Raisa meringis menahan sakit, terlihat luka lecet di kakinya yang masih basah oleh darah itu, terkena sedikit debu. Itu pasti debu jalanan yang ia lewati untuk sampai di danau ini. Dengan mengayuh sepeda ontel yang lumayan berat itu, ia mengayuhnya dengan sisa tenaga yang ia punya. Danau ini memang menjadi tempat baginya ketika ia sedang dirundung sedih. Gadis berumur 12 tahun ini adalah anak tunggal di keluarganya. Jika pada umumnya anak tunggal seringkali dimanja tapi yang terjadi pada Raisa berbeda 180 derajat. Ia kerap menjadi bulan-bulanan ayahnya yang doyan mabuk dan judi. Tidak hanya itu, ibunya yang bekerja menjadi pembantu rumah tangga juga kerap bersikap keras padanya, cubitan yang hingga membiru atau pukulan yang terasa pedas kerap dirasakan oleh Raisa.
Kali ini ia menangis sesenggukan sambil terbaring di deretan kayu tepi danau itu. “Apa yang salah denganku Tuhan? Hingga aku diberi cobaan sebesar ini? Saat teman-teman seusiaku mendapat perhatian dari orang tuanya. Tapi apa yang terjadi denganku justru sebaliknya, setiap hari aku dimarahi dan dipukuli jika uang hasil jualan cuma sedikit”, ucapnya protes kepada Tuhan atas segala derita yang ia rasakan.
Sehari-hari Raisa berjualan gorengan sepulang sekolah. Raisa menjajakan gorengannya dari rumah ke rumah atau ke pabrik yang jaraknya 1 km dari rumahnya. Kadang-kadang jualannya laris manis tapi kadang-kadang juga hanya laku sedikit karena jika sudah lewat dari 2 jam, gorengannya sudah dingin jadi sudah tidak nikmat lagi untuk disantap.
Sore itu dedaunan pohon tertiup oleh angin, rasanya semilir dan sangat menyejukkan tapi itu tidak dirasakan oleh Raisa hatinya gersang sehingga tak bisa menikmati sejuknya angin itu. Pendaran sinar mentari yang menghasilkan gradasi warna jingga yang indah, baginya bagaikan malam yang gelap gulita dan kelam. Tak ada harapan rasanya untuk hari esok, baginya setiap hari adalah mimpi buruk, lahir dan batin.
Sore telah menjelang petang, Raisa harus cepat pulang jika tidak ingin dimarahi lagi oleh orang tuanya. Pipinya masih basah oleh air mata, matanya sedikit membengkak dan sembab karena menangis terlalu lama. Tak ada wajah ceria di wajah gadis yang sebenarnya terlihat manis itu, yang ada adalah semburat kesedihan dan keputusasaan. Ingin rasanya ia pergi menjauh dari kedua orang tuanya tapi apalah yang bisa ia lakukan sekarang? Ia merasa belum bisa menghidupi dirinya sendiri.
“Assalamu’alaykum”, Raisa memberikan salam ketika sampai di rumah.
“Raisa, darimana saja kamu? Jam segini baru pulang, mau jadi apa kamu ini?”, balas ibunya dengan nada tinggi.
“Ma..ma..maaf Bu, tadi Raisa pergi ke danau Bu”, ujarnya jujur.
“Kalau dikasih tahu orang tua bukannya nurut malah kabur! Dasar pemalas!”, kata ibunya masih dengan nada tinggi dan dengan ringannya memukul paha Raisa berkali-kali.
“Ibu..jangan Bu..sakit Bu..”, teriak Raisa kesakitan
Raisa cepat lari ke kamarnya, ia sudah tidak tahan lagi dengan pukulan ibunya. Ia buka pelan-pelan bagian yang dipukul ibunya tadi. Pahanya masih memar akibat ditendang ayahnya 2 hari lalu, ditambah pukulan ibunya berkali-kali tadi membuatnya kembali menangis kesakitan. Sebenarnya bukan memar dan luka yang ada pada tubuhnya yang ia tangiskan, sama sekali bukan. Bahkan luka seperti itu sering ia dapatkan jika bermain dengan teman-temannya dulu, apakah itu memanjat, berlari, dan sebagainya. Luka di kaki dan sekujur tubuhnya bisa saja hilang dan sembuh, tapi luka di hatinya yang sulit untuk disembuhkan, lukanya sudah terlampau dalam sehingga tak bisa sembuh dalam sekejab.
Malam itu, tepat jam 3 malam, 2 jam setelah ayahnya pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Ketika suasana rumah mulai hening, raisa membuka jendela kamarnya yang terbuat dari papan itu. Malam ini Raisa sudah membulatkan tekat untuk pergi dari rumah, kemana saja yang bisa membuatnya jauh dari kekerasan dan memberinya sedikit ketenangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H