agama, nilai-nilai pancasila, nilai-nilai adab lokal setempat, dan lain sebagainya. Siapapun itu, tak peduli dari agama apapun, dari aliran kalam manapun, partai apapun, keturunan siapapun.
Jadi bukan karena dia adalah anak si Fulan maka dia pasti berkelakuan shaleh, pasti benar. Bukan karena dia adalah memiliki darah nabi dan pakaiannya pakaian nabi, dia anggun seperti nabi, silakan saja jika standar ketaqwaan yang pembaca setujui adalah berdasarkan cover atau hanya dari apa yang tampak di mata, dengar di telinga, dan lain sebagainya. Tapi yang pasti, sesuatu berhak dihormati adalah karena ketaqwaan yang tercerminkan melalui tindak-tanduknya, pun sekali lagi tidak secara berlebihan dan tidak memandang bahwa yang dilakukan atau diucapkannya selalu benar.
Wa Allah A'lam bi al-Shawaab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H