Ada rangkaian paralel yang tak bisa dielakÂ
Menciptakan semesta yang terjadi begitu saja
Yang setiap saat dilakukan untuk menjadi elok.
Ada masanya diri bermonolog mengisahkan keresahan
Mengungkapkan perasaan dan menyembunyikan peran
Ada hati yang menyimpan ketakutan
Akan terjadinya dialog yang membuyarkan harapan
Lalu pada akhirnya hanya akan menjadi epilog yang tidak diperkirakan
Ada anak remaja di pinggiran kota memandang cakrawala
Di dekat sungai yang memantulkan cahaya rembulan
Mencium aroma senyap pada tiap kalimat yang diceritakan
Ada tatapan mata yang lapar, melihat sepasang kekasih
Saling bersantap rindu dan menyuapi ego di seberang
Ada lampu-lampu kota yang redup dan pecah
Mengisahkan bagaimana hidup di kota yang pongah
Yang tiap-tiap senyum sumringah menutupi gelisah
Ada nama di kota itu yang tak bisa disebut
Setiap ingin disebut nama tapi bukan ia
Pada siapa nama itu akan disebut?
Ada malam dingin yang menguburkan angan
Ingin dikenang namun yang terkenang tidak memikirkan
Ada jejak yang ditinggalkan dalam perjalanan pulang menuju peristirahatan
Menanamkan peristiwa ke hati dan pikiran
Ada siapa? Dan ke siapa saja cerita itu sampai?
Demi waktu, goresan itu akan mengikis setiap rindu yang dibangun  megah
Ada pertanyaan dan pernyataan yang tidak dapat diucap
Dari setiap pertemuan singkat yang mengharu biru
Ada banyak ketidakpastian yang akan kita tulisÂ
Lembar demi lembar dan pada akhirnya kita tidak bisa menulis seperti apa sinopsisnya
Ada banyak prolog yang dimulai dengan mengisahkan akhir
Namun ada banyak pula akhir yang tidak bisa ditemui akan seperti apa
Ada ketiadaan yang akan terjadi
Dan pada akhirnya setiap kejadian akan menjadi tiada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H