Mohon tunggu...
D. Febrian
D. Febrian Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Dictum Sapienti Sat Est

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Hukum di Masa Transisi

11 Februari 2012   02:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:48 1959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagaimana yang dicantumkan dalam poin V pada “Decalaration of the Rights of Man and of Citizens by The National Assembly of France 1889” yang bisa dikatakan adalah pokok dari hak-hak rakyat disebuah negara berbunyi: “Hukum adalah berkewajiban untuk melarang tindakan yang akan melukai dan mengganggu ketenteraman masyarakat. Sesuatu yang tidak dilarang oleh hukum maka hal tersebut tidaklah ter larang untuk dilakukan; tidak juga seseorang boleh dipaksa untuk melakukan suatu tindakan yang mana oleh hukum tidak diperintahkan untuk dilakukan.”

c. Psikologi.
Psikologi yang harus dipertimbangkan dalam pembentukan transitional justice tersebut adalah psikologi humanisme. Yang beberapa postulatnya sangat erat berkaitan dengan kemanusiaan itu sendiri, antara lain:
1.    Manusia, sebagai manusia mengatasi seluruh komponen kemanusiaan tersebut, mereka tidak boleh diperlakukan sebagai komponen atau sebagian saja.
2.    Manusia memiliki keberadaannya dalam konteks unik kemanusiaan. Sebagaimana dalam sebuah ekologi kosmis.
3.    Manusia adalah sadar. Dan mereka sadar bahwa mereka itu sadar, sehingga mereka adalah kesadaran. Kesadaran manusia selalu meliputi keawasan tentang diri sendiri dalam konteks masyarakat banyak.
4.    Manusia memiliki pilihannya sendiri dan dengan inti mereka bertanggung jawab.
5.    Manusia memiliki keinginan, bertujuan untuk mendapatkan hasil, mereka sadar bahwa mereka menyebabkan peristiwa di masa depan dan mencari makna, nilai dan kreativitas.

Sehingga tidak ada seorang pun yang dapat dipaksa melakukan sesuatu atau dilarang melakukan sesuatu, karena mereka memiliki nurani dan kesadaran kemanusiaan, terkecuali bahwa hukum melarang atau memerintahkan mereka untuk tidak dan melakukan sesuatu.

Manusia telah sadar dan awas, bahwa semenjak mereka ter lahir, manusia telah memiliki sebuah rasa yang takut untuk melakukan kesalahan seta berkeinginan untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan cita-cita mereka sebagai manusia. Dan akan menghukum dirinya sendiri akibat kesalahan atau pelanggaran tersebut. Consciousness adalah fitrah kesadaran manusia. Tidak seorang dapat mengambil hak dasar tersebut dari kemanusiaan Manusia.

III.    TRANSITIONAL JUSTICE

Perangkat hukum di masa peralihan adalah trayektori yang jauh ke depan. Dalam rentang waktu yang relatif singkat, hal ini telah mendominasi perdebatan pada persimpangan antara demokratisasi, hak asasi manusia dan rekonstruksi negara paska konflik.

Transitional justice diartikan sebagai rangkaian proses dan mekanisme yang dilakukan dengan usaha komunal setelah terjadinya konflik yang berskala besar dalam rangka untuk menjamin akuntabilitas, keadilan dan memastikan tercapai nya rekonsiliasi. Bias dalam bentuk mekanisme yudisial atau non-yudisial. Dengan keterlibatan internasional atau tidak dan penuntutan individual, reparasi, kompensasi, pencarian fakta( truth seeking) reformasi institusional, pemeriksaan menyeluruh dan penghentian atau kombinasi dari beberapa usaha di atas.

Mengingat begitu kompleks nya transitional justice tersebut sangatlah dibutuhkan kajian maksimal untuk menghasilkan infrastruktur hukum yang dapat menjamin tercapai nya tujuan dari semua usaha tersebut yaitu keadilan.
Bagaimana kita memandang transitional justice pasca konflik yang sangat panjang di Aceh misalnya. Setelah tercapai nya kesepakatan damai, sudahkah seluruh pihak mendapat keadilan. Bagi pihak yang bersalah sehingga terjadinya konflik kemanusiaan tersebut haruslah mendapatkan keadilan dalam bentuk hukuman. Sementara korban dari kebengisan rejim atau pihak terlibat lainnya haruslah mendapatkan kompensasi dari kehilangan dan penderitaan yang mereka alami.
Suatu komitmen pada kejujuran, keadilan dan kemanusiaan harus juga menjadi bagian dari penyelesaian atas meningkatnya tindak kekerasan di Aceh, sebuah provinsi yang memainkan peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sendiri. Sangat jelas bahwa akar dari masalah itu terletak pada penderitaan mendalam yang dirasakan banyak orang Aceh atas tidak adanya keadilan, baik dalam pertanggungjawaban atas kekejaman sekarang dan masa lalu di provinsi itu maupun dalam pembagian kekayaan alam provinsi tersebut. Untunglah, pemerintah Indonesia mulai berusaha menangani persoalan ini, dan untuk itu tidak mungkin hanya dengan penyelesaian militer murni. Suatu pendekatan politik dan sangat penting adalah pendekatan hukum yang berkelanjutan dan menyeluruh untuk menangani keluhan provinsi itu akan benar-benar membawa manfaat. Tindak kekerasan sewenang-wenang di sana oleh pihak mana pun, baik ditujukan kepada pasukan keamanan atau oleh pasukan keamanan itu sendiri, hanya akan mengorbankan rakyat Aceh dan memperpanjang tugas menemukan penyelesaian yang adil.Begitu juga yang terjadi di Timor Leste, di Papua dan di ambon misalnya. Sudahkah ada perangkat hukum yang kontekstual untuk penyelesaiannya.
Bagaimana bentuk legalise yang diinginkan dalam proposal ini sehingga transitional justicese  memiliki bentuk yang konkrit dalam pencarian keadilan tersebut.
A.    Legalisme sebagai pendorong.
Pengaruh nyata hukum dalam kehidupan politik dan sosial yang stabil telah nyata dirasakan. Kekuatan hukum dalam masyarakat industri telah memegang peranan yang teramat penting, masalah sosial, politik dan intelektual selalu berkaitan erat dengan legal world atau juridicial field.  Hukum tidak hanya mengatur perilaku, ini juga membentuk hubungan politik, bahasa bahkan cara kita berpikir. Hukum menghadirkan sebuah cara untuk mengkonseptualisasikan dan artikulasi bagaimana kita menginginkan dunia sosial itu dibentuk. Menumbuhkan keberanian untuk merasionalkan dan mengatur sebuah posisi di atas kesepahaman universal, sehingga membuat manusia bisa mengaplikasikan apa yang ada di dalam imajinasi
Formasi legal yang tumbuh selama masa transisi setelah konflik seperti konstitusi yang baru, penuntutan lokal, internasional atau gabungannya. Bahkan mekanisme pembentukan kembali kebenaran. Sebagain sebuah konteks legalisme menjadi sebuah simbol dan praktek yang penting yang memisahkan waktu dari masa lalu dan usaha untuk menemukan kembali legitimasi dan akuntabilitas. Dan penerapan serta penjaminan hak asasi amnusi memberika peluang untuk kembali mendapatkan perhormatan internasional setelah masa yang terkucilkan.
Sehingga kita bisa menjawab tantangan dari transitional justice yaitu untuk apa transitional justice tersebut dan untuk siapa ini perlu diadakanatau siapa yang akan dilayani oleh transitional justice?
B.    Legalisme diyakini sebagai kemenangan Hak Asasi Manusia
Lembaga-lembaga  hak asasi manusia sering untuk mendokumentasikan secara lengkap pelanggaran-pelanggarn yang terjadi di dalam masa konflik. Hal ini dikarenakan tidak dibentuknya terlebih dahulu perangkat hokum yang pasti untuk menjamin tercapainya hasil yang maksimal.
The Thriumph of Human Rights atau kemenangan Hak Asasi Manusia menjadi semacam senjata  tambahan untuk dimasukkan kedalam legalisme sehingg hokum dapat menjadi kekuatan yang tidak saja dapat menyelesaikan masalah pasca konflik tetapi juga  menjadi kekuatan preventif untuk pelanggaran di amsa yang akan datang.
C. Mendorong terbentuknya Pidana Sosial.
IV.    PENGEMBANGAN KRIMINOLOGI TRANSITIONAL JUSTICE
Kita akan sepakat jika dikatan bahwa kriminologi sejarahnya adalah berasal dari masyrakat normal (karena tidak mungkin kriminologi itu dibentuk oleh masyrakat penjahat atau pelanggar hokum).  Kriminologi adalah disiplin penemuan sebagaimana yang disampaikan oleh David Downes, sebagai subjek yang bertemu dengan disiplin ilmu yang lainnya. Karena kriminologi berada pada persimpangan yang sibuk antara sosiologi, psikologi, hukum dan filosofi. Sehingga krimologi akan dapat menumbuh kembangkan pemahaman yang lebih mendalam dan untuk mencapai penyelesaian yang maksimal dari transitional justice.
Criminology  memiliki sejarah yang panjang dalam pencarian pemahaman yang lebih baik terhadapa kejahatan, dimana kejahatan adalah fenomena yang dibentuk oleh masyarakat secara social dan politis. Tentu saja para krimolog atau siapapun yang terlibat di dalamnya tidak hanya peduli terhadap kejahatan tetapi juga terhadap keadilan itu sendiri.
Kebutuhan untuk kebijakan yang lebih baik, pengadilan yang menyeluruh, penjara atau pemasyarakatan yang lebih baik, keberadaan pidana sosial. Karena tentu saja tujuan utama dari kriminologi selain pencapaian keadilan tetapi adalah bagaimana pihak yang bersalah dihukum secara pantas sesuai dengan asas legal dan keadilan.

DAFTAR PUSTAKA
Paine, Thomas, “Rights of Man,” Wordsworth Classic of World Literature, Wordsworth Edition, Hertfordshire, 1996
Von Clausewitz, Carl, “On War,”  Penguin Classic, London, 1982
McEvoy, Kieran, Beyond Legalism; Toward Understanding of Transitional Justice, Journal of Law and society, Vol.34 N0. 4, December 2007
Journal of Humanistic Psychology, Vol. 27 No. 2 , 2007
Plato, Dialogues of Plato, Bantam Classic, Bantam Dell, A Division of Random House, New York, May 2006
Plato, Symposium and The Death of Socrates, Wordsworth Classic of World Literature, Wordsworth Edition, Hertfordshire, 1997

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun