Siapa sangka, kalau 2020 ditakdirkan sebagai masa depan suram?
Awalnya, harapanku tahun 2020 itu seperti indahnya susunan cantik angka 20 diulang dua kali. Namun, sebelum melangkah di dalamnya, dunia sudah duluan dibuat heboh.
Saat akhir tahun kemarin sedang berapi-api mendukung kontingen Indonesia di SEA Games 2019, virus baru yang tak dikenal saat itu merebak di kota Wuhan, Tiongkok.
Tahun itu akhirnya berganti termasuk Imlek. Alih-alih membuat pesta, malah lockdown---gak bisa kemana-mana. Itu berita yang kuterima di saat yang sama menjalani libur di kampung halaman.
Setelah virus itu menjelajah di berbagai negara termasuk si tetangga, barulah penyebarannya sah---masuk ke Indonesia, bikin rakyatnya huru-hara. Sepertinya ikutan negara-negara lain; panic buying borong barang ini itu saking takutnya.
Syukurlah di kampungku tak terjangkiti perilaku macam itu. Namun, tetap saja harus bersiap dengan "bekal" kalau pagebluk ini menjadi kenyataan. Beli masker, terus sabun cair beserta botolnya. Setidaknya, ini buat perlindungan agar virus tak menjajah rumah dan keluarga kami.
18 Maret 2020, babak baru di hidupku akhirnya dimulai.
Inilah pertama kalinya saya harus menjalani hari demi hari di tengah wabah. Tepatnya, virus Corona. Memang sih, ada SARS, Flu Babi H1N1 dan Flu Burung yang menjangkiti negeri ini, tapi setahuku ketiganya tak pernah sampai di lingkunganku.
Nah, virus SARS-CoV-2---penyebab COVID-19---lambat laun sudah menjejakkan diri di daerahku, membuat sekolah ditutup dan terpaksa belajar di rumah, pengajian pun demikian. Tapi, kok masjid-masjid masih tetap aktif, ya?
Dan, satu hal yang pasti, mengenakan masker itu perlahan menjadi budaya, terus bikin tanda pemisah di berbagai minimarket dan supermarket.