Mohon tunggu...
Dewi Yuliantika
Dewi Yuliantika Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Interest with politics

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Restorative Justice Jadi Andalan dalam Kasus Kekerasan Seksual

13 November 2022   07:24 Diperbarui: 13 November 2022   07:49 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Indonesia Judicial Research Society (IJRS)

Jumlah kekerasan terhadap perempuan di sepanjang tahun 2020 oleh Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan, sebanyak 14.719 kasus. Angka ini bukan hanya sekadar angka yang mengungkap banyaknya korban atau kasus dari kekerasan terhadap perempuan, melainkan juga fenomena gunung es yang tak pernah usai.

(Sumber: Indonesia Judicial Research Society (IJRS)
(Sumber: Indonesia Judicial Research Society (IJRS)

Perempuan seperti tak punya ruang yang menjamin keamanan dan kenyamanan atas dirinya, baik di ranah privat maupun publik. Mari kita berandai, seberapa banyak setiap harinya perempuan merasa tidak nyaman terhadap tatapan kepada dirinya? Seberapa sering perempuan harus mawas diri ketika di tempat-tempat umum? Seberapa kerasnya suara perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangganya yang seharusnya rumah dan keluarga menjadi tempat paling aman untuk dirinya? Seberapa majunya perempuan harus bertumpu pada dirinya sendiri untuk merasa tenang atas maraknya kasus pelecehan?

Bahkan, fenomena ini juga mengarah pada anak yang mana 1 dari 11 anak perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. Begitu juga, 1 dari 17 anak laki-laki pun terkena imbasnya (IJRS, 2022). Kekerasan Seksual adalah salah satu dari sekian banyak jenis Kekerasan Berbasis Gender (Gender Based Violence).

Masih ingat dengan kasus guru di pondok pesantren daerah Bandung yang mencabuli 21 santri? atau kasus guru SD di Kediri yang mencabuli 8 siswanya dengan akhir damai? Bagaimana dengan pelecehan yang terjadi di Universitas Riau antara dosen dengan mahasiswanya ketika bimbingan? ingat dengan kasus pelecehan yang terjadi oleh pegawai KPI sepanjang 2012-2014 dengan korban mengalami penyiksaan, dipukul hingga ditelanjangi oleh rekannya? Atau yang baru-baru ini terjadi dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil di KemenKop UKM dengan akhir korban dipaksa menikah dengan pelaku?

Seringkali dalam penyelesaiannya masyarakat masih banyak yang menganggap remeh. Ada yang menyelesaikannya dengan cara pelaku membayar ganti rugi dengan uang, ada yang menikahkan korban dengan pelaku, bahkan ada yang dengan cara pelaku membayar denda kepada lingkungan masyarakat. Hal ini juga membuat korban dalam kasus kekerasan seksual memiliki rasa takut untuk melapor, tudingan sebelah mata dari lingkungan, atau bahkan penyelesaian paksa dari pelaku dengan deal-deal tertentu.

Inilah, yang kadang justru salah kaprah penanganannya dengan yang disebut restorative justice. Prinsip dasar keadilan restorative (restorative justice) adalah pemulihan kepada korban yang menderita akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi kepada korban, perdamaian, pelaku melakukan kerja sosial maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Dengan proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku bersama-sama berunding.

Misalnya saja, dalam kasus kekerasan seksual di lembaga KemenKop UKM yang penyelesaian pemerkosaan yang menimpa pegawai honorer dengan kekerasan berlapis yang dialami korban yaitu pemerkosaan, pernikahan paksa, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan di dunia kerja (Siaran Pers Komnas Perempuan, 2022). Pemaksaan pernikahan yang kemudian menjadi alasan dilakukannya penyelesaian melalui mekanisme restorative justice justru menjauhkan korban dari akses atas keadilan dan pemulihan, yang lebih menempatkan korban pada situasi kekerasan, menyebabkan impunitas pada pelaku dan menormalisasi kekerasan seksual.

Keadilan restoratif ini semestinya dimulai dari kepolisian, saat pertama kali perkara disidik. Di kejaksaan dan pengadilan pun demikian. Meskipun, dalam data oleh Survei Barometer Kesetaraan Gender, IJRS dan INFID (2020) mengungkap bahwa 59,9% korban kekerasan seksual lebih memilih melapor ke keluarga daripada ke Polisi (2,6%) dan aparat setempat (1,1%).

Satu hal lagi yang sulit adalah memulihkan derita korban atau traumatis, baik fisik maupun psikis. Sehingga, pendekatan restorative justice tidak bisa dijadikan sebagai jalan keluar satu-satunya penyelesaian kasus kekerasan seksual karena selain tidak bisa melindungi korban, ini akan mengakibatkan munculnya pemikiran atau anggapan bahwa apa yang dilakukan pelaku bisa diselesaikan dengan hanya ganti rugi semata dan pelaku kembali bebas berkeliaran dengan aktivitas normalnya. Ironisnya, dalam kasus-kasus tersebut ada peran penegak hukum, keluarga, dan pejabat pemerintah dalam memuluskan proses perdamaian antara pelaku dan korban. 

Di lain sisi, yang katanya adalah "angin segar" dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual yaitu UU TPKS. Yang mana, sejalan dengan tujuan pada penurunan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak. Selain itu, dengan UU TPKS ini tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan atau restorative justice terkait perkara TPKS, kecuali terhadap pelaku anak sebagaimana yang diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Harapannya, ada pada aktor-aktor penanganan kasus dan peraturan pidananya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun