Mohon tunggu...
Dexter Ezekiel Karjantoro
Dexter Ezekiel Karjantoro Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Murid

Murid di SMA KANISIUS JAKARTA

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Merajut Harmoni dalam Keberagaman Antara Kolese Kanisius dan Pondok Pesantren

19 November 2024   22:21 Diperbarui: 20 November 2024   04:35 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ekskursi 2024 SMA Kanisius Jakarta di Pondok Pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, Tasikmalaya. Sumber: Tim dokumentasi Pondok Pesantren Al-Furqon

"Perbedaan dalam berbagai hal termasuk aliran dan agama, sebaiknya diterima karena itu bukan sesuatu masalah." -Gus Dur

Perbedaan, sebuah keunikan yang dimiliki negara kami. Sayangnya perbedaan ini sering digunakan untuk memicu konflik. Seharusnya perbedaan ini digunakan sebagai kekuatan bangsa kami. Isu ini tentunya menjadi sebuah masalah yang sangat relevan. Karena perbedaan seharusnya tidak digunakan untuk memisahkan, melainkan jembatan untuk saling memahami dan saling bertoleransi. 

Dalam semangat memupuk harmoni dan saling pengertian antar umat beragama, Kolese Kanisius dan beberapa pondok pesantren dari Bandung hingga Tasikmalaya mengadakan ekskursi lintas agama. 

memperkuat rasa persaudaraan, memperkaya wawasan, dan meruntuhkan stereotip melalui interaksi langsung. Sebuah pertemuan yang bukan hanya menyatukan dua lembaga pendidikan, tetapi juga membuka pintu dialog yang lebih luas untuk masa depan.


Langkah pertama menuju hal yang baru

Pada sebuah pagi yang cerah, para Kanisian dikumpul di sekolah lebih pagi dari biasanya. Karena pada hari itu, kami semua akan mengikuti sebuah kegiatan ekskursi di pondok pesantren. Perjalanan jauh dengan bus, melewati jalan-jalan sempit penuh tikungan tajam. Kita dikelilingi oleh perbukitan hijau, jurang curam, dan hutan lebat. Selama perjalanan, saya memandang keluar jendela. 

Melihat sawah dan perkampungan yang begitu luas. Semua ini merasa sangat asing bagi saya sebagai seorang siswa kota. Setelah sekian lamanya, akhirnya kita sampai di Tasikmalaya, Singaparna. 

Dalam perjalanan, para Kanisian semua mulai merasa gugup. Ini merupakan sebuah pengalaman sangat baru untuk para Kanisian. Para Kanisian yang mayoritas beragama kristiani akan berhidup di sebuah pondok pesantren selama tiga hari, dua malam.  Bagaimana kita akan berinteraksi dengan mereka yang memiliki latar belakang budaya dan agama yang berbeda? Saat tiba, kami semua diberikan sambutan hangat dari para santri. 

Segala rasa ketegangan yang kami semua rasakan ketika tiba langsung lenyap begitu saja. Mereka semua menyambut dan mengajak kami memasuki aulta utama untuk mengikuti sesi perkenalan. Namun, di pikiran saya masih terlintas pertanyaan. Mengapa kegiatan ini dilakukan? Apa tujuan sebenarnya? 

Interaksi pada awal pertemuan antara para Kanisian dengan para santri memang sangat canggung. Kita semua masih malu-malu dan takut salah berkata. Pelan-pelan, kita mulai saling mengenal satu sama lain. 

Kita semua mulai berani berinteraksi dengan terbuka. Pada awalnya, kegiatan ini terpisah dalam dua kelompok. Yaitu kelompok para Kanisian dan kelompok para santri. Tetapi lama-kelamaan, kedua kelompok tersebut mulai menjadi satu kelompok besar.  Kami mulai bertukar pengalaman dan cerita dari latar belakang kami masing-masing. 

Para Kanisian mulai berbagi cerita tentang segala aktivitas yang dilakukan di sekolah seperti ekskul, olahraga, dan berbagai kompetisi. Sebaliknya, para santri menceritakan pengalaman mereka belajar mengaji, tradisi mereka, dan sebagainya. Melalui ini, kami semua semakin sadar bahwa segala bentuk perbedaan latar belakang tidak akan menghambat kemungkinan kami untuk memupuk harmoni.

Hari-hari di pesantren

Selama kegiatan ini, para Kanisian juga diajak untuk belajar adaptasi dengan lingkungan hidup yang berbeda. Pada awalnya, terdapat banyak keluhan dari para Kanisian mengenai gaya hidup di pondok pesantren. Banyak yang mengeluh dengan standar kebersihan yang berbeda. Bahkan ada juga yang tidak berani untuk menggunakan toilet selama 3 hari di pondok pesantren. 

Tetapi pada akhirnya, para Kanisian sadar akan pentingnya bisa adaptasi. Sehingga semua mulai berani untuk menjadi lebih terbuka pada lingkungan di sekitarnya dan keluar dari zona nyamannya.

