Di tengah laju modernisasi dan perkembangan teknologi yang pesat, Indonesia dihadapkan pada tantangan besar dalam bidang kesehatan mental, terutama di kalangan anak muda. Data dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 mengungkapkan bahwa 61% anak muda yang mengalami depresi telah berpikir untuk mengakhiri hidup dalam satu bulan terakhir, sebuah angka yang sangat mengkhawatirkan dan menunjukkan bahwa depresi kini telah menjadi salah satu masalah kesehatan yang paling mendesak di negeri ini.Â
Kasus tragis bunuh diri yang melibatkan seorang peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi di Universitas Diponegoro (Undip) baru-baru ini semakin mempertegas betapa seriusnya dampak depresi yang tidak ditangani dengan baik. Artikel opini ini akan mengupas secara mendalam hubungan antara depresi dan keinginan bunuh diri, mengeksplorasi faktor-faktor penyebabnya, serta menawarkan solusi dan intervensi yang dapat membantu mengatasi krisis kesehatan mental ini.
Depresi, yang sering dianggap sebagai gangguan kesehatan mental serius, ditandai oleh perasaan sedih yang mendalam, kehilangan minat terhadap aktivitas sehari-hari, serta penurunan fungsi sosial dan emosional. Kondisi ini bukan sekadar rasa sedih biasa atau kelelahan yang wajar dialami semua orang, melainkan sebuah penyakit yang memerlukan perhatian medis dan psikologis khusus.Â
Di kalangan anak muda, depresi sering kali dipicu oleh tekanan akademis, ketidakpastian tentang masa depan, serta tantangan sosial dan emosional yang mereka hadapi sehari-hari. Berdasarkan data SKI 2023, prevalensi depresi bervariasi di seluruh Indonesia, dengan Provinsi Jawa Barat mencatat angka tertinggi yang mendekati 3,5%.Â
Angka-angka ini mengindikasikan bahwa depresi adalah masalah kesehatan mental yang signifikan di kalangan anak muda. Lebih jauh lagi, data tersebut menunjukkan bahwa depresi sangat berkaitan erat dengan peningkatan risiko bunuh diri, dengan 61% anak muda yang mengalami depresi mengakui bahwa mereka pernah berpikir untuk mengakhiri hidup.
Kasus bunuh diri yang menimpa seorang peserta PPDS Anestesi di Undip adalah contoh yang memilukan dari dampak nyata tekanan luar biasa yang dihadapi para dokter yang sedang menjalani pendidikan spesialisasi. Program pendidikan spesialisasi dalam bidang kedokteran, Â terkenal dengan tuntutan akademis dan profesional yang sangat tinggi.Â
Jam kerja yang panjang, tekanan untuk selalu tampil sempurna dalam situasi yang sering kali mengancam nyawa pasien, dan ekspektasi yang tidak realistis dari lingkungan sekitar menciptakan kondisi yang sangat rentan terhadap kelelahan fisik dan mental yang ekstrem. Dalam kasus ini, kelelahan yang dialami oleh peserta PPDS tersebut tampaknya tidak tertangani dengan baik, yang pada akhirnya membawa pada keputusan tragis untuk mengakhiri hidup.
Berbagai faktor berkontribusi pada tingginya tingkat depresi dan keinginan bunuh diri di kalangan anak muda, salah satunya adalah tekanan akademis yang luar biasa. Sistem pendidikan yang kompetitif dan penuh dengan tuntutan untuk mencapai kesempurnaan menciptakan lingkungan yang sangat tidak ramah bagi kesehatan mental.Â
Di bidang medis, khususnya, tekanan akademis sering kali diperburuk oleh jam kerja yang sangat panjang dan ekspektasi yang tinggi. Â Selain tekanan akademis, faktor sosial dan budaya juga memainkan peran penting dalam meningkatnya angka depresi dan bunuh diri.Â
Di banyak masyarakat, termasuk di Indonesia, masih ada stigma kuat terhadap masalah kesehatan mental. Banyak individu yang mengalami depresi merasa malu atau enggan mencari bantuan karena takut akan pandangan negatif dari lingkungan sekitar. Kurangnya dukungan sosial dan perasaan terisolasi juga dapat memperburuk kondisi ini.
Di Indonesia, stigma terhadap kesehatan mental masih sangat kuat, sehingga banyak orang lebih memilih untuk menyembunyikan kondisi mereka daripada mencari bantuan yang dibutuhkan.