Mohon tunggu...
Dhama Ady Saputra
Dhama Ady Saputra Mohon Tunggu... Guru - Educator - Writer - Creator - Father

Seorang ayah yang menikmati dunia pendidikan, sejarah, ice breaking, team & character building, creative producing, dan tulis-menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

"Serupa Bolu Gulung"

16 Agustus 2021   11:21 Diperbarui: 16 Agustus 2021   11:39 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humor. Sumber ilustrasi: PEXELS/Gratisography

Teringat perjalananku dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta menuju ke Bandara Internasional Melbourne. Waktu itu aku dan sebelas temanku mendapat tugas ke Australia dengan naik pesawat Garuda Indonesia. Pesawat yang sangat besar dengan kapasitas sekitar 350 penumpang. 

Ada tiga pasang kursi di dalamnya. Dua pasang di kiri, dipisahkan oleh gang kecil, kemudian dua pasang di tengah dan gang kecil lagi, kemudian dua pasang lagi di sisi kanan. 

Kebetulan kursiku agak berjauhan dari teman-temanku sehingga cukup repot jika harus mencari 11 orang di antara 350-an penumpang yang lain. Bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami.

Seingatku, waktu yang dibutuhkan untuk menempuh perjalanan tersebut, sekitar tujuh jam. Membayangkan saja sudah capek ya juga bingung juga mau ngapain. Mau berdiri ataupun jalan-jalan di dalam pesawat kok ya rasanya gimana gitu. Malu dan takut dikira kampungan dan norak.

Untuk mengisi waktu yang sangat panjang tersebut, kegiatannya paling ya tidur, walaupun tidak bisa nyenyak, karena sedikit-sedikit terbangun. Maklum, tidur sambil duduk, walaupun sandaran kursinya empuk dan bisa diatur buka ke depan atau belakang, tapi ya beda dengan tidur di kasur.

Mata ini kembali melek. Mau nonton film, mata sudah capek. Nonton acara komedi, cukup menghibur sih, tapi ya kurang enjoy juga. Mau ketawa ngakak, ingat kanan-kiri banyak penumpang, malu khan.

Kebetulan aku duduk di samping seorang bule cowok. Masih muda sih, kira-kira seumuranku. Dia tampak pergi sendirian, tanpa teman. Sesekali aku meliriknya sambil memperhatikan gerak-geriknya.

Dia mengeluarkan sebuah bantal berbentuk "U" bergambar kartun berwarna biru. "Bantal apa itu ya? aku baru lihat.", pikirku menerka-nerka. Sedetik kemudian, bule itu memasang bantal tersebut di tengkuknya.

 "O... ternyata, itu bantal buat menyangga leher.", hampir saja aku menjerit. Sambil membenahi posisi tidur, sepertinya dia mendapatkan kenyamanan dengan cara seperti itu. 

Pelan-pelan matanya merem, tapi mataku malah jadi terbuka. Sambil membenahi posisi dudukku, aku memperhatikannya. 

"Enak nih kelihatannya." pikirku, "Kenapa aku tidak kepikiran seperti itu ya, maklum lihat bantal seperti itu juga baru kali ini. Boro-boro bawa, bayangin aja tidak."

Aku kembali menatap layar kecil di hadapanku. Headset kupasang lagi. Kali ini sambil mendengarkan lagu. Tanpa sadar, mata ini merem dan tak tahu berapa lama aku terlelap dalam tidurku. Tiba-tiba aku terbangun, melihat jam. 

Ah... masih cukup lama sampai ke Melbourne, rasanya kok tidak sampai-sampai, padahal badan ini sudah pegal semua. Sambil memilih film atau tanyangan yang cocok, aku melihat ke bule itu, ternyata dia sudah bangun.

Dari depan muncullah dua orang pramugari berjalan mendorong kereta yang berisi makanan dan minuman serta beberapa barang lainnya. Saat tiba mendekati deretan kursi kami, si bule membuka meja kecil yang menempel di kursi depannya. Dia membuka ke arahnya. 

Tanpa berpikir panjang, aku ikut-ikutan, dengan gaya sok-sok-an, padahal penasaran juga, ada apa ya? 

Dengan senyum manisnya, salah satu pramugari memberikan piring kecil kepadanya dan kepadaku. "Wah, asyik... makanan nih... kebetulan aku sudah lapar. Sepertinya cacing-cacing dalam perutku mulai berdisco menanti jatah makan mereka." pikirku.

Benar dugaanku, si pramugari mengambil capit makanan dan mengeluarkan benda berwarna putih dan kelihatan masih hangat. 

Kulihat asap tipis menari-nari di atasnya. Sambil melirik, mataku pun tak berhenti melihatnya. Bentuknya serupa bolu dadar gulung. 

Warnanya seputih salju, teksturnya lembut, selembut kapas. Anganku semakin liar, membayangkan makanan yang hangat, lembut, manis dan wow... enak pastinya.

Giliranku tiba, piring kecil di atas mejaku pun mendapat gilirannya, menerima anugerah Tuhan senikmat itu. Lagi-lagi mataku terus tertuju ke benda itu. Perutku makin keroncongan.

Air liurku pun tak berhenti mengalir. Tapi ya, aku sok cool saja, pura-pura biasa saja. Kulihat si bule biasa aja menerima makanan itu. "Halah... paling dia juga ngiler aslinya, cuman lagi pura-pura aja dia." pikirku sambil menahan senyum.

Kedua pramugari sudah melewati kursi kami. Sekarang aku dan si bule itu sama-sama sudah dapat jatah, saatnya mengeksekusi. Aku masih ragu untuk mengambilnya.

"Nunggu si bule aja ah." pikirku. Nanti dikira aku kelaparan kalau ambil lebih dulu. Sejurus kemudian, dia mengambil benda itu. Kupelototi setiap gerak-geriknya. Dia membuka gulungan itu dengan kedua tangannya. Lalu menariknya menjadi lembaran. Tiba-tiba di meletakkan lembaran itu di wajahnya sambil mengusap-usapkannya. 

"OMG!!! ternyata itu bukan bolu dadar gulung!" hampir saja aku berteriak. Ternyata itu handuk hangat untuk menyeka wajah supaya wajah menjadi segar!

Sambil menahan senyum, aku pun membukanya dan meletakkannya ke atas wajahku. Hmmm... lembut dan hangat...

"Maklum, baru pertama..."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun