Padahal, bisa jadi keadaan di dunia luar saat itu baik-baik saja. Akan tetapi, tetap saja tidak peduli. Namanya tradisi, ya harus dilestarikan lho ya. Di masa-masa awal pingitan yang membuat dirinya tak bisa keluar rumah, rasa kesedihan tak bisa dicegahnya.
Beruntung ya, Kartini punya kakak sebaik Kartono, yang "membekali" beliau dengan buku-buku pemikiran modern. Begitu pun ayahnya, menyediakan bacaan yang sebagian besar berbahasa Belanda.
Satu lagi, keberuntungan Kartini juga bertambah karena sempat belajar di sekolah orang Eropa, beliau punya modal untuk bisa menjamah dan menyelami isi pikiran yang ditinggalkan penulisnya: Bahasa Belanda!
Karena itulah, dengan fasilitas itu, Kartini tak perlu bingung apa yang dilakukannya selama masa "karantina" di rumahnya. Beliau bisa membaca, menulis, dan membuat kerajinan. Bukankah hal ini bisa membuat terasa bebas tak terpenjara, wahai kaum wanita?
Nah, kalau Kartini bisa bebas berkarya walaupun harus berdiam diri di rumah, mengapa kita, kaum perempuan tidak bisa?
Bersyukur, kemajuan teknologi bisa menolong di masa sulit ini. Bisa setor kerjaan ke atasan lewat aplikasi dan internet, bisa. Ikut rapat dan kelas lewat aplikasi Zoom juga boleh. Yang penting, tidak berkumpul secara langsung, bukan?
Kalian bisa juga kok, menekuni hobi di masa pandemi, dan itu banyak banget yang bisa dipilih sesuai dengan minat kalian. Ya, walaupun dalam kondisi tertentu harus keluar rumah seperti berbelanja, tapi, virus korona tetap membatasi kita.
Dan, pada akhirnya, tetaplah rumah, tempat yang terbaik untuk beraktivitas untuk kaum perempuan di masa penyebaran COVID-19 ini, layaknya Kartini yang harus beraktivitas dari rumah selama masa pingitan, menanti untuk dijadikan istri.
Hmmm, kalau begini, ayolah bawalah semangat Kartini dalam mengusir rasa terpenjara dalam rumah, agar kaum wanita bisa bebas berkarya!
Demikian penjelasannya, salam Kompasiana!