Mohon tunggu...
Nahariyha Dewiwiddie
Nahariyha Dewiwiddie Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis dan Pembelajar

🌺 See also: https://medium.com/@dewiwiddie. ✉ ➡ dewinaharia22@gmail.com 🌺

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Norma dan Adab Bukanlah Warisan!

28 November 2020   22:24 Diperbarui: 29 November 2020   09:34 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Walaupun zaman berbeda, norma dan adab hendaknya tetap dalam asalnya.

Hmmm, sepertinya orang-orang di zaman ini sudah lupa sama adab dan norma, ya. Seolah-olah, tak ada panduan sepanjang perjalanan hidup. Akibatnya, apa yang tak diinginkan, terjadilah.

Kasus pemerkosaan, hubungan yang di luar rambu-rambu, pembunuhan, berbuat lancang pada orang tua, bukankah itu buah dari dicampakkan norma yang telah disepakati oleh para pendahulu?

Nah, bagi yang telah mengalaminya, kok merasa tak pernah diajari adab dan norma semasa kecil? Eits, tunggu dulu, jangan-jangan orang tua sudah pernah memberitahukannya, tapi nyatanya, tak ada yang membekas dalam dirinya!

NORMA DAN ADAB ITU BUKAN WARISAN

Sejak zaman moyang kita Adam, rasa-rasanya dunia manusia sudah punya norma (baik agama, kesopanan, kesusilaan, dan hukum) maupun adab yang disepakati. Jangan membunuh, jangan mencuri, menghormati orang tua, bukankah itu adalah norma-norma yang dibuat oleh pendahulu kita?

Sayangnya, norma dan adab itu bukanlah warisan. Sama dengan bahasa dan ilmu pengetahuan, semuanya bisa dipelajari seturut dengan lingkungannya.

Jadi, se-religius apa pun keluargannya, kalau anaknya berteman akrab dengan peminum, ya anak itu bisa saja "ketularan" minum alkohol. Kecuali kalau anak itu mendapat pendidikan norma dan bersikap protektif saat di luar rumah, mudah-mudahan dia akan selamat.

Akan tetapi, pendidikannya tak cukup dengan khotbah! Sama saja yang dengar, seolah-olah tak dapat apa-apa.

Makanya, seperti yang pernah dijelaskan oleh Ozy V Alandika dalam artikelnya, memang butuh pengalaman dalam mempelajari adab dan norma. Teori tentang jujur, tetap saja butuh praktek kejujuran yang dilakukan oleh anak-anak, bukan?

SELAMA TIDAK MENGETAHUI SEBELUMNYA, KESALAHAN ITU BUKAN AIB

Dalam menjejak langkah dirinya di dunia, pastinya pernah melakukan kesalahan, bukan? Selama belum tahu sebelumnya, tenang, ini bukan aib kok.

Justru itulah, dijadikan pelajaran, bagaimana seharusnya orang itu berperilaku yang baik, dan bisa mendapatkan pengetahuan sekaligus mempelajari adab dan norma.

Misalnya, begini. Orang yang (maaf) buang angin di depan teman-temannya, pasti pada bilang enggak sopan, kan? Dan dirinya itu tidak mengetahuinya sebelum kejadian ini.

Sejak saat itu, dirinya harus menjaga sikap, dan kalau mau buang angin, di tempat yang jauh nan tersembunyi dari orang-orang.

Nah, kalau kayak gini, bertambah deh aturan kesopanan yang  berlaku di tengah masyarakat!

BUTUH PENGERTIAN DALAM MENGERTI ADAB DAN NORMA

Lalu, bagaimana yang sama sekali mengalami adab dan norma, terlebih yang tak melakukan kesalahan?

Bisa juga lewat praktik dalam rumah oleh orang tua; melakukan kesalahan dan hal-hal buruk lalu setelah ada dampaknya, orang tua menegur anaknya, dinasihati bagaimana seharusnya dia melaukannya. Namun, ini bukan mengajarkan untuk menjadi pencuri lah ya, melainkan supaya dia tahu norma dan adab yang telah berlaku atasnya.

Oh ya, bagaimana dengan hal-hal yang berhubungan langsung dengan hukum jika dilanggar normanya, misalnya mencuri barang dagangan orang lain atau fasilitas umum? Tentunya, lain lagi lah ya.

Orang tua harus memberitahu tentang hal ini, akibat dari mencuri. Anak harus membayangkan, apa yang terjadi, jika dia mencuri. Pastinya, dia akan masuk penjara!

Hmmm, penjara yang kayak mana?

Orang tua yang pernah jadi narapidana pasti akan membagikan pengalaman selama di penjara; ruangannya sempit, pintunya berjeruji, dan dikunci--tak bisa keluar. Dia tak bisa bebas ke mana-mana, atau melakukan hal yang dia sukai. 

Dari pengalaman itu, anaknya pasti tak mau kan seperti yang dialami orang tua? Itulah yang memotivasinya untuk berbuat baik menurut adab dan norma. 

Atau boleh juga, dalam praktik pendidikan norma, kalau ketahuan mencuri, langsung dikurung dalam kamar dan tak boleh keluar, setidaknya dua jam. Dengan ini, dia akan sadar, bahwa janganlah mencuri kalau tak ingin kebebasannya direnggut? 

Kalau cara-cara ini diterapkan, niscaya norma dan adab bisa awet selamanya di era digital yang menggeser nilai-nilainya. 

Tapi, ya tergantung anak mudanya. Busa jadi gak mau karena adab dan norma dianggap kuno. 

Eits, ini demi kebaikan dia sendiri. Jikalau tak mau ikuti norma dan adab, yang ada hanyalah rasa sesal dan bersalah yang menenuhi isi hati.

Ya, mudah-mudahan generasi kita punya norma dan adab yang baik seperti orang tua kita dahulu, walau zaman terus melaju ke depan. 

Demikianlah penjelasannya,salam Kompasiana!  

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun