Malang memang surganya kampung tematik. Minggu lalu saya berkesempatan mengunjungi kawan yang sedang riset thesis di salah satu kampung tematik, Kampung Glintung. Apa istimewanya kampung kecil ini sehingga kawan saya yang asli Semarang dan berkuliah di UGM jauh-jauh mengambil obyek riset di Glintung? Kawan saya berkata bahwa Kampung Glintung yang juga dikenal sebagai Kampung 3G alias Glintung Go Green, merupakan kampung spesial sebab masyarakatnya "sadar lingkungan".Â
Saya sebenarnya belum ngeh maksudnya bagaimana. "Pokoknya ke sini saja, di sini banyak sekali tanaman-tanaman hijau di pelosok gang dan atau rumah warga", seru kawan saya. Mendengar go green dan tanaman hijau, cukup membuat saya tertarik dan rela berpanas-panas ria naik motor dari rumah mertua menuju ke sana. Â
Saya sekeluarga menuju Kampung 3G, Kelurahan Purwantoro, Kecamatan Blimbing, Kota Malang dengan bantuan google maps. Yang kami cari sebetulnya adalah gang masuk Kampung Glintung, yang hanya berukuran 4 meter, di pinggir jalan raya, tenggelam diantara gedung-gedung megah. Memasuki gang, ada spanduk besar bertuliskan penghargaan kalpataru bagi Kampung Glintung kategori pembina lingkungan.Â
Kanan-kiri gang penuh dengan tanaman yang disusun secara vertikal, mulai dari tanaman hias sampai sayur-mayur hidroponik. Semua tanaman tersebut memiliki instalasi pengairan otomatis, sebab terihat selang-selang air yang ditata rapi di sela-sela tanaman.Â
Kesan pertama langsung adem, apalagi ada beberapa titik selfie yang juga layak dicoba. Kami sempat menunggu beberapa menit sebelum kawan saya muncul di ujung gang, bermaksud mengajak kami untuk jalan-jalan lebih dalam.
Sambil berjalan-jalan menjelajah gang kelinci (rerata ukuran hanya 1-2 meter), kawan saya, bak pemandu wisata, Â menceritakan bahwa Kampung 3G Â ini telah berjalan selama 6 tahun.Â
Kapung 3G pada awalnya diinisiasi oleh Bapak RW setempat, yang merupakan sarjana pertanian dan wirausahawan keripik tempe, cemilan khas Kota Malang. Dulu awalnya daerah tersebut dikenal sebagai "red district', daerah kumuh, langganan banjir, dan pemuda yang suka mabuk-mabukan.Â
Saya nyaris tidak percaya melihat gang-gang yang sangat asri, setiap warga menanam tanaman hias, dan jalanan yang bersih bebas sampah. Rumah di sana memang amat sangat padat, dengan gang sempit, hampir jarang ditemukan rumah berhalaman, namun tidak menjadi halangan warga untuk berbudidaya tanaman hias, buah-buahan dan sayur-sayuran dalam pot. Semuanya terawat dan sangat menyegarkan mata.
Daerah yang dulunya suka banjir, kini tidak lagi setelah ditanam 7 sumur injeksi yang bekerja sama dengan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya. Sumur injeksi adalah pengganti fungsi daerah resapan, sehingga kemampuan infiltrasi air bertambah, saluran drainase mampu menampung limpasan permukaan, dan berkurangnya titik-titik genangan banjir.Â
Sumur injeksi juga memberi keuntungan lain, yakni mempertahankan dan meningkatkan tinggi muka air tanah, mengurangi erosi dan sedimentasi, mencegah penurunana tanah, dan mengurangi konsentrasi pencemaran air tanah.
Kampung glintung juga memiliki hampir 120 lubang biopori, yang berfungsi pula sebagai resapan. Para warga pun bisa mengumpulkan sampah-sampah organik seperti dedauan di dalam lubang-lubang biopori, dan setelah "masak", sampah-sampah organik tersebut bisa dipanen untuk menjadi pupuk kompos bagi tanaman.Â
Sampah non organik pun diolah sedemikian rupa melalui bank sampah. Saya sempat melihat beberapa tas karung bertuliskan bank sampah tergantung di pagar warga. Jika sudah penuh, tas tersebut pun disetor ke bank sampah, dan hasilnya akan dibagikan berupa uang menjelang hari raya.
Yang unik, di beberapa titik di pinggir jalan atau gang dibangun fasilitas wastafel, yang mengajak untuk selalu berperilaku hidup bersih dengan membiasakan cuci tangan. Selain itu, wastafel juga bisa digunakan untuk menyiram tanaman-tanaman yang ada dengan bantuan selang air.Â
Sejak ditanamn sumur injeksi dan lubang biopori, kampung ini juga tidak kekurangan sumber air tanah, sehingga instalasi pengairan berjalan lancar, Hebatnya lagi, kampung sebelah juga kecipratan rejeki dengan ditemukannya sumber mata air baru.Â
Banyak sekali kelompok warga dari luar daerah yang melakukan studi banding di Kampung 3G, bahkan beberapa yang berasal dari luar Jawa. Konsep go green tersebut pun sudah bisa direplikasi oleh sebuah kampung di Tangerang.Â
Melihat perjalanan kampung 3G ini, terutama di tahun ke-6 nya sekarang, tak heran jika warga telah memetik banyak hal. Mulai dari pemasukan kas yang rutin dari safari kunjungan warga luar daerah ataupun mahasiswa yang sedang riset, liputan positif berbagai media, puncaknya pada bulan Agustus 2018 ini berhasil menerima penghargaan kalpataru.Â
Saya teringat rumus 10.000 jam terbang yang harus dilalui untuk menjadi profesional dan bisa memetik hasil dalam suatu hal. Saya rasa Kampung 3G telah melewati proses tersebut. Yang jadi 'pe er' besar saat ini tentu kaderisasi untuk menjamin keberlanjutan ekosistem yang ada saat ini, sebab berdasarkan cerita kawan saya, selama ini hanya 20% warga yang aktif dalam menciptakan Kampung 3G hingga menjadi seperti sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H