Mohon tunggu...
Nahariyha Dewiwiddie
Nahariyha Dewiwiddie Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis dan Pembelajar

🌺 See also: https://medium.com/@dewiwiddie. ✉ ➡ dewinaharia22@gmail.com 🌺

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara Kemerdekaan, Impian, dan Rasa Penerimaan

16 Agustus 2020   21:43 Diperbarui: 16 Agustus 2020   22:25 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bangsa pun juga begitu. Ada hak untuk menentukan nasib sendiri.

Ketika Jepang menyerah pada Sekutu tanggal 15 Agustus 1945 dan mengakibatkan kekosongan kekuasaan, apakah bangsa kita punya hak? Tentu saja ada, karena sudah tak ada yang mengontrol daerah jajahannya!

Namun, walaupun kita bebas merancang mimpi, ingin hidup merdeka di negeri orang dan sebagainya dan sebagainya, kalau takdir tidak mengkehendaki demikian, bagaimana?

Tuhan pasti punya rencana yang lebih baik, melebihi apa yang kita mau. Kalaupun sudah mendapatkan pekerjaan yang layak di negara kita, mengapa harus rela bersusah payah ingin berkarier di luar negeri? Bisa jadi lebih susah, lho.

Maka, tak ada jalan yang lebih baik kecuali dengan menerimanya dengan ikhlas. Itu yang terpenting.

Yakni, bersyukur apa yang kita miliki termasuk berkarier di negeri sendiri. Kalau enggak, selamanya tak akan merasa puas dan cukup bagaikan minum yang dahaganya tak hilang-hilang?

Asal tahu saja ya, pada prinsipnya kita yang lahir memiliki kampung halaman, tanah air tempat kita dilahirkan. Selain keluarga, itulah yang selalu ada; rindunya menyertai kemanakah kita pergi dan menetap di manapun.

Lebih-lebih, kalau sudah tinggal berjauhan dari daerah asal; di negeri yang lain. Pastinya, kalau ada rasa cinta pada tanah air, pasti akan cepat-cepat kembali ke pelukannya setelah menyelesaikan misi besar secara tuntas.

Perasaan yang tetap bertaut pada tanah airnya dan ingin membelanya, inilah Nasionalisme. Walaupun, ya seseorang tak bisa mencegah untuk meninggalkan daerah asal, rasa ini tetap ada dan muncul ketika dipertemukan dengan hal-hal yang membangkitkan memori tentang negerinya.

Hmmm, kalaupun rasa ini membuatnya tetap betah berada dalam negaranya, terlepas dari hal buruk yang menyertai. Ditambah, dengan berbagai fakta yang menguatkannya untuk tetap bertahan di negeri ini. Atau, demi keluarga yang menginginkan kita tetap berada di sini.

Apa pun yang terjadi, tetaplah tanah air adalah tempat yang terbaik!

Demikianlah penjelasannya, salam Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun