Secara umum, Pasar merupakan salah satu institusi yang menggerakkan dinamika kehidupan ekonomi. Pasar tidak lepas dari berbagai aktivitas yang dilakukan oleh penjual dan pembeli.
Pembeli dapat diklasifikasikan dalam beberapa tipe diantaranya pengunjung yaitu mereka yang datang ke lokasi pasar tanpa mempunyai tujuan untuk melakukan pembelian terhadap sesuatu barang atau jasa.
Sedangkan, Pembeli yaitu mereka yang datang ke lokasi pasar dengan maksud untuk membeli suatu barang atau jasa tetapi. Pelanggan yaitu mereka yang datang ke lokasi pasar dengan maksud membeli sesuatu barang atau jasa dan mempunyai tempat favorit yang sudah sering ia kunjungi.
Pengertian Pasar dalam konteks Barat mengacu pada kata latin mercatus memiliki makna berdagang atau tempat berdagang. Seiring zaman, pengertian tersebut terbagi menjadi tiga hal; pasar dalam arti fisik, pasar sebagai tempat fisik, hak atau ketentuan yang legal tentang suatu pertemuan pada suatu marketplace.
Sedangkan, pasar tradisional dapat diartikan sebagai tempat bertemunya para penjual dan pembeli. Namun, bagi masyarakat Jawa keberadaan pasar tradisional bukan sekedar sebagai tempat jual beli semata, namun pasar tradisional memiliki makna lebih dari itu.
Pasar terkait dengan konsepsi hidup dan sosial budaya. Pasar tidak hanya mewadahi kegiatan ekonomi semata, akan tetapi pelaku juga dapat mencapai tujuan-tujuan lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa pasar tradisional dapat menjadi wadah kegiatan ekonomi, interaksi sosial, dan sarana rekreasi melalui hiruk pikuk pasar maupun produk barang dagangan yang khas.
Tetapi kita bisa memahami pasar tradisional sebagai sebuah pasar yang dikelola secara sederhana dengan bentuk fisik tradisional yang menerapkan system transaksi tawar menawar secara langsung dimana fungsi utamanya adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat baik di desa, kecamatan, dan lainnya
Surabaya merupakan salah satu kota di Indonesia yang mempunyai sejarah yang cukup panjang mengenai aktivitas ekonomi. Di samping memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, wilayah kota juga menjadi pusat kegiatan ekonomi, sosial budaya, dan administrasi pemerintahan.
Ciri yang paling mudah dikenali dari sebuah kota adalah padatnya penduduk yang berdomisili di lingkup kota tersebut dengan adanya ciri -- ciri kota yang meliputi jumlah penduduk yang padat, tersedianya fasilitas umum, dan kegiatan ekonomi perkotaan yang di dominasi dengan kegiatan ekonomi sektor sekunder dan tersier, maka kota juga merupakan pusat pertumbuhan.
Secara struktur geografis Surabaya memang diciptakan sebagai kota  dagang dan kota pelabuhan. Letaknya yang ada dimuara Sungai Berantas dan di Utara Pulau Jawa, dalam perjalannya sejarahnya menjadikan Surabaya sebagai kota pelabuhan kedua terbesar di Indonesia setelah Jakarta, hal ini menjadikan Surabaya sering dihinggapi oleh berbagai kapal dari mancanegara, tak jarang pula mereka singgah dan menetap di Kota ini.
Kawasan Pandegiling jaman dulu terkenal dengan sebutan jalan tamarindelaan (masa hindia belanda). Ditinjau dari ejaan dan tata bahasanya tamarind berasal dari bahasa Inggris yang berarti sebagai buah asem atau lebih familiar disebut asem Jawa bagi orang bumiputera. Pandegiling sendiri kawasan yang cukup tua di kota Surabaya,ini terbukti dengan adanya nama Pandegiling dalam peta lama kota Surabaya.
Saat itu membujur dari timur ke barat,kawasan Pandegiling dipenuhi kebun tebu,sempat pula ada Suikerfabriek atau pabrik gula yang terletak di daerah grudo (sekitar Pandegiling) tapi dipindah oleh pemerintah hindia belanda sendiri karena sebab tertentu.
Didekat Jalan Pandegiling sendiri ada sebuah kawasan yang bernama "Stal" menurut arti bahasa sendiri adalah kandang kuda yang digunakan untuk menyimpan para kuda dan digunakan untuk menarik dokar pada jaman kolonial, di daerah ini juga terdapat stasiun kecil yang digunakan oleh Trem pada masa itu untuk menaik - turunkan penumpang yang ada
Menurut Rony (34), pegiat Sejarah Kota Surabaya menyebutkan bahwa Pandegiling sendiri berasal dari kata "pande" dalam bahasa jawa bisa berarti tukang, seperti pande besi dsb,sedangkan kata "giling" artinya menghancurkan sesuatu dengan cara diputar atau digiling. Terdapat roda penggilas yang terbuat dari kayu.
Roda penggilas ini digerakkan berkali-kali memutari meja penggilingan. Kemudian dijalankan secara manual agar kulit padi dapat terpisah dan menghasilkan beras yang bersih.
Cara demikian masih digunakan di pelosok-pelosok Jawa hingga tahun 60-an. Kala itu para pria yang menekuni pekerjaan tersebut dijuluki Pande Giling atau Tukang Giling.
Oleh Sebab itu masyarakat bumiputera (jaman dulu) selalu menandai atau menamakan sebuah kawasan berdasarkan suatu peristiwa yang dulu pernah terjadi,bertujuan supaya diingat oleh anak cucu secara turun temurun.
Pada era dibawah 1978-an setidaknya ada dua yang tercatat sebagai tempat hiburan di daerah Pandegiling. Pertama Bioskop Darmo, Bioskop yang sangat terkenal di jamannya. Film-film yang diputar kebanyakan menampilkan film-film india. Penonton pun sangat menikmati jalannya film tersebut.
Keunikan yang lain dari bioskop Darmo ialah sepulang dari menonton pasti kukur-kukur atau garuk-garuk. Pasalnya kursi rotan yang diduduki banyak kutu busuk hehe Kedua, Gedung Ludruk atau Wayang orang Setio Pandhowo terletak di pojokan jalan Pandegiling dan Kupang Segunting gang I.
Adapun lakon-lakon yang sering ditampilkan yaitu cerita Sawunggaling, Sarip Tambak Oso, Beranak dalam Kubur dll. Lakon Beranak dalam Kubur sudah lebih dulu populer di zaman tersebut, jauh sebelum bintang Film Suzana memerankan cerita itu di filmnya. Sempat pula berganti nama menjadi Gedung Sri Wandhono namun akhirnya lenyap juga ditelan zaman.
Pasar Pandegiling atau yang lebih dikenal oleh warga sekitar sebagai Pasar Sore ini sendiri berdiri pada tahun 1952. Pada awalnya hanya sedikit para pedagang yang berjualan dan mereka berjualan secara berserakan. Lalu pada saat tahun 1958 banyak sekali pedagang yang datang dari penjuru kota. Hal ini membuat jalan Pandegiling semakin ramai. Maka, para pedagang ini membuat sebuah kesepakatan ketika sore menjelang malam hari pada pukul 6 sore hingga pukul 9 malam para pedagang ini berpusat pada satu titik. Yaitu berlokasi sepanjang 800 meter yang membentang di jalan Pandegiling -- Imam Bonjol. Â Saat siang hari aktivitas di jalan Pandegiling digunakan sebagai jalan untuk dilalui oleh kendaraan bermotor namun pada malam hari digunakan sebagai pasar, inilah rupa dari Jalan Pandegiling.
 Pada tahun 1960an pasar ini diresmikan oleh Raden Soekotjo yang menjabat sebagai walikota Surabaya periode (1965 -- 1974). Setiap kebijakan yang Walikota Soekotjo ambil, beliau juga selalu berpedoman pada program Pembangunan Lima Tahun (PELITA). Di antaranya, seperti melanjutkan rehabilitasi dan peningkatan kapasitas serta kualitas perindustrian dalam rangka mewujudkan kota dengan Industrial Estate-nya, perdagangan, pertanian, maupun sektor perekonomian lainnya. PELITA pada periode I tahun 1969-1974 juga menjadikan Surabaya sebagai pusat pewilayahan dalam kawasan "GERBANGKERTASUSILA". Hal ini kemudian yang dapat meningkatkan pamor Kota Surabaya dalam pengembangan ekonomi, khususnya di antara wilayah-wilayah Jawa Timur lainnya.
Kembali ke Pasar Sore, Para pedagang yang menjajakan dagangannya akan dikenakan karcis harian dari pemkot seharga Rp.500,- dan untuk pedagang yang ingin menitipkan gerobak (rombong) bisa dititipkan di salah satu gudang yang berada di dekat pasar. "Ya kalau dulu, rombongnya dititipkan di Toko Pancing, Untuk harga penitipan rombong bervariasi tergantung dari besar rombongnya gimana." Ujar Mislan (70), salah satu pedagang kaki lima yang pernah berjualan disana. Banyak sekali para pedagang yang menjajakan jualannya di sana. Baik itu produk busana, makanan, sampai barang elektronik dengan harga yang cukup terjangkau. Pada tahun 1990-2007 adalah puncak kejayaan Pasar Sore sebelum digusur oleh pemerintah kota Surabaya. Pada kurun waktu 17 tahun tersebut banyak sekali penjual yang menjajakan jualannya sampai ada yang berganti generasi.
Akan tetapi pada tahun 2008 Pasar Sore mengalami penggusuran oleh satuan polisi pamong praja (satpol PP) pada masa pemerintahan Bambang Dwi H untuk pelebaran jalan. Hal ini sempat membuat kerusuhan di daerah Pandegiling dan menjadikan jalan Pandegiling ditutup oleh pagar manusia yang dibuat oleh para pedagang. Hal ini dilakukan karena para pedagang tidak rela apabila mereka merelakan tanah yang sudah di diami selama bertahun-tahun tersebut. Â Padahal, pemerintah sudah mengeluarkan surat peringatan yang berisi akan menggusur daerah tersebut 5 bulan sebelumnya. Tentu saja hal ini pada akhirnya di menangkan oleh pihak pemerintah.
Pemerintah membuat kesepakatan dengan para pedagang yang berisi "para pedagang tetap boleh berdagang dengan aturan yang disediakan oleh pemerintah kota" Ujar Rony, Pegiat Komunitas Sejarah. Walaupun tetap diperbolehkan berjualan, akan tetapi pasar yang awalnya 2 jalan itu sekarang menjadi 1 jalan saja. Â ada tahun 2010 pemerintah tidak lagi menarik karcis dari pedagang sehingga Banyak pedagang yang tetap berjualan di pasar itu dan banyak juga yang pergi. Walaupun mengalami keadaan seperti itu, banyak juga para warga yang memenuhi kebutuhan hidup dengan mencarinya di Pasar Sore.
MISLAN (70), Seseorang yang kerap di panggil "Cak Lan" ini adalah mantan pedagang di Pasar Sore Pandegiling. Beliau mengaku bahwa sudah berjualan sejak tahun 1965 di Pasar Sore Pandegiling. Bahkan, sebelum berjualan di Pasar Sore Pandegiling beliau berjualan di Pasar Anyar. Beliau berjualan Es Campur untuk menghidupi keluarga. Waktu Aktif sebagai pedagang dulu Beliau mulai menyiapkan dagangan sejak pukul 3 sore.
"Yah,waktu itu gak tentu mas berapa pemasukan yang dapat. Wong namanya juga jualan. Uang datang lalu kembali lagi" tutur Bapak dari 2 anak ini. "Dulu itu waktu sebelum ada peraturan dari pemkot, ya dua jalan itu dibuat menjadi satu. Untuk kios nya berhadap-hadapan. Beda dengan sekarang yang sudah ada pembatas jalan dan yang berjualan Cuma satu jalan aja. Itu semua karena ada program pelebaran jalan dari pemkot tahun 2008" tambahnya. Cak Lan berhenti berjualan pada tahun 2013 dikarenakan tubuhnya sudah tidak kuat lagi untuk berjualan. Beliau sekarang menjalankan tugas rumah tangga sambil melihat acara Ludruk kesayangan nya di televisi lokal.
Begitulah kondisi Pasar Pandegiling / pasar sore di Masa Lampau, memiliki banyak sekali cerita sejarah yang terkandung di sana. Mulai dari gemerlapnya pasar hingga berhenti karena adanya penggusuran lahan agar tempat ini terlihat sebagai tempat yang rindang, dan bersih. Walaupun begitu, kita masih dapat mencari berbagai kebutuhan di Pasar Sore hingga saat ini, karena letaknya yang tidak jauh dari pusat kota, menjadikan Pasar Sore ini mudah diakses oleh semua kalangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H