Mohon tunggu...
Nahariyha Dewiwiddie
Nahariyha Dewiwiddie Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis dan Pembelajar

🌺 See also: https://medium.com/@dewiwiddie. ✉ ➡ dewinaharia22@gmail.com 🌺

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara Kemerdekaan, Impian, dan Rasa Penerimaan

16 Agustus 2020   21:43 Diperbarui: 16 Agustus 2020   22:25 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ya, begitulah dinamika negeri, penduduknya selalu datang dan pergi karena politik dan kondisi. Tak ada yang abadi.

Impian dan Kepindahan

Memang, kepindahan itu hal yang wajar terjadi. Sejak nenek moyang kita sudah lakukan begitu, terutama tiga putra Nuh dan keturunannnya yang akhirnya bermigrasi ke seluruh dunia.

Beraneka ragam faktor yang membuat mereka hijrah ke daerah baru selalu menyertainya. Konflik, daerah yang tandus, sampai menemukan daerah yang lebih nyaman bagaikan surga, itulah yang dibisikkan di pikiran untuk mendorong mereka berpindah.

Terlebih, apalagi sekarang, situasi tak mungkin statis. Buktinya, mereka-mereka ini, manusia zaman sekarang yang akhirnya pindah kewarganegaraan?

Oh ya, impian yang diangankan pada masa lalu bisa jadi penguat untuk ingin tinggal di negeri impiannya.

Seseorang yang tergila-gila akan Korea semasa remaja, berkeinginan suatu saat nanti bisa tinggal di Negeri Ginseng walaupun hanya sekadar bekerja. Ada juga orang yang jatuh cinta dengan Amerika, pindah dan ganti kewarganegaraannya, terus belajar bahasa Inggris dengan logatnya, karena ingin menghilangkan logat dari daerah asalnya!

Ya, begitulah mimpi. Sesuatu yang membuat mereka bersemangat dan gak monoton. Malah, bagi sebagian orang, mimpi itu harus. Biar hidup ada arah dan tujuannya jelas.

Kemerdekaan dan Rasa Penerimaan

Ngomong-ngomong, seperti yang kita tahu, kita ini makhluk yang diberi kemerdekaan. Bebas melakukan hal yang kita mau, asalkan gak kebablasan. Ada batasnya memang.

Berpendapat saja harus dibatasi undang-undang, apalagi kebebasan yang lain? Ada norma-norma yang menilainya, apakah sesuatu itu baik atau buruk, boleh dan tak boleh dilakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun