Coba kalian hitung, ada berapa guru-guru yang hatinya tulus di dunia ini?
Hmmm, kayaknya kalian harus sadar, deh. Walaupun setiap pekerjaan tentu ada tujuannya, faktanya, tak semua guru itu ikhlas, kok. Ada motif tertentu yang menjadi  prima causa di balik perwujudan kalian menjadi seorang guru.
Okelah, tak bisa dipungkiri kalau guru adalah aktor penting yang membuat otak dan akhlak kalian menjadi cerdas, berkelas, dan berkualitas. Woow, kalau sebanyak itu berhasil dipoles semenjak dini, berapa banyak kebaikan yang bakal mengalir untuk bekal nanti, ya gak?
Namun, lihatlah apa yang terjadi pada masa kini. Gak mungkin para guru punya niat yang sama!
Ketika sudah lulus dari S1 Keguruan, kalian mau yang mana dulu?Â
Sebagian orang memulai dari bawah dulu, jadi guru honorer, guru bantu, atau semacamnya lah. Ada juga yang menjadi guru relawan di daerah-daerah perbatasan dan terpencil.
Kalau (seandainya) ditanya: "Kenapa ya kalian mau jadi guru seperti ini, padahal gajinya kecil, bahkan tak dibayar?"
Jawabannya, ada yang jawab karena panggilan hati nurani. Ada pula yang ingin memajukan pendidikan di tanah airnya sendiri. Sebagian lagi menjawab karena ingin membagi ilmunya pada anak negeri.
Hmmmh, idealis sekali. Seperti penulis yang rela tak dibayar dengan materi. Tentu tujuannya karena berbagi!
Akan tetapi, kalau ada jalur lain, yakni jadi PNS, pasti bakal pilih itu. Yakin!
Habis gimana, tuntutan ekonomi semakin besar. Apa-apa mahal, biayanya membumbung langit, REALISTIS AJA LAH! Siapa sih yang ingin hidup sejahtera, bebas himpitan harta yang menyesakkan dada?
Lagipula, gaji yang diterima kalian ketika udah resmi menjadi abdi negara, kalau dibandingkan dengan saat menjadi guru honorer, sangat jauh berbeda. Udah lebih dari cukup kalau kalian sendiri aja, bahkan bisa hedon dengan hasil jerih payahmu itu. HAHAHAHA.
Okelah, tapi, plis lah, besarnya upah janganlah membuat terlena, apalagi yang telah berkeluarga. Pengeluaran untuk berbagai kebutuhan tetaplah ada. Makanya, menabung dan investasi tetaplah penting untuk kehidupan kita. Terus, berbagi ke sesama dan tapak tilas kerohanian janganlah lupa.
Nah, karena besarnya gajinya itu, ada kok guru yang niat sucinya kemudian berbelok demi materi. Ngajarnya aja ogah-ogahan, malah memberi materi kayak datar dan terasa kayak ceramah aja, atau ngasih tugas ke siswa terus pergi.
AWAS, INI PERINGATAN LOH! Kalau kalian yang motifnya seperti ini tak diluruskan lagi, berapa banyak murid-murid yang tak percaya kalian? malah, ada komentar bernada ngeluh: "Ini kok ngajarnya gak mudeng, ya?"
Makanya, banyak murid-murid berlari ke rumah yang lebih baik bagi mereka; bimbingan belajar!
Meskipun kebanyakan bimbel (menurut yang saya baca di berbagai sumber) didirikan oleh bukan guru, bukan berarti tak ada. Ada kok yang pendirinya para guru!
Memang, para guru ini tak puas dengan gaji segitunya saja, malah ingin mengepakkan sayapnya lebih lebar lagi, ingin kaya pokoknya. Dengan modal jutaan untuk ukuran sekarang, bisa kok buat usaha bimbel!
Lagian, kesulitan yang kerap ditemui saat Ujian Nasional dulu (kini telah dihapus), malah dimanfaatkan pemilik bimbel buat menarik murid-muridnya buat belajar di sana.
Ditambah, dengan menggunakan pendekatan  pengajaran yang menyenangkan, metode-metode termudah, rumus kilat, dan lain-lain sebagai senjatanya. Bisa jadi obat bagi muridnya yang tak puas dengan pengajaran di sekolah!
Dan bimbel tak cuma satu, loh. banyak kompetitor yang bawa strateginya masing-masing, dan pastinya, ada biaya kalau mau dapat layanan itu, entah harganya minimalis atau ala sultan.
Ups, ini bukan promosi, ya. Tapi, bisa dilihat, kalau guru berotak kapitalis itu ada, lewat pendirian bimbingan belajar. Sekolah swasta, kampus swasta aja wajib bayar bagi murid-muridnya, itu sudah membuktikan kalau lembaga pendidikan bisa menjadi mesin uang dan bisa bikin kaya pemilik (modal)nya?
Tapi, yang terpenting, jangan sampai ambisimu menguburkan niat muliamu. Guru tetaplah pelita yang kalau tak ada, gelaplah peradaban kita!
Demikianlah penjelasannya, salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H