Ekskursi yang diikuti para Kanisian berlangsung selama tiga hari, dengan berbagai kegiatan yang mempertemukan dua budaya. Salah satu momen paling berkesan adalah ketika sesi bebas. Pada saat ini, para Kanisian dan para santri dipersilakan untuk melakukan apa saja yang mereka inginkan. 

Melalui sesi ini, para Kanisian dan para santri dapat berinteraksi melalui banyak cara. Terdapat beberapa Kanisian dan Santri yang bermain basket, futsal, bulu tangkis, dan juga ada beberapa yang duduk untuk berbincang-bincang dengan para santri saja.

 Suasana terasa hangat ketika semua Kanisian dan santri sangat sibuk dengan kegiatan masing-masing. Banyak ilmu dan pengalaman yang dapat dipelajari dari para Kanisian dan para Santri.

dscf4406-1-673cac8034777c5a7d6295d2.jpg
dscf4406-1-673cac8034777c5a7d6295d2.jpg
Sesi bebas di Pondok Pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, Tasikmalaya. Sumber: Dokumentasi Pribadi

Puncak kegiatan in adalah pada saat hari kedua. Kami semua melakukan perjalanan ke sebuah curug. Selama perjalanan, terlihat bukti bahwa pertemanan kami semua telah menjadi sebuah pertemanan yang sangat erat. Para Kanisian dan para santri bisa saling bertukar tawaan ketika perjalanan. 

Pendakian melalui medan berat menuju curug membuktikan kesediaan para Kanisian dan santri untuk membantu uluran tangan tanpa menoleh perbedaan bersama. Sesampainya di curug, kami semua kecewa dengan betapa sedikitnya air yang keluar dari curug tersebut karena curah hujan yang rendah. Namun, kami semua tetap mensyukuri perjalanan yang kami lalui bersama. Semua kesenangan yang kita miliki akan dihargai selamanya.

Perpisahan yang penuh harapan

Pada hari terakhir, suasana penuh haru menyelimuti aula besar tempat kami berkumpul untuk acara perpisahan. Para santri dan siswa Kolese Kanisius saling berjabat tangan, dan memberikan pelukan. Kami semua menyadari bahwa waktu yang singkat ini telah menciptakan ikatan yang begitu erat.

 Dari rasa tegang ketika pertama kali datang ke pondok pesantren ini, kami semua menjadi sangat sedih harus meninggalkan tempat ini dan semua teman-teman baru kami. Semua berharap bahwa dari pertemuan ini, kita semua dapat menjadi lebih terbuka dan toleran terhadap perbedaan. 

Di akhir acara, kami saling bertukar nomor telepon dan akun media sosial, berjanji untuk tetap berkomunikasi. Sebuah foto bersama menjadi penutup, merekam momen kebersamaan yang tak akan terlupakan. 

Ketika bus kami perlahan meninggalkan pesantren, kami semua melambaikan tangan, melihat para santri berdiri di gerbang melambai kembali dengan senyum. Perjalanan pulang terasa sepi, tetapi hati kami semua penuh dengan rasa syukur atas pengalaman yang telah memperkaya hidup kami.

Pertanyaan awal yang terjawab dari Ekskursi

Segala yang telah para Kanisian alami selama tiga hari ini sangat relevan dengan pesan Gus Dur tentang pluralisme. Ia pernah berkata, "Perbedaan dalam berbagai hal termasuk aliran dan agama, sebaiknya diterima karena itu bukan sesuatu masalah." 

Pesan ini terasa hidup dalam interaksi yang terjalin antara para kanisian dengan para santri. Ekskursi ini memberikan bukti nyata bahwa dialog lintas agama bukan hanya teori, melainkan praktik yang dapat menginspirasi institusi pendidikan lain. Dengan saling belajar dan berbagi, kami membuktikan bahwa perbedaan bukan alasan untuk menjauh, tetapi peluang untuk saling memperkaya. 

Saat bus kami kembali ke Jakarta, kami semua menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya membawa kami ke tempat baru. Tetapi juga memberi perspektif baru. Sebuah pengalaman yang akan terus saya kenang sebagai awal dari persahabatan yang tak terduga, dan semoga abadi.

Seiring berjalannya kegiatan, pertanyaan kami pada awal sudah terjawab. Kami semua mulai menyadari bahwa kegiatan ini bukan sekadar kunjungan biasa, melainkan bagian dari upaya untuk memupuk rasa persaudaraan dan harmoni di tengah keberagaman. 

Indonesia adalah negara yang kaya akan perbedaan, tetapi seringkali perbedaan tersebut menjadi sumber kesalahpahaman. Kesalahpahaman yang seringkali terjadi cenderung menyebabkan sebuah konflik yang dapat berujung pada pertumpahan darah. 

Kegiatan seperti ini penting karena membuka ruang dialog langsung. Kolese Kanisius dan semua pondok pesantren, sebagai institusi dengan tradisi pendidikan yang berbeda, menyumbangkan perspektif unik yang saling melengkapi. Pendidikan Jesuit yang logis dan reflektif bertemu dengan nilai spiritualitas Islam yang mendalam. Kolaborasi ini memberi pelajaran bahwa keberagaman adalah sebuah kekuatan, bukan kelemahan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun