Mohon tunggu...
Dina Febiyanti
Dina Febiyanti Mohon Tunggu... Konsultan - Antropolog - penulis

coffee, susu, indomie, memasak, menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Merefleksikan Filsafat 'Stoa' dan 'L.O.A' di Dalam Kehidupan

20 Juli 2023   11:53 Diperbarui: 9 Juli 2024   22:20 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini sangat ramai thread- thread dengan hastag "independent women, wanita karir, women strong women " dan masih banyak lagi yang menyuarakan akan melelahkannya menjadi wanita. Isu feminisme yang sejauh ini sudah merdeka kembali disuarakan perempuan-perempuan di era revolusi industri 4.0. 

Kadang-kadang saya sering menilai bahwa kenapa yaa perempuan zaman sekrang itu sangat sensitif sekali? . Tetapi saya sangat meyakini ada alasan mengapa perempuan-perempuan zaman sekarang begitu sensitif dan emosional. Dulu saya sempat berfikir kenapa wanita yang sudah berumur 25 tahun keatas ketika ditanyak "kapan nikah" seakan akan seperti sedang ditanyain malaikat munkar dan nangkir.

Ketika saya sudah berada di usia tersebut ternyata respon saya pun juga sama, seperti sedang ditanyai oleh malaikat munkar hahahaha. Saya jadi ingat pesan-pesan moral serta tips and trik merespon omongan orang orang terhadap kita di dalam buku filosofi teras karya henry manampiring. Filsafat stoicisme atau stoa mengajarkan kita untuk pintar dalam memilah dan memberi kan respon terhadap hal-hal yang terjadi di dalam kehidupan semesta ini. 

Entah mengapa saya menyadari dan membenarkan yang telah di sampaikan di buku filosofi teras tersebut, bahwa ada banyak sekali manusia zaman sekarang yang suka melebih-lebihkan segalanya. Contohnya ketika ditanyak kapan nikah, kenapa kita harus tertekan dengan pertanyaan tersebut? Kenapa harus merasa stress dan depresi hanya sepenggal pertanyaan yang sederhana tersebut? Saya rasa kita bisa tinggal menjawab " kalau tidak sabtu, mungkin minggu" atau bisa menjawab dengan " doa kan saja ya saya segera menikah". Kadang menjelaskan kerumitan dan cobaan hidup yang kita alamai kepada orang lain hanya membuang buang tenaga.  Sejatinya manusia adalah makhluk yang kepo alias rasa ingin tau yang besar, pasti akan ada terus pertanyaan-pertanyaan yang all out the box dari manusia kepo dan kepingin tau ini. Kalo kata anak zaman sekarang mahh pertanyaan nya bisa di luar prediksi BMKG hahaha

Sepanjang saya hidup selamasek, menikah sering dianggap  sebuah pencapaian hebat yang seakan akan harus di apresiasi di negara ini. Urusan bahagia dan sejahteranya nomor belakang, yang paling penting menikah dulu. Menurut saya sangat klise  dan memiliki arti yang kontradiktif yaa. 

Bahkan tidak sedikit kita sering mendengar banyak kabar  dan cerita cerita buruk dari orang-orang yang sudah berumah tangga yang berakhir tragis. Seseorang yang sudah memiliki kualifikasi standar yang  dirasa sudah cocok dan mampu untuk menikah pun nyata nya masih ada yang gagal, apalagi yang sebenarnya belum lulus standar kualifikasi, hadehhhh.

Emangnya kenapa sih kalau perempuan yang sudah berusia 30 tahun belum menikah? Saya sering kali mendapatkan opini  begini " hati-hati loh kalau perempuan sudah lewat 25 tahun belum juga menikah akan berpotensi tanda tanda sulit menemukan jodoh". Saya heran entah siapa yang menciptkan parameter tersebut. Saya memang menyetujui bahwa usia 25 tahun adalah masa-masa"life quarter crisis" dimana ekspektasi dan hidup dengan realita nya sanga berbanding terbalik, tetapi itu bukan menjadi parameter segalanya. Setiap manusia pasti memiliki start, finish, dab goals nya masing-masing. Ada yang tumbuh dari kecil dililit kesulitan ekonomi, sehingga ketika ia dewasa ingin memutuskan bekerja lebih keras agar terlepas dari kesulitan ekonomi. Ada juga yang bersekolah tinggi sampai profesor karena ingin mengejar cita cita, ada juga yang terlahir memiliki privilage sebagai anak kaya raya sehingga ketika dewasa ia cukup mencari pasangan hidup yang kaya, dan setelah itu tinggal melanjutkan usaha orangtua saja,  dan ada juga yang harus survive begitu keras karena problematik keluarga dan orangtuanya, seperti diterlantarkan, dibuang, dibesarkan di panti asuhan dan lain sebagainya.

Saya yakin terjadi masalah sosial sebagian besar disebabkan karena isu kebudayaan patriarki yang telah ada di negara ini sejak dulu. Budaya patriarki sebagai  penyumbang terbesar kenapa masih banyak orang-orang yang beranggapan bahwa menikah adalah sebuah prestasi hebat. Terus solusinya gimana? dalam kasus seperti ini saya rasa menerapkan prinsip stoa  dalam kehidupan kita akan lebih baik demi menjaga kewarasan diri. Saya tidak mengatakan ya bahwa menikah itu adalah sebuah mimpi buruk, tetapi saya hanya menyampaikan opini bahwa sebagian besar usia dia atas 25 tahun ketika di tanya " kapan nikah" merasa risih, rasa nya seperti ditanya kapan mati hahaha.

Untuk kalian yang belum menikah dan usianya sudah diatas 25 tahun atau bahkan sudah diatas 30 tahun, enjoy for your life!! bukan berarti saya menyuruh kalian untuk menjadi bodo amat mengenai pernikahan yaa.  Buat yang memang memiliki niat untuk menikah, namun belum menemukan pendamping atau sedang dalam tahap mencari cari, semoga niat baik kalian diberi kemudahan dan kelancaran. Mempersiapkan diri dan memperbaiki diri untuk menjadi lebih baik tidak ada salahnya dalam masa masa pencarian ini. Bagi mereka yang tidak memiliki niat untuk menikah, tetap terus membenahi diri agar menjadi insan  yang lebih baik juga yang mungkin akan berguna untuk bangsa ini kelak. Jadi parameter untuk menikah itu bukanlah mengubah mu menjadi orang yang lebih baik dalam sekejap mengucap ijab qobul.

Ingat !,  menikah itu takarannya adalah ketika kamu sudah merasa cukup dalam segala aspek, itulah  seharusnya yang di jadikan parameter. Jadi menurut saya kedua- duanya adalah keputusan yang baik. Statement tersebut bisa di perumpamkan seperti A alergi ikan salmon, padahal salmon sangat tinggi kandungan gizi, sedang kan B tidak alergi salmon, maka ia  dapat mengkonsumsi salmon.  Maka A memilih tidak memakan salmon sepanjang hidupnya dan memilih memakan ikan lainnya seperti ikan tuna. Jadi sudah jelas yaa, ada alasan-alasan atas pilihan hidup masing masing orang. Apa pun jalan yang di pilih itu merupkan hak masing masing, tidak perlu di intervensi.

Sampai disini saya rasa teman-teman sudah paham gambaran bagaimana menerapkan filsuf 'stoa' di dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memberi respon yang tidak berlebihan adalah salah satu bentuk kalian sudah menerapkan 'stoa'. 

Bagi saya "Respon" dan "kendali"adalah  dua hal yang berbeda tetapi memiliki tujuan yang sama, dimana kamu memiliki kebebasan secara penuh untuk merespon orang-orang yang sekiranya kamu rasa tidak memiliki dampak baik untuk mu. Kamu juga bebas mengendalikan hal hal yang layak di terima/direspon oleh otak mu, tetapi perlu diingat bawah kamu tidak bisa mengendalikan pikiran dan omangan orang lain terhadap mu. Menurut saya hanya respon mu yang bisa kamu kendalikan sepenuhnya. Ketika kamu sudah mampu menerapkan dan memilah mana hal-hal yang perlu untuk direspon, maka kamu juga akan bisa mengendalikan hal hal yang memiliki energi positif dan energi negatif untuk diserap dalam dirimu.

Jadi ketika kamu mendapat pertanyaan -pertanyaan  "kapan nikah, kapan punya anak, kapan kaya, kapan jadi milyader" saya punya tips menjawabnya dengan trik L.O.A " Law of attraction". Ketika pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang merupakan bagian dari harapan mu. Maka respon dengan sebaik mungkin. Misal,

A  : Kamu kapan kaya, sudah kerja bertahun tahun kok gak kaya juga

Maka kamu bisa menjawab sesuai dengan harapan mu. Misalnya kamu juga ingin kaya, berhubung kamu adalah generasi sandwich yang harus menghidupan generasi sebelumnya, dan membuat kamu harus settle down bekerja bertahun tahun namun tak kunjung juga kaya.  Maka kamu bisa jawab dengan begini,

B  : ohh iyaa, atas izin yang Maha kuasa sesegara mungkin saya pasti akan kaya, doakan saja

Cukup beri jawaban yang seperti itu, tidak perlu tersulut emosi dan berusaha menjelaskan bahwa kamu adalah generasi sandwich yang harus menghidupi orangtua dan adik adik mu. Semakin menjelaskan itu sama saja kamu membuang energi sia-sia. Yang memberi pertanyaan tidak akan perduli hal itu, ia hanya butuh bukti nyata atau bahkan ia hanya iseng  kurang kerjaan menanyakan hal tersebut.  

Kita memang tidak akan pernah bisa menghindari pertanyaan-pertanyaan seperti itu selama kita masih hidup di bumi. Yang bisa kamu lakukan adalah bagaimana cara mu merespon nya. Ketika kamu merespon dengan berlebihan maka tidak heran kamu menjadi salah satu korban yang gila akan validasi "mental health" bahkan jadi sosok yang suka self diagnosis dan suka mendramatisir hal hal sederhana dalam hidup menjadi begitu rumit. 

Oleh sebab itu saya memberikan pengetahuan dan opini saya untuk merespon pertanyaan orang orang dengan tips and trik L.O.A (Law of attraction). Seperti contoh argumen di atas yang sudah saya paparkan, Jika kamu ditodong dengan pertanyaan yang sebenarnya kamu harapkan terjadi dalam hidup mu, bahkan kamu sedang memperjuangkan hal itu, maka jawablah dengan sebaik mungkin. Ketika kamu menjawab dengan penuh doa dan harapan, percayalah bahwa apa yang kamu ucapkan dan yang kamu harapkan alam akan senantiasa menarik ucapan dan yang kamu pikirkan akan terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun