Mohon tunggu...
Dhani Irwanto
Dhani Irwanto Mohon Tunggu... Insinyur - Penulis Buku

Dhani Irwanto adalah seorang insinyur teknik sipil hidro dan lebih dikenal sebagai perencana dan ahli dalam hidrologi, bangunan air, bendungan dan tenaga air, profesi yang melibatkan antar-disiplin yang telah dijalani selama lebih dari tiga dekade. Terlepas dari kehidupan profesionalnya, ia juga seorang peneliti sejarah bangsa-bangsa dan peradaban, didorong oleh lingkungan, kehidupan sosial, budaya dan tradisi di wilayah tempat ia dibesarkan. Kehadirannya yang kuat di internet telah membuatnya terkenal karena gagasannya tentang pra-sejarah dan peradaban kuno. Dhani Irwanto adalah penulis buku "Atlantis: The Lost City is in Java Sea" (2015), "Atlantis: Kota yang Hilang Ada di Laut Jawa" (2016), "Sundaland: Tracing the Cradle of Civilizations" (2019), "Land of Punt: In Search of the Divine Land of the Egyptians" (2019) dan "Taprobana: Classical Knowledge of an Island in the Opposite-Earth (2019)". Dhani Irwanto lahir di Yogyakarta, Indonesia pada tahun 1962. Saat ini ia adalah pemilik dan direktur sebuah perusahaan konsultan yang berlokasi di Bogor, Jawa Barat, Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Atlantis: Kota yang hilang ada di Laut Jawa

2 Mei 2015   14:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:27 26741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Komentar Crantor seperti dikutip oleh Proclus tentang dialognya Plato menyebutkan bahwa  "… menurut mereka, ada tujuh pulau di laut tersebut pada waktu itu ..." dan "... dalam kisaran seribu stadia [185 km]; ... ". Hal ini adalah kira-kira cocok dalam menggambarkan geografi wilayah di Laut Jawa pada masa itu. Meskipun jumlah pulau seperti yang terlihat pada peta tidak persis sama karena proses sedimentasi, penggerusan, pergerakan pantai, pelarutan kapur dan pergerakan tektonik yang tidak diketahui selama 11.600 tahun terakhir, serta penulis membuang pulau-pulau yang kecil, geografi daerah tersebut secara umum adalah cocok. Pernyataan "dalam kisaran seribu stadia [185 km]" secara umum juga cocok. Salah satu pulau tersebut diidentifikasi sebagai Pulau Bawean.

Penulis merekonstruksi Kota Atlantis berdasarkan deskripsi Plato, seperti yang ditunjukkan pada gambar dibawah. Lokasi ini diidentifikasi oleh para pelaut sebagai Gosong Gia atau Annie Florence Reef, sebuah terumbu karang kecil dan muncul ke permukaan pada saat muka air laut surut.

1430558156579484372
1430558156579484372

Keterangan Plato bahwa "… mereka memiliki air mancur, salah satu dingin dan yang lain panas, mengalir di banyak tempat; diagungkan dan digunakan untuk tujuan kenikmatan dan merupakan keunggulan dari sumber air mereka …" adalah cocok. Pulau Bawean yang terletak di Laut Jawa merupakan prototipe dari Pulau Atlantis karena memiliki lingkungan, formasi geologi dan proses tektonik yang sama, serta terletak dekat dengan Pulau Atlantis. Pulau Bawean dan Atlantis keduanya terletak di Busur Bawean, terbentuk di Masa Paleogen dan Neogen melalui proses tektonik yang disebabkan oleh patahan ekstensional di Laut Jawa yang memisahkan Jawa dan Kalimantan. Terdapat beberapa sumber air panas dan dingin di pulau tersebut yang dihasilkan oleh kegiatan tektonik di wilayah itu.

14306065291113629911
14306065291113629911

Keterangan bahwa "… batu yang digunakan dalam karya mereka digali dari bawah pulau tengah, dan dari bawah zona daratan, di luar serta bagian dalam, satu jenis putih, yang lain hitam, dan yang ketiga merah, dan sewaktu digali, pada saat yang sama dilubangi untuk dermaga ganda, memiliki atap terbentuk dari batuan alami …" juga cocok. Batu berwarna putih, hitam dan merah yang disebutkan oleh Plato rupanya mirip dengan batuan beku yang terdapat di Pulau Bawean dengan warna putih (asam), hitam/abu-abu (basa) dan merah (oksida besi), dikenal antara lain dari jenis-jenis Leucite, Phonolite, Trachyte dan Onix. Batuan beku seperti yang di Pulau Bawean adalah keras dan kuat sehingga memiliki kekuatan alam yang cukup untuk berdiri sebagai atap dermaga ganda.

Kedalaman Laut Jawa pada masa Atlantis (11.600 tahun sebelum sekarang) adalah sekitar 20 – 30 meter sehingga cukup memungkinkan untuk navigasi kapal-kapal besar.

Dewa Poseidon

Dewa Poseidon yang dipuja oleh orang Atlantis adalah identik dengan Dewa Baruna, keduanya diberi julukan “Dewa Air” atau “Dewa Laut”. Jadi, Solon menterjemahkan Baruna menjadi Poseidon. Pulau Kalimantan dulunya dikenal dengan nama Warunapura atau tempatnya Dewa Baruna. Nama Borneo yang dikenal oleh orang Barat adalah berasal dari nama Baruna.

Pilar Herkules

Didalam dialognya, Plato tidak menyebut Pilar Herkules adalah bukit-bukit di sekitar Selat Gibraltar; yang terakhir ini baru dikenal belakangan. Selain itu, pendeta Mesir juga menyebutnya “seperti Pilar Herkules”, jadi yang dimaksud bukan pilar yang dikenal oleh orang Athena tersebut. Plato tidak menyebutnya sebagai “pilar” tetapi adalah “tugu” yang berada di perbatasan.

Herkules adalah identik dengan Batara Kala karena keduanya memiliki sifat yang mirip. Rupanya, Solon menterjemahkan “Kala” menjadi “Herkules”. Penulis menghipotesiskan Pilar Herkules sebagai tugu batas yang dihiasi dengan wajah Kala, seperti yang banyak sekali terdapat di Jawa dan Bali.

Orichalcum

Orichalcum dalam bahasa Yunani terdiri dari kata oros (ὄρος, gunung) dan chalkos (χαλκός, bijih), berarti "bijih dari gunung". Kita bisa berspekulasi bahwa orichalcum yang dimaksud oleh Plato sebenarnya adalah zirkon karena mineral ini dapat "digali dari bumi di banyak bagian pulau" atau berlimpah di Kalimantan bagian selatan di mana dataran Atlantis dihipotesiskan. Bahan ini sungguh nilainya kedua setelah emas; memiliki kualitas seperti batu permata dan dikenal sebagai tiruan berlian. Bijih zirkon memerlukan proses ekstraksi, pemurnian dan pemanasan untuk menjadikan produk zircon yang berwarna-warni.

Plato menyebutkan bahwa dinding yang mengelilingi Candi Poseidon dan Cleito ditutupi dan gemerlap dengan "cahaya merah" dari orichalcum. Tidak ada logam atau paduannya yang diketahui berwarna merah sehingga orichalcum adalah bukan logam tetapi mungkin hyacinth (zirkon merah). Setelah jadi, sifatnya berkilau seperti berlian yang tidak dimiliki oleh logam, sehingga Plato menggambarkannya secara khusus dengan kata-kata "gemerlap" dan "bercahaya".

Dalam "lebih berharga pada masa itu dari apa pun kecuali emas", Plato membandingkan orichalcum dengan emas; sedangkan "zirkon" adalah berasal dari Bahasa Persia zargun, yang berarti "berwarna emas", kemudian berubah menjadi "jargoon", dimaksudkan sebagai zircon yang berwarna muda yang kemudian diadaptasi oleh Jerman menjadi Zirkon. Diduga, Plato atau Solon salah menterjemahkan zargun, material yang berwarna emas menjadi orichalcum karena tidak ada kata tersebut dalam bahasa Yunani Kuno.

Korban Kerbau

Pada bagian akhir Critias, dijelaskan bahwa pada setiap lima atau enam tahun sekali berselang-seling, para raja Atlantis berkumpul untuk berdiskusi dan membuat perjanjian, diakhiri dengan persembahan korban banyak kerbau. Kebiasaan korban kerbau untuk persembahan hanya ada di Asia Tenggara dan Asia Tengah bagian selatan. Tentu saja Plato tidak menyebutnya sebagai “kerbau” karena binatang ini hanya terdapat di daerah tersebut, tetapi sebagai binatang yang mirip yaitu “banteng”.

Candi dan Piramida

Selain menhir, meja batu dan patung-patung batu, budaya megalitik Austronesia di Nusantara juga menampilkan struktur piramida berundak yang terdiri dari tanah dan batu, disebut sebagai "punden berundak", dianggap sebagai salah satu karakteristik budaya asli Nusantara. Struktur ini telah ditemukan dan tersebar di seluruh Nusantara sejauh Polinesia. Diantaranya ditemukan di Pegunungan Hyang-Argapura, Lebak Sibedug, Basemah, Pangguyangan, Cisolok dan Gunung Padang; yang terakhir adalah merupakan situs megalitik terbesar dan tertua di Asia Tenggara yaitu 23.000 SM atau lebih tua (Natawidjaja, 2013). Candi Sukuh dan Cetho di Jawa Tengah (tahun masih diperdebatkan) menunjukkan unsur-unsur punden berundak budaya Austronesia yang agak menyerupai piramida di Amerika Tengah. Punden berundak adalah desain dasar Candi Borobudur di Jawa Tengah.

Seperti dikatakan dalam Critias, Candi Poseidon dan Cleito dibangun di pulau pusat yang berupa sebuah bukit, dikelilingi oleh lingkaran-lingkaran air. Untuk mencapai candi dari lingkaran air paling dalam, diperlukan undak pada lereng bukitnya. Hal ini dapat diartikan bahwa candi ini menampilkan struktur piramida berundak bumi-dan-batu, ciri budaya asli Nusantara yang disebut sebagai "punden berundak".

Dhani Irwanto, 2 Mei 2015

Diperbaharui 4 Mei 2015, 5 Mei 2015, 6 Mei 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun