Assalamu’alaikum, Sobat Renassains.
Melanjutkan pengantar yang penulis telah ulas kemarin, mari kita mulai dengan membahas “Pemujaan Berlebihan terhadap Golongan”. Sesuai dengan judulnya, maka fokus topik kali ini ialah Golongan.
Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa berfirman:
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى ٱلْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
"Wa lā tuṣa''ir khaddaka lin-nāsi wa lā tamsyi fil-arḍi maraḥā, innallāha lā yuḥibbu kulla mukhtālin fakhụr."
Terjemahan: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Qs Luqman [31]: 18)
Dalam hal ini, Allah melarang kita untuk memiliki sifat sombong dan membanggakan diri. Merasa golongannya paling benar dalam beraqidah dan bersyari’at. Kita memang musti meyakini bahwa yang kita lakukan adalah sesuai dengan ajaran nabi Muhammad Shalla Allahu 'Alaihi wa Sallama. Bukan meyakini secara taqlid buta, melainkan yakin dengan didasari oleh pengetahuan yang bersumber Al-Qur’an dan Sunnah nabi.
Hanya saja, mereka yang biasanya membangga-banggakan golongan dalam berdakwah akan terbesit dalam hatinya sikap takabbur (sombong). Tak hanya itu, mereka juga merendahkan golongan lain di depan jamaahnya.
Sehingga seharusnya, para da’i yang berdakwah secara lisan kepada jamaah hendaknya menyampaikan ajaran yang golongannya yakini baik dan benar tanpa ada unsur mengklaim bahwa yang diajarkan golongan lain adalah kesesatan, zindiq, dan sejenisnya.
Mengapa? Karena mereka yang golongannya direndahkan oleh golongan lain juga meyakini bahwa ajaran mereka juga benar. Bahkan bisa juga terdapat orang-orang yang balik menyerang dan mengklaim kesesatan kepada golongan yang merendahkan golongan lain tadi.
Untuk mempertegas larangan ujub dan takabbur, Rasulullah Shalla Allahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ, وَ هَوًى مُتَّبَعٌ, وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ
Artinya: “Tiga hal yang membawa pada jurang kebinasaan: (1) tamak lagi kikir, (2) mengikuti hawa nafsu (yang selalu mengajak pada kejelekan), dan ujub (takjub pada diri sendiri).” (H.R. Abdur Razaq, Hadist Hasan)
Juga dalam sebuah riwayat oleh Imam Ahmad mengatakan bahwa Umar ibnul Khattab pernah berkata, "Barang siapa yang mengatakan, Aku orang mukmin," maka dia adalah orang kafir. Barang siapa yang mengatakan bahwa dirinya adalah orang alim, maka dia adalah orang yang jahil (bodoh). Barang siapa yang mengatakan bahwa dirinya masuk surga, maka dia masuk neraka."
Dalam riwayat lain, Khalifah Umar pernah mengatakan, "Sesungguhnya hal yang paling aku khawatirkan akan menimpa kalian ialah rasa ujub (besar diri) seseorang terhadap pendapatnya sendiri. Maka barang siapa yang mengatakan bahwa dirinya orang mukmin, maka dia adalah orang kafir. Barang siapa yang mengatakan bahwa dirinya adalah orang alim, maka dia adalah orang yang bodoh. Barang siapa yang mengatakan bahwa dirinya masuk surga, maka dia masuk neraka."
Mungkin sebagian pembaca lantas bertanya-tanya, “Bukankah memang disebutkan bahwa umat islam akan terpecah belah menjadi 73 golongan, 72 di neraka dan hanya satu golongan di surga? Yakni Ahlu Al-Sunnah wa Al-Jama’ah?”
Ya, hadist tersebut shahih dan pasti ada. Namun, apakah kita dapat dengan mudah menuduh golongan yang menurut kita tidak sesuai dengan ajaran nabi Muhammad Shalla Allahu ‘Alaihi wa Sallama merupakan bagian dari 72 golongan yang masuk neraka?
Bukankah kita juga dianjurkan untuk tetap bersatu berpegang teguh pada agama Allah dan tidak bercerai-berai sebagaimana yang Dia firmankan dalam Q.S. Ali Imran ayat ke-103 . Dan bukankah itu lebih baik dari pada mencari-cari 72 golongan yang dimaksud dan mengklaim bahwa golongannya adalah yang masuk surga?
Untuk makna Ahlu Al-Sunnah wa al-Jama’ah telah saya utarakan pada “Kata Pengantar”. Atau saya juga merekomendasikan sebuah konten dari channel Youtube “Guru Gembul” yang bertajuk “Sunni Syiah. Dua-Duanya Bid’ah”.
Kemudian muncul perntanyaan berikutnya, “Bukankah sikap diam terhadap ajaran sesat sama halnya dengan meridhoi kesesatan tersebut? Dan kami juga ingin para jamaah menjadi orang-orang yang berada di jalan yang benar?”
Bukan begitu, sobat. Penulis bukan menganjurkan untuk bersikap diam terhadap ajaran yang kita nilai bertentangan, bukan pula mengabaikan para jamaah yang mencari ilmu. Namun, dengan merendahkan satu sama lain, hanya akan memperburuk citra di hadapan pengikut yang direndahkan. Sehingga yang seharusnya mampu diajak, menjadi enggan.
Juga, mengancam ataupun menjelek-jelekkan golongan lain di hadapan jamaahnya dapat menimbulkan ketakutan bahkan kebencian oleh jamaah terhadap golongan yang direndahkan da’inya. Dan hal itu akan menjadi sebuah kekangan bagi akal dan nurani jamaah dalam beragama. Jamaah, khususnya kaum awam, akan merasa bahwa yang dikatakan selain dari golongannya harus diragukan bahkan bisa jadi di tolak mentah-mentah.
Dengan demikian, poin penting yang saya tekankan sebagai solusi di sini ialah hendaknya berdakwah dengan tidak merendahkan golongan lain, tidak mengekang akal dan nurani jamaah, dan biarlah para jamaah menapaki jalan yang ia inginkan dengan damai dan tentram.
Para da’i berkewajiban untuk mengajak, namun tidak dianjurkan untuk memaksa lagi merendahkan. Pada titik itu lah terjadi transformasi pendidikan yang dibarengi dengan transformasi sosial yang mengarahkan manusia, khususnya umat islam, untuk menjadi insan yang cerdas, kritis, dan tidak hanya Ahlu al-Sunnah tapi juga berjamaah.
Kemudian apa yang sekiranya dihasilkan dari terbentuknya masyarakat yang demikian? Tentu saja persatuan dan kesatuan umat islam dalam membangun peradaban islam madani dan membangkitkan kembali kejayaan yang pernah ditorehkan oleh umat islam terdahulu.
Wa Allahu A’lam bi al-Shawwaab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H