Mohon tunggu...
Dhani Apriandi
Dhani Apriandi Mohon Tunggu... Notaris - Seorang Notaris

Bukan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Saitama: Suatu Refleksi Kebijaksanaan

5 Agustus 2021   17:36 Diperbarui: 5 Agustus 2021   17:37 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rata-rata monster yang berkonfrontasi dengannya selalu berakhir tragis dengan sekali pukulan. Pukulannya menghasilkan daya destruksi yang sangat besar. Bahkan, Boros yang notabene seorang alien berkekuatan tempur tinggi sekalipun, dihabisi hanya dengan dua pukulan.

Badan dan kaki Boros seketika koyak dan terpisah setelah menerima pukulan kedua darinya. Begitu juga dengan Orochi yang digadang-gadang sebagai raja dari segala monster, bernasib lebih nahas daripada Boros. Pukulan tunggal!

Adalah Saitama, seorang karakter yang merupakan tokoh utama dalam serial anime berjudul Onepunch Man. Anime ini diadaptasi dari serial Manga-nya yang terbit setiap satu bulan sekali.

Dalam serial tersebut, Saitama digambarkan sebagai sosok berkepala botak licin dengan tampang lugu dan polos (sekalian o'on). Namun di balik itu semua, ternyata dia menyimpan kekuatan dan ketahanan fisik serupa para Dewa.

Entah dari mana asal dan bagaimana ia bisa memperoleh kekuatan dan ketahanan fisik yang luar biasa seperti itu, semuanya masih terhijab oleh misteri. Namun, justru inilah salah satu daya tarik dari serial ini.

Lebih lanjut, dalam kehidupannya, Saitama ditampilkan sebagai sosok berkemampuan finansial rendah. Karena hal itu, ia hanya bisa tinggal di sebuah kontrakan yang terletak jauh dari pemukiman penduduk bersama Genos, seorang Cyborg, murid satu-satunya.

Dulu sekali, lokasi kontrakannya ini adalah sebuah pemukiman padat penduduk. Namun kemudian, pemukiman itu diserang dan diporak-porandakan oleh para monster, sehingga akhirnya ditinggalkan permanen oleh para pemiliknya.

Dalam kesehariannya, dia dan Genos berprofesi sebagai Pahlawan Penumpas Monster. Kendati sama-sama berstatus sebagai Pahlawan, tetapi peringkat kepahlawanan Saitama terpaut jauh dengan muridnya ini.

Kendati level kekuatan di antara keduanya bagaikan langit dan bumi, tetapi dalam urusan peringkat kepahlawanan, Genos berperingkat A (tertinggi), sedangkan Saitama sendiri hanya berperingkat C. Jauh sekali!

Namun demikian, dia tak ambil pusing tentang peringkat tersebut. Baginya, peringkat adalah hal yang membosankan dan tak penting sama sekali. Satu-satunya hal yang dipentingkan olehnya hanyalah hakikat menjadi pahlawan, yaitu menumpas para monster yang mengganggu manusia, sehingga kedamaian bumi senantiasa terjaga.

Di luar itu, tentu saja karena adanya gaji bulanan serta fee yang akan diberikan oleh organisasi pahlawan apabila berhasil melenyapkan monster. Dan, kedua komponen ini adalah sumber utama baginya agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Suatu ketika, semua pahlawan, termasuk Saitama mendapat sinyal darurat dari organisasi pahlawan tentang adanya serangan seekor monster dengan level ancaman yang terbilang serius pada suatu pemukiman padat penduduk.

Dia bergegas menuju lokasi serangan. Namun, selama perjalanan menuju lokasi, beberapa pahlawan lain, termasuk Genos sudah tiba lebih dulu di lokasi itu. Namun, karena perbedaan kekuatan yang signifikan antara mereka dengan monster itu, maka mereka dikalahkan dengan cukup mudah.

Saitama tiba tepat pada waktunya. Dan, singkat cerita, dia langsung mendaratkan satu pukulan ringan ke tubuh monster itu, sehingga monster itu menemui ajalnya secara menggenaskan. Sebagian tubuhnya hancur!

Menyaksikan kejadian heroik itu, sekumpulan warga yang sebelumnya adalah korban teror monster tadi, segera bereuforia, dan segelintir dari mereka mengungkapkan rasa terima kasih kepada Saitama.

Sedangkan mayoritasnya, melontarkan kalimat yang tak nyaman didengar seperti, "ah, wajar saja dia bisa mengalahkan monster itu. Karena sebelumnya, monster itu sudah kelelahan menghadapi pahlawan lain, Genos dan kawan-kawan."

Namun demikian, Saitama tak bergeming sedikit pun. Dia tak memedulikan semua itu. Bahkan, ia tak merasa tersinggung sama sekali. Hal ini terlihat dari mimik wajahnya yang sama sekali tak berubah sejak tiba di lokasi sampai dengan saat ini, tetap datar.

Kisah Saitama adalah sebuah epik fiksi. Meskipun alur cerita dan semua karakternya hanyalah fiktif belaka, tetapi sosok Saitama menyimpan nilai-nilai filosofis yang tinggi. Lewat Saitama, kita dapat belajar dan menyerap nilai filosofis itu.

Toksik

Saitama adalah sosok yang tidak memedulikan hal-hal seperti peringkat dan perkataan atau persepsi orang lain terhadap dirinya. Satu-satu hal penting baginya adalah makna dari profesinya saat ini, pahlawan.

Meskipun dia memiliki kekuatan yang sangat besar dan tak terbatas, tetapi tak pernah dipamerkannya sekalipun. Padahal, kalau saja dia mau, tentulah status kepahlawanannya seketika melesat naik ke peringkat dan urutan pertama. Namun, semua itu tak dilakukannya, meskipun sangatlah mudah.

Dalam realitas: peringkat terkadang direfleksikan melalui pangkat dan jabatan. Dua hal ini memiliki relevansi yang begitu jelas. Pangkat adalah tingkatan dalam suatu jabatan, sedangkan jabatan itu sendiri adalah kedudukan dalam suatu organisasi.

Pandangan mudahnya, pangkat menunjukkan kelas-kelas di dalam suatu jabatan. Sementara, jabatan menunjukkan kelas-kelas dalam suatu organisasi. Terlepas dari apapun pengertiannya, kalau kita adalah pegawai atau pekerja, maka bagai seekor kucing diiming-imingi dengan ikan asin, kita pasti akan mengejarnya.

Namun, ada beberapa fakta tak sehat yang terkadang kita lakukan saat mati-matian mengejar kedua hal itu.

Ketika kita berkonfrontasi dengan situasi dan kondisi yang pelik, misalnya: suatu ketika atasan (bos/pimpinan) yang terkenal sadis dan tak logis memerintahkan agar pekerjaan ini (rumit sekali) harus selesai bagaimanapun caranya, sementara tempo pekerjaan itu hanya 2 jam. Dan, itu luar biasa tak cukup karena pekerjaan itu lazimnya hanya bisa diselesaikan dalam waktu minimal 2 hari.

Apa yang akan cenderung kita lakukan?

Umumnya, otak kita akan berpikir keras untuk mencari jalan keluar sesuai koridor. Syukur kalau ketemu. Namun, kalau tidak? Maka, sebagian kita (mungkin) cenderung memilih untuk memotong kompas dengan cara apapun. Hal ini sering diistilahkan dengan prinsip 4H, yaitu Halal, Haram, Hantam, Habis.

Prinsip 4H ini adalah suatu pegangan hidup yang sangat tak terpuji. Prinsip ini sangat berlawanan dengan kodrat kita sebagai manusia. Karena, sebagai makhluk berakal, kita memiliki kaidah-kaidah kehidupan yang harus selalu diindahkan.

Prinsip 4H lazimnya diaplikasikan dengan cara-cara yang buruk. Bahkan, buruk sama sekali. Pengguna prinsip ini akan menempuh cara apapun untuk mencapai keinginan atau tujuannya.

