Mohon tunggu...
Dhani Apriandi
Dhani Apriandi Mohon Tunggu... Notaris - Seorang Notaris

Bukan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengoreksi Ketidaknyamanan Untuk Mengoreksi Kekeliruan Orang Lain

12 Juli 2021   23:58 Diperbarui: 13 Juli 2021   00:00 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

bisa-ala-biasa-60ebe50015251024f21e6902.png
bisa-ala-biasa-60ebe50015251024f21e6902.png
Suatu hal yang kita anggap sebagai beban cenderung dapat melahirkan rasa malas untuk dikerjakan. Sama halnya dengan upaya dalam mematangkan emosi. Jika dikerjakan dengan ketepatan frekuensi dan kecukupan durasi, maka dipastikan kita menjadi terbiasa dengan dunia di bawah permukaan air yang akhirnya dapat membawa kita mencapai tujuan semula, dasar lautan. Namun, jika sejak awal kita sudah merasa terbebani dengan setiap prosesnya, maka kemungkinan besar kita akan berhenti mengupayakannya di tengah jalan.

Upaya terakhir adalah mencegah diri kita menjadi hidangan cuma-cuma bagi predator laut seperti ikan hiu. Ya, serangan hiu! Mengapa hanya hiu saja? Singkat, karena serangan hiu terhadap manusia merupakan salah satu insiden yang paling sering terjadi dalam aktivitas renang dan selam di laut. Serangan ini pun dapat mengakibatkan luka yang serius dan fatal bagi korbannya. Selain hiu, predator laut lain yang harus diwaspadai adalah ikan pari, karena duri yang terletak pada tulang ekornya laksana cambuk beracun yang dapat menyengat bagian tubuh kita dan memberikan rasa sakit luar biasa, bahkan dalam kondisi tertentu dapat mengakibatkan kematian bagi korbannya dalam sekejap. Kendati sengatan pari yang berujung pada kematian bagi korbannya jarang terjadi, tapi tetap saja harus diwaspadai.

Pelbagai ancaman dari predator laut selama aktivitas selam dapat diminimalisir dengan membawa alat-alat pertahanan diri seperti pisau dan speargun. Sebenarnya, penggunaan baju selam, baik Wetsuit maupun Drysuit dalam aktivitas menyelam juga bertujuan untuk melindungi tubuh penyelam dari resiko luka akibat kontak secara langsung dengan terumbu karang, duri biota laut lainnya seperti ikan berduri tajam, bulu babi, dan lain sebagainya. Begitu pula tujuan penggunaan perlengkapan selam lainnya, sama-sama untuk melindungi diri kita dari resikonya masing-masing.

Dalam realitas kehidupan, banyak sekali rintangan yang datang untuk menguji ketahanan diri kita. Salah satu ujian yang seringkali singgah bertamu adalah menyikapi permintaan yang datang dari orang lain kepada kita, tapi kita merasa bahwa permintaan itu tidak atau kurang relevan. Ketidakberdayaan untuk menolak memenuhi permintaan ini dapat menjadi suatu tekanan yang dahsyat bagi kita. Terkadang, untuk menutupi tekanan itu kita lebih memilih untuk bertele-tele. Akhirnya sikap itu malah dimanfaatkan oleh orang lain sebagai senjata ampuh agar segala permintaannya dapat kita penuhi. Hasilnya, tanpa disadari kita telah "dimakan" bulat-bulat oleh orang itu.

Serangan hiu maupun pari pada dasarnya merupakan sebuah ilustrasi untuk menggambarkan keadaan dalam realitas hidup ini. Ketidakberdayaan kita untuk menolak permintaan orang lain secara tegas dapat membawa kerugian bagi kita sendiri. Sama halnya dengan aktivitas menyelam di laut. Ilustrasi tersebut untuk menggambarkan betapa pada awalnya kita bisa tidak berdaya ketika sedang berada di dalam air. Namun, bukan berarti ketidakberdayaan itu tidak bisa kita ubah. Sebagai manusia, kita diberi akal oleh Allah S.W.T., agar dapat berpikir. Proses berpikir ini merupakan salah satu upaya manusia dalam mempelajari dan memahami pelbagai fenomena dunia yang masuk ke dalam kehidupannya. Begitu pula dengan latihan, merupakan upaya yang sama. Oleh karena itu, menolak permintaan orang lain dengan tegas dapat dilakukan jika kesiapan mental dan kematangan emosi jiwa sudah kita miliki.

Kendati demikian, dengan memiliki mental yang siap dan emosi yang matang bukan berarti bahwa perjalanan kita sudah selesai. Harus disadari bahwa kehidupan ini dipenuhi dengan dinamika. Oleh karena itu kita dituntut untuk senantiasa mengasah kesiapan mental dan kematangan emosi agar dapat menjadi suatu kebiasaan yang lambat laun dapat menjelma menjadi karakter permanen bagi diri kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun