Faktor sosial ekonomi memegang peran krusial dalam membentuk pengalaman individu terhadap depresi dan keinginan untuk bunuh diri. Individu dengan status ekonomi yang lebih rendah sering kali menghadapi tantangan yang lebih besar dalam mengakses layanan kesehatan mental yang memadai. Keterbatasan finansial dapat menghalangi mereka untuk mendapatkan perawatan yang diperlukan, seperti terapi atau konseling, yang sering kali mahal dan tidak selalu tersedia secara luas di daerah-daerah dengan populasi berpenghasilan rendah.Â
Selain itu, kondisi kehidupan yang sulit, seperti kemiskinan, pengangguran, dan tekanan ekonomi yang berkelanjutan, dapat memperburuk tingkat stres dan kecemasan, yang pada akhirnya meningkatkan risiko depresi. Dalam kondisi yang penuh tekanan ini, individu mungkin merasa tidak ada jalan keluar dari kesulitan mereka, yang bisa menyebabkan munculnya pikiran untuk mengakhiri hidup.
Lebih jauh lagi, stigma sosial yang sering melekat pada kemiskinan dapat memperburuk keadaan. Orang-orang dari latar belakang ekonomi yang kurang mampu mungkin merasa malu atau enggan mencari bantuan karena takut dihakimi oleh masyarakat atau dianggap lemah. Stigma ini dapat mencegah individu yang paling membutuhkan bantuan untuk mencari dukungan yang mereka perlukan. Ketika dukungan sosial dan jaringan komunitas yang kuat tidak tersedia, individu dengan latar belakang ekonomi yang kurang beruntung mungkin merasa terisolasi dan kehilangan harapan, yang semuanya merupakan faktor risiko signifikan untuk bunuh diri.
Untuk mengatasi krisis kesehatan mental ini, berbagai solusi dan intervensi perlu diterapkan. Salah satu langkah yang paling penting adalah penyediaan layanan konseling yang lebih mudah diakses, terutama bagi anak muda dan para profesional muda yang menghadapi tekanan tinggi. Layanan konseling ini harus dikelola oleh profesional yang berpengalaman dan dapat diakses tanpa adanya stigma atau rasa malu.Â
Selain itu, edukasi dan peningkatan kesadaran mengenai kesehatan mental sangat diperlukan. Kampanye edukasi tentang pentingnya kesehatan mental harus diperluas, tidak hanya di sekolah dan universitas, tetapi juga di seluruh masyarakat. Pendidikan tentang kesehatan mental harus dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah untuk mengurangi stigma dan mendorong individu untuk mencari bantuan sejak dini.
Lingkungan kerja yang sehat dan seimbang juga sangat penting dalam pencegahan depresi dan bunuh diri. Perusahaan dan institusi pendidikan perlu menciptakan kebijakan yang mendukung keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi, serta memastikan bahwa karyawan dan mahasiswa tidak mengalami tekanan yang berlebihan.Â
Langkah-langkah seperti pengurangan jam kerja yang berlebihan, pemberian cuti yang cukup, dan penciptaan budaya kerja yang mendukung dapat membantu mengurangi risiko depresi.
Pemerintah juga memiliki peran yang sangat penting dalam mengatasi krisis kesehatan mental ini. Kebijakan yang mendukung peningkatan akses ke layanan kesehatan mental, termasuk subsidi untuk layanan konseling dan terapi, sangat diperlukan.Â
Selain itu, pemerintah harus mengembangkan strategi nasional untuk menangani depresi dan bunuh diri di kalangan anak muda, dengan fokus pada pencegahan, deteksi dini, dan intervensi yang efektif.Â
Krisis kesehatan mental di kalangan anak muda Indonesia, terutama yang berkaitan dengan depresi dan keinginan bunuh diri, adalah masalah yang sangat kompleks dan mendesak yang memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak.Â
Data menunjukkan bahwa prevalensi depresi yang tinggi di kalangan anak muda sangat berkaitan dengan peningkatan risiko bunuh diri. Kasus tragis seperti bunuh diri peserta PPDS Anestesi di Undip menyoroti pentingnya dukungan mental yang memadai, terutama di lingkungan yang penuh tekanan.