Demi memperoleh pangkat dan jabatan misalnya, pengguna prinsip ini tak segan melakukan berbagai perbuatan buruk seperti mencurangi, menipu, bahkan mengorbankan rekan kerjanya sendiri.

Umumnya, pengguna prinsip ini cenderung memikirkan cara bagaimana bisa memperoleh pangkat dan jabatan dengan cepat. Bahkan, menjilat atasan adalah hal biasa yang dilakukan agar pangkat dan jabatan bisa diperoleh secara instan.

Semua ini adalah masalah dari prinsip itu. Hal yang seringkali tak kita sadari adalah, bahwa secara tak langsung, atasan kita adalah toksik bagi kehidupan kita. Dan, ketika perintahnya kita realisasikan, maka saat itu pula kita telah menyerupainya. Toksik!

Plato dalam sebuah ungkapannya pernah berkata, "Janganlah engkau berteman dengan orang jahat, karena sifatmu akan mencuri sifatnya tanpa engkau sadari."

Ungkapan itu sungguh menohok kesadaran kita. Ungkapan itu pada dasarnya tak hanya terbatas pada teman saja, melainkan pada setiap orang jahat.

Atasan dalam permisalan tadi adalah seorang yang sangat jahat, bahkan bengis. Kebengisan adalah sifat yang senang membuat orang lain menderita. Terbukti, kita memang menderita karena perintahnya.

Perintah yang diberikan kepada kita itu adalah suatu hal yang tak logis. Bagaimana mungkin bisa menyelesaikan pekerjaan dengan tingkat kerumitan tinggi hanya dalam waktu 2 jam? Albert Einstein, baru (mungkin) bisa.

Namun, apa yang terjadi? Kita cenderung menuruti permintaan itu karena cemas dengan hal-hal negatif yang berseliweran di dalam pikiran seperti: kurang prestasi, tak cerdas, citra menurun, tak naik pangkat atau jabatan, dan tak... serta tak lainnya.

Akibatnya, kita menghalalkan berbagai cara agar pekerjaan itu selesai sesuai waktu yang ditentukan. Padahal, belum tentu juga semua hal negatif tadi akan terjadi. Bisa jadi semua itu adalah ilusi yang lahir dari ketakutan dan kekhawatiran kita.

Selain peringkat , Saitama juga tidak begitu memedulikan apapun reaksi orang lain terhadap dirinya. Mau baik ataupun buruk reaksi itu, tak pernah dipikirkannya, apalagi dimasukkan ke dalam hati. Apapun itu, dia tetap melakukan kebaikan yang terbaik bagi semua orang. Tak ada yang berubah.

Cuek bebek, ya itu dia. Sikap inilah yang akhirnya melahirkan ketangguhan bagi Saitama. Namun demikian, bukan berarti dia orang yang anti kritik. Ketika ada kritikan datang kepadanya, dia tetap melapangkan hatinya seluas mungkin.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering berhadapan dengan situasi dan kondisi yang tak menguntungkan kita. Salah satunya adalah reaksi buruk orang lain terhadap hal-hal baik yang telah kita lakukan.

Umumnya, setelah kita berbuat baik terhadap orang lain, tetapi kemudian dibalas dengan cemoohan, makian, bahkan hinaan, maka emosi kita seketika terpancing sehingga merasa sedih, jengkel, atau bahkan marah.

Kita langsung ke pertanyaannya saja. Mengapa kita harus merasa sedih, jengkel, atau marah? Inilah ironi kehidupan, kita selalu mengharapkan setiap hal berjalan sesuai ekspektasi. Dan, hal ini saya namakan sebagai Idealitas Semu.

Ironisnya adalah, tanpa sadar kita sering terjebak dalam idealitas tersebut. Idealitas ini termanifestasikan dalam pikiran kita seperti: setelah kita berbuat kebaikan terhadap orang lain, maka tentu kebaikan pula yang akan kita peroleh. Padahal, belum tentu.

Ternyata yang kita peroleh adalah reaksi negatif. Dan, kita pun terjerembab dalam kekecewaan. Apabila lalu kekecewaan ini terakumulasi, maka seringkali akhirnya menyebabkan kita kehilangan gairah untuk kembali melakukan kebaikan.

Pasif. Ya, akhirnya kita menjadi pasif. Seperti kapok berbuat kebaikan karena yang berbalik selalu keburukan. Pada titik inilah kita harus menyerap dan mengaplikasikan sikap cuek bebek yang dimiliki oleh Saitama.

Mengapa bebek? Saya jelaskan sedikit. Tak ada orang yang tak mengenal bebek. Jenis unggas satu ini tak hanya masyhur karena hobinya berkutat dengan lumpur, tetapi juga karena IQ-nya yang sangat rendah.

IQ rendah ini adalah modal utama bagi bebek untuk bersikap acuh tak acuh terhadap segala gangguan yang menghampirinya. Sifat bebek pun berbeda dengan unggas lainnya.

Lazimnya, ketika kita berpas-pasan dengan unggas lain seperti ayam, maka ayam itu seketika lari tunggang langgang untuk menghindari kita.

Namun, tidak dengan bebek. Dia tak menghiraukan kita sama sekali. Bahkan terkadang, dia semakin asyik menggoyangkan pantatnya. Bah, bebek!

Inilah ilmu dari bebek yang harus kita serap dan aplikasikan dengan cara mengacuhkan reaksi buruk dari orang lain. Tirulah sikap ini, maka niscaya kita bisa hidup dengan penuh kedamaian. "Tapi bebek 'kan bodoh, beda dengan manusia!" Ambil sisi baiknya, buang sisi bodohnya, cerdas.

Lagipula, mengapa emosi kita harus terpancing ketika mendapat reaksi yang buruk? Bukankah reaksi itu suatu hal yang berada di luar kontrol kita? Ya, tepat sekali.

Menyadari bahwa reaksi itu adalah hal di luar kontrol kita, sama halnya dengan membangunkan ketidaksadaran kita dari tidur panjangnya. Bahwa, kita tidak bisa berbuat apapun terhadap hal-hal yang berada di luar kontrol kita. Oleh karena itu, kita harus berteman dengan sikap cuek dan bebek itu sendiri.

Kebijaksanaan Saitama

Urusan peringkat atau status sosial dalam bermasyarakat harus disikapi secara cermat. Demikian karena, secara lahiriah kita memang telah memiliki kompulsi terhadap pemeringkatan. Kompulsi ini selalu memengaruhi kita dengan kuat.

Sejak zaman batu hingga sekarang, manusia selalu terdorong oleh kompulsi keinginan untuk hidup dalam keagungan. Menurut saya, baik di zaman batu maupun zaman sekarang, konsep peringkat ini telah eksis.

Untuk menjawab hal ini, rasanya kita harus meminta Saitama mengangkat kita sebagai muridnya yang kedua. Sekilas lewat, memang peringkat adalah hal penting bagi kita. Namun, pada hakikatnya bisa jadi tak begitu penting. Banyak hal lain yang tak kalah pentingnya dari sekadar peringkat. Kebenaran dan kebaikan. Ya, itu dia!

Dalam salah satu ungkapannya, Saitama berkata, "Manusia itu kuat karena memiliki kemampuan untuk mengubah dirinya sendiri." Lagi-lagi kesadaran kita kembali tertohok.

Apabila ungkapan ini diekstraksikan lagi, maka akan tersibak makna hakikatnya, yaitu "Kemampuan mengubah diri adalah kekuatan terbesar kita."

Oleh karena kemampuan itu bersemayam dalam diri kita, maka kita harus segera mengaktifkannya. Kita harus bertransformasi menjadi sosok yang berjalan pada jalur yang baik dan benar. Dengan demikian, kita bisa dengan lebih mudah memaknai berbagai hal dalam kehidupan.

Kebaikan dan kebenaran adalah dua hal yang sangat mudah untuk diucapkan, tetapi seringkali terasa sangat sulit untuk dikerjakan. Bahkan, di zaman sekarang, tanpa sadar, banyak orang yang kehilangan dua hal ini dalam kesehariannya.

Oleh karena itu, kita harus kembali mengingat dan mengasahnya. Bagaimana caranya? Mari mengorek tuntas nilai-nilai filosofis yang ada dalam diri Saitama.

Lewat penggalan kisahnya, tampak jelas bahwa sekalipun Saitama memiliki kekuatan yang sangat besar, tetapi dia tidak pernah sama sekali memamerkannya, kecuali saat berhadapan dengan monster dan alien.

Hal ini adalah sebuah refleksi dari sifat tawaduk atau rendah hati. Sifat ini akan selalu menjaga seseorang dari bahaya negatif seperti arogansi, zalim, obsesi, iri hati, dan lain sebagainya.

Apabila kita menanamkan sifat tawaduk ke dalam diri kita, maka niscaya akan membuahkan hal-hal seperti kesabaran, ketabahan, objektivitas, integritas, optimistis, tanggung jawab, dan lain sebagainya. Dan semua buah ini sangat manis sehingga kita perlukan untuk melahirkan kehidupan yang sentosa.

Fakta lainnya, Saitama tidak pernah memakai kekuatannya untuk menciderai sesama manusia, mau sejahat atau sebengis apapun manusia itu, kecuali terhadap Sonic. Ya, Sonic adalah salah satu tokoh dalam serial ini. Dia adalah seorang manusia yang mengaku sebagai rival Saitama. Dan sekali lagi, dia adalah pengecualian.

Namun demikian, ketika diserang oleh Sonic, Saitama sebisa mungkin menghindari konfrontasi dengan cara melarikan diri, atau apabila tak memungkinkan lagi, terpaksa dia meladeni Sonic dengan sekali senggolan atau tepukan tipis sehingga membuat Sonic seketika terkapar tak sadarkan diri.

Ini adalah sebuah manifestasi dari kebaikan dan kebenaran. Lebih tepatnya hal yang baik dan benar. Melukai sesama manusia dalam bentuk apapun bukan perbuatan yang baik lagi benar. Misalnya, ketika seseorang berusaha menyakiti kita dengan hinaan atau makian, dan kita membalasnya dengan tindakan yang sama, maka kita adalah orang yang buruk dan salah.

Demikian karena, perbuatan buruk dalam bentuk apapun dilarang untuk kita lakukan terhadap sesama. Bahkan, terhadap binatang sekalipun, terlarang! Dalam kata-katanya, Immanuel Kant berkata, "Ia yang kejam terhadap binatang juga menjadi kejam ketika berhubungan dengan orang lain. Kita bisa mengetahui hati seseorang dari sikapnya terhadap binatang."

Ketika seseorang bersikap buruk kepada kita, maka kita harus membalasnya dengan kebaikan. Minimal, kita bisa bertanya atau memberikan penggalan nasihat tentang kebaikan dan kebenaran kepadanya seperti: Apa keuntungan Anda bersikap seperti itu kepada saya? Atau, ingatlah anak muda, sikap buruk tak akan pernah menuntunmu pada kebaikan dan kebenaran.

Apabila kemudian dia menyadari nasihat itu, maka kitalah yang sebenarnya patut bersyukur. Karena, kita telah mengubah seseorang yang mungkin sedang tersesat, kembali ke jalan yang benar.

Namun kalau ternyata dia mengingkarinya dan tetap ngotot bersikap buruk terhadap kita, bahkan lebih parah, maka biarkanlah. Cukup doakan dia, karena itu adalah pilihannya sendiri. Mengapa begitu? Karena jelas, ini adalah bisikan dari Surga.

Selanjutnya, dalam kehidupannya, Saitama tak pernah silau dengan kekayaan dan ketenaran. Hal ini terlihat jelas dari kehidupannya yang jauh dari gemerlap harta benda. Selain itu, dia sama sekali tak pernah haus akan pujian, karena baginya yang terpenting adalah kontribusi positif bagi warga, dan tentu saja bagi organisasi pahlawan.

Nilai-nilai ini persis dengan The Living Voice, Socrates.

Kekayaan dan ketenaran adalah dua hal yang berada dalam ikatan terselubung dan seringkali tak bisa dipisahkan. Ini seperti relevansi antara harta dengan takhta.

Dalam realitas, kedua hal ini sering terefleksikan dari (beberapa) pengusaha sukses yang bergelimang harta turut meramaikan kontestasi politik sebagai calon anggota perwakilan rakyat, kepala daerah, dan lain sebagainya.

Ya, saya tahu bahwa (mungkin) niatan mereka mencalonkan diri sungguh mulia. Bahkan mereka (mungkin) membawa misi-misi kemanusiaan yang begitu menyejukkan. Namun, apakah untuk melakukan hal itu mutlak harus lewat jalur perpolitikan?

Saya rasa tidak juga, Anak Muda. Banyak sekali jalan yang bisa kita tempuh untuk dapat melakukan hal tersebut seperti misalnya, membantu meringankan beban perekonomian saudara/i kita, atau tetangga sekitar kita yang sedang keok akibat berlangsungnya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Perlu dicatat bahwa, di sini saya tidak melarang Anda atau siapapun untuk menjadi kaya raya dan bergelimang harta, karena itu bukan hak saya. Lagipula, saya memang tidak memiliki kuasa terhadap hal itu.

Apabila Anda bisa menjadi orang kaya raya, maka saya sangat bersyukur. Bahkan, saya doakan Anda agar kekayaan Anda semakin bertambah dan awet.

Namun, maksud saya adalah kayalah dengan cara yang elegan dan bermartabat. Sebab, dua komponen ini adalah refleksi dari kebijaksanaan.

Namun bagaimanapun juga, kita memerlukan sosok-sosok yang penuh kebaikan dan berjalan di jalur kebenaran untuk menduduki sejumlah kursi strategis dalam negeri kita. Dan, ini selalu menjadi impian terbesar kita sebagai rakyat.

Kita berharap pula agar setiap sosok yang berpartisipasi dalam suatu kontestasi politik bisa bersikap arif dan bijaksana layaknya sifat yang dikandung oleh Saitama, Socrates, dan para filsuf lainnya, baik sejak mencalonkan diri hingga kelak terpilih dan menebarkan semua misi kemanusiaannya di negeri ini.

Nilai kebijaksanaan terakhir yang dimiliki oleh Saitama adalah, tidak haus akan pujian. Di satu sisi, pujian memang menghadirkan motivasi dan semangat bagi kita. Namun di sisi lainnya, pujian bisa memunculkan kecenderungan berupa rasa cepat puas karena telah memperoleh pengakuan dari orang lain.

Hal yang paling dikhawatirkan dari "pengakuan" ini adalah munculnya sifat "keakuan" di dalam diri kita. Ini adalah buruk! Karena, "keakuan" bisa menghanyutkan kita ke pusaran hal negatif seperti salah satunya arogansi. Oleh karena itu, hal ini perlu disikapi secara netral.

Saya tak menampik bahwa terkadang kita memang membutuhkan pengakuan dari orang lain. Lagipula, ini adalah kecenderungan kita sebagai manusia. Namun, apalah artinya pengakuan itu, kalau ternyata berpotensi negatif bagi kehidupan kita.

Oleh karena itu, kita harus menetapkan tujuan utama agar tidak terperangkap dalam keakuan. Prioritaskan kebaikan dan kebenaran sebagai tujuan hidup kita.

Kemudian, apabila kebaikan dan kebenaran itu mendapat pujian dari orang lain, maka anggaplah itu sebagai sebuah bonus. Dengan begitu, niscaya kita akan selalu mendapatkan keluwesan dan kedamaian dalam hidup.

Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun