Tahun ini, 21 April dirayakan dalam sunyi dan sederhana.Â
Sesederhana Kartini yang memperjuangkannya dalam diam dan kurungan bilik pribadinya.
Gak ada 'kan, perayaan pawai busana adat dan kaum wanita berpakaian kebaya seperti tahun-tahun sebelumnya? Yup, karena kita masih dalam suasana kelabu gara-gara virus korona.
Nah, kalau berbicara tentang R.A. Kartini, apa yang terlintas dalam pikiran kalian kalian? Kesetaraan kaum perempuan? Tepat sekali. Beliau memperjuangkan hal itu karena merasa diperlakukan tidak adil semasa kecilnya. Laki-laki saja bisa sekolah tinggi, kok perempuan tidak begitu?
Sayangnya, seperti yang kujelaskan sebelumnya, hari Kartini sudah terlanjur dilekatkan dengan pakaian adat dan kebaya. Wajar dong, ibu kita Kartini mengenakan pakaian itu karena memang pakaian kaum bangsawan (pada masa itu). Â Â Â Â Â Â Â
Namun, di tahun ini, kaum wanita gak harus berpakaian kebaya, kok. Pakaian bebas pun boleh, apalagi di dalam rumah. Yang paling penting, justru inilah kesempatan untuk memperingati hari Kartini secara maknawi.
Lagipula, secara makna, itu lebih baik bagi diri. Terlebih, ketika COVID-19 masih mencengkram seisi bumi.
Yah, di tengah pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berbagai daerah, dan seruan untuk bekerja dari rumah (work from home, WFH), bisa saja kaum perempuan dalam jeratan galau, apalagi yang terbiasa berkelana di luar untuk mencari nafkah.
Tapi, kalau kaum wanita mau meneladani Kartini, harusnya mereka nggak bingung lagi.
Karena, waktu saya membaca (ulang) kisah Kartini yang dijumpai dalam alam maya, hambatan yang dirasakan beliau sudah muncul ketika telah lulus SD untuk kaum Eropa, yang belum genap 13 tahun. Ingin melanjutkan sekolah menengah, ditentang oleh ayahnya. Tak ada pilihan lain, kecuali harus ikut dalam tradisi gadis Jawa (pada saat itu): Pingitan!
Padahal, bisa jadi keadaan di dunia luar saat itu baik-baik saja. Akan tetapi, tetap saja tidak peduli. Namanya tradisi, ya harus dilestarikan lho ya. Di masa-masa awal pingitan yang membuat dirinya tak bisa keluar rumah, rasa kesedihan tak bisa dicegahnya.
Beruntung ya, Kartini punya kakak sebaik Kartono, yang "membekali" beliau dengan buku-buku pemikiran modern. Begitu pun ayahnya, menyediakan bacaan yang sebagian besar berbahasa Belanda.
Satu lagi, keberuntungan Kartini juga bertambah karena sempat belajar di sekolah orang Eropa, beliau punya modal untuk bisa menjamah dan menyelami isi pikiran yang ditinggalkan penulisnya: Bahasa Belanda!
Karena itulah, dengan fasilitas itu, Kartini tak perlu bingung apa yang dilakukannya selama masa "karantina" di rumahnya. Beliau bisa membaca, menulis, dan membuat kerajinan. Bukankah hal ini bisa membuat terasa bebas tak terpenjara, wahai kaum wanita?
Nah, kalau Kartini bisa bebas berkarya walaupun harus berdiam diri di rumah, mengapa kita, kaum perempuan tidak bisa?
Bersyukur, kemajuan teknologi bisa menolong di masa sulit ini. Bisa setor kerjaan ke atasan lewat aplikasi dan internet, bisa. Ikut rapat dan kelas lewat aplikasi Zoom juga boleh. Yang penting, tidak berkumpul secara langsung, bukan?
Kalian bisa juga kok, menekuni hobi di masa pandemi, dan itu banyak banget yang bisa dipilih sesuai dengan minat kalian. Ya, walaupun dalam kondisi tertentu harus keluar rumah seperti berbelanja, tapi, virus korona tetap membatasi kita.
Dan, pada akhirnya, tetaplah rumah, tempat yang terbaik untuk beraktivitas untuk kaum perempuan di masa penyebaran COVID-19 ini, layaknya Kartini yang harus beraktivitas dari rumah selama masa pingitan, menanti untuk dijadikan istri.
Hmmm, kalau begini, ayolah bawalah semangat Kartini dalam mengusir rasa terpenjara dalam rumah, agar kaum wanita bisa bebas berkarya!
Demikian penjelasannya, salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H