Islam dan Kemanusiaan
Islam memiliki nilai yang universal dan menempatkan kemanusiaan dalam posisi sangat mapan pada ajaran yang dikandungnya. Islam sendiri turun untuk menjadi penuntun umat manusia dalam menjalankan kehidupan di dunia--tentu dengan nuansa transedental yang berpusat pada Tuhan. Sebagaimana alasan Nabi Muhammad diutus sebagai Rasul adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia (Innama bu'itstu li utammima makarimal akhlaq). Penyempurnaan akhlak tersebut memiliki orientasi pada pembebasan manusia dari tindakan-tindakan jahat dan keji yang bersifat destruktif. Artinya, gagasan yang dibangun adalah gagasan menjadikan manusia menjadi makhluk yang memiliki tindak-tanduk baik dan memiliki amal shoilih dalam perannya sebagai makhluk yang disebut manusia. Hal itu ditujukan pada seluruh manusia (an-nas), bukan sekelompok manusia saja.
Manusia dalam menjalankan ajaran Islam sendiri memiliki dimensi hubungan vertikal dan horizontal (Hablu min Allah, Hablu minan Nas). Hubungan vertikal terejawantah dalam penyembahan melalui ritual keagamaan pada Tuhan sedangkan dimensi horizontal yakni bagaimana manusia berhubungan dengan manusia lain atas dasar beriman kepada Tuhan. Kehorizontalan tersebut menuntut manusia untuk berlaku baik kepada manusia lain.
Dalam konteks Papua, manusia lain tersebut adalah orang Papua itu sendiri. Orang Papua atau Orang Asli Papua adalah orang-orang asli suku Papua yang hidup sejak jaman leluhur dan hari ini ketika konsep nation state berkembang, orang-orang tersebut termasuk bagian dari Indonesia--sekalipun melalui proses integerasi yang culas. Namun, agama Islam melampaui sekat-sekat domestik negara karena merupakan nilai universal yang menyasar umat manusia. Dengan demikian, segala problem sosiologis-antropologis di Papua, sangat bisa dibaca dari kacamata Islam.
Terlebih, terdapat setidaknya dua masalah besar yang dihadapi orang asli Papua hari ini yakni rasisme dan militerisme. Ingatan paling kuat terkait rasisme adalah ketika peristiwa penyerangan aparat terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Aparat tersebut meneriaki monyet kepada mahasiswa dengan nada yang sangat merendahkan. Pun, kasus militerisme banal terjadi di Papua bahkan sejak Papua belum bergabung dengan Indonesia. Sejarah mencatat, milliterisme menciptakan kekerasan yang masif seperti pembunuhan di luar hukum. Amnesty International Indonesia melaporkan bahwa terdapat 95 kasus pembunuhan warga sipil di luar hukum dari tahun 2018 hingga 2021.
Kedua masalah pelik tersebut menjadi liquid bagi pengkerdilan kemanusiaan di Papua. Alih-alih bebas dan merdeka sebagai manusia, rasisme dan militerisme menjadikan orang asli Papua sebagai kelompok yang rentan mengalami kekerasan dan termarjinalkan. Tindakan tersebut tentu bertolak belakang dengan semangat Islam sebagai agama pembebasan. Sebuah agama yang membebaskan manusia dari jerat ketertungkungan dan penindasan. Lalu, bagaimana sebenarnya Islam melihat dua masalah tersebut?
Rasisme dan Militerisme Brutal menurut Islam
Terdapat 4 akar masalah di Papua menrurut LIPI yakni 1. Sejarah dan status politik integrase Papua ke Indonesia; 2. Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian; 3. Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri; 4. Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua. Namun, Rasisme dan Ketidakadilan sebagai sumber akar masalah butir 1-4 (Socratez: 2021).
Rasisme hadir menyasar orang asli Papua dengan begitu masif dan sistematis. Mereka dianggap rendah dan dirupakan sebagai monyet hanya karena kulit mereka berwarna hitam dan berambut keriting. Rasisme tersebut datang dari sesama warga sipil yang berbeda ras dan warna kulit terutama kulit yang lebih cerah sabagaimana rasisme di Eropa--karena kondisi poskolonial turunan Belanda.
Bahkan, rasisme dilakukan oleh negara melalui hukum dan aparaturnya seperti pada pembungkaman ekspresi politik orang Papua dengan pelabelan makar seperti yang dialami oleh Victor Yeimo, seorang aktivis Papua yang ditangkap setelah melakukan demonstrasi anti rasisme sebagai respon rasisme mahasiswa Papua di Surabaya pada 2019. Padahal Ia hanya menggunakan hak kebebasan berpendapat yang dilindungi. Pemidanaan seorang Victor tentu tak lepas dari pikiran politik untuk membungkam suara orang Papua.Â
Berkaitan dengan konteks rasisme, Islam memiliki pandangan yang jelas dalam penolakan terhadap rasisme dan ketidaksetaraan. Q.S. Al-Hujurat Ayat 13 menyebutkan bahwa, "Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa." Ayat tersebut menegaskan bahwa Allah memang sengaja untuk membuat manusia menjadi beragam secara ras, warna kulit, dan suku bangsa serta perbedaan lainnya agar saling mengenal. Artinya, keberagaman adalah suatu kenyataan dan semua berada pada tataran derajat sama. Kemudian terdapat hal yang membedakan adalah taqwa. Ketaqwaan, dan bukan sekadar warna kulit atau bentuk rambut.
Kemudian, pada Q.S. Al-Maidah ayat 8 disebutkan bahwa. "Janganlah sekali-kali kebencianmu kepada satu kaum, mendorong kamu tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena keadilan itu lebih dekat kepada takwa dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." Ayat tersebut mengandung norma bahwa Islam menuntut adanya suatu keadilan, yang mana hal itu kemudian dapat meningkatkan pada ketaqwaan. Bahwa manusia baik yang mengisi peran sebagai pemerintah atau sebagai sesama masyarakat sipil haruslah bersikap adil agar mereka semakin bertaqwa, sekalipun mereka membenci kelompok manusia tertentu dengan sangat. Sesungguhnya orang yang bertaqwalah yang derajatnya kemudian lebih tinggi.
Selanjutnya, terkait militerisme di Papua, sejak 1960-an pendekatan militer sudah dilakukan pemerintah Indonesia hingga hari ini. Dalam buku Jejak Kekerasan Negara dan Militerisme di Tanah Papua, Dr. Socratez menuliskan bahwa pada 1965-1968 di Saosapor, Werur, Kwoor, Fev dan Tambraw, pasukan ABRI memotong leher orang asli Papua dan membawa kepala itu keliling seluruh kampung untuk terror dan intimiasi orang asli Papua agar dalam Pepera 1969 memilih bergabung dengan Indonesia. Dalam perjalanannya, operasi militer digalakkan secara masif oleh pemerintah dengan dalih kedaulatan negara sekalipun nyatanya terdapat sumber daya alam yang menjadi faktor terbesar. Tidak cukup logis ketika pada kenyataannya banyak warga sipil yang menjadi korban. Pada operasi militer di Nduga sejak 2018 hingga 2020 sendiri telah menewaskan 243 warga sipil. 38 perempuan dewasa, 110 anak-anak dan 95 laki-laki dewasa. Kemudian di Intan Jaya pada 19 September 2020 telah tewas seorang Pendeta bernama Yeremia Zanambani dengan luka tembak. Dalam hal ini, pemerintah melakukan kolonialisme modern terhadap orang Papua sehingga mereka hidup dalam ketakutan dan ketertindasan. Islam sebagai agama perdamaian tentu sangat menghindari pendekatan berbau kekerasan tak berdasar dan menindas.
Dalam tafsir Jalalain, Q.S. Al-Maidah ayat 32 bermakna bahwa membunuh satu orang yang tidak bersalah dan tidak berbuat kerusakan di bumi sama saja dengan membunuh semua manusia. Sehingga jelas betul bahwa Islam tidak mendukung pembunuhan di luar hukum sebagaimana terjadi di Papua. Orang asli Papua sebagai warga sipil yang tidak bersalah betul-betul dieliminasi secara membabi buta oleh negara dan Islam jelas menentang hal tersebut.Â
Pun, Islam sangat menjunjung tinggi pendekatan damai selaras dengan kehadirannya sebagai rahmatallil'alamiin. Sebagai rahmat bagi seluruh alam. Penyelesaian dengan jalan perundingan damai sangat dianjurkan agar tidak menelan korban jiwa. Tentu dengan kedewasaan bahwa perundingan tersebut dalam rangka melindungi nyawa manusia (hifdzun-nafs). Alih-alih melanjutkan militerisme brutal, seharusnya pemerintah kemudian dapat membaca bagaimana pendekatan yang baik kepada orang asli Papua. Pembacaan secara historis, sosiologis dan antropologis yang matang sangat perlu dilakukan. Sebagaimana perintah Allah dalam ayat pertama Al-Alaq yang dapat dimaknai, "Bacalah!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H