Dalam terang atau sembunyi, mereka membicarakan tentang diriku.
Lha, bagaimana saya tahu? Dari cerita yang dituturkan oleh tetangga, sebenarnya diriku adalah orang yang cerdas. Pernah dapat ranking 1 di kelas, lagi!
Akan tetapi, tetap saja saya merasa kurang layak menerimanya. Entah kenapa, diriku hanya ingin jadi orang yang biasa-biasa saja, kok.
Di saat teman-temanku berlomba-lomba menuju yang terbaik, yang bakal menggengam bintang di kelas, saya malah menyembunyikan kecerdasanku. Aneh, ya?
Karena, diriku merasa tidak punya kemampuan apa-apa. Pelajaran Matematika kurang pintar, berbanding terbalik dengan teman sebangkuku. Bahasa Inggris, masih kalah juga. Komunikasi, kecakapan dalam tim malah jadi titik lemah.
Oh, betapa mindernya saya saat itu. Terasa dibuang ke sisi yang paling pinggir. Beruntung, saya ikutan ekskul KIR, bahkan sempat meraih juara 1 lomba Karya Ilmiah se-Kabupaten.
Terus, apa guru-guruku tahu sebenarnya potensiku? Gak tahu. Yang berlaku di dunia pendidikan, kalau sudah pintar matematika, bahasa Inggris, dan komputer, barulah disebut orang cerdas.
Di luar itu? Entahlah. Yang penting, ketiganya jadi "dewa" dibanding yang lain. Plus, anak-anak (jurusan) IPA Â dianggap sebagai sebenar-benarnya pelajar. Daripada anak IPS, yang dianggap gadungan.
Ah, diriku gak mempermasalahkan hal itu. Selama anak itu berprestasi dan bisa mengaplikasikan ilmunya dalam kehidupan, itulah yang lebih baik, bukan?
Oh ya, gara-gara enggan membeberkan kepintaranku, ketika diriku menjawab pertanyaan soal Putri Diana yang tewas kecelakaan akhir Agustus 1997. Sseingatku, seluruh kelasku pada kaget dan heran.
Hmmm, kenapa diriku bisa ingat itu? Kan otakku membayangkan apa yang pernah kutonton di berita yang kala itu ditayangkan di televisi!