Setelah berjalan selangkah lima hari, kurasa ini waktunya buat mengkritisinya.
Iya, apalagi setelah kupantau lewat Twitter, banyak suara keluhan yang terdengar nyaring, di tengah berjalannya program #BelajarDariRumah yang diprakrasai Kemendikbud dan menggandeng TVRI sebagai siaran resminya, demi menekan penyebaran COVID-19 serendah-rendahnya.
Tapi, apakah benar, keluhan-keluhan yang dimaksudkan para pelajar yang menjelma dalam wujud akun-akun di medsos dan curahan isi hati yang ditata dalam rangkaian status mereka?Â
Hmmm, setelah kurenungkan, saya putuskan untuk memantaunya. Ditambah, kuteringat akan 'colekan' mbak Listhia lewat komentarnya, menyarankan untuk me-review siaran pendidikan tersebut. Oke,baiklah!
Dimulai dari pelajaran Matematika Sekolah Dasar kelas 4-6, tentang Pengolahan Data yang tayang hari ini. Memang dari awal diriku bersiap-siap untuk berdiam di hadapan layar kaca. Setelah kutonton, kok rasanya penjelasannya, terlalu cepat, ya?
Hal yang sama terjadi ketika saya nonton pelajaran yang sama; Matematika. Hanya, untuk jenjang SMP yang bertemakan Teorema Phytagoras yang telah ditayangkan kemarin, walaupun hanya sampai dua segmen. Yang kutemukan sama saja: TERLALU CEPAT!
Oh, benar juga apa yang dikeluhkan para siswa!
Berbeda dengan jenjang SMA, yang lagi-lagi saya nonton pelajaran Matematika. Dalam bab Perbandingan Trigonometri yang ditayangkan 16 April lalu, malah diriku senang akan penjelasannya yang tak terlalu cepat. Malah, saya bisa memperhatikan lebih lama lagi, yah meskipun hanya satu segmen karena keterbatasan waktu saya untuk menonton.
Namun, pas masuk penjelasan tentang Frekuensi Harapan, malah saya menemukan hal yang mengecewakan: tulisannya kecil-kecil! (hmmm, pantesan saya "kabur"!) Yang matanya normal malah kewalahan buat memperhatikan materinya, apalagi matanya minus? Sungguh bikin sakit mata.
Habis pembelajaran, langsung kasih soal. Kok gak ada ruang waktu buat bertanya, ya? Lewat telepon, akun medsos, dan sebagainya. Terkesan pendidikan satu arah gitu.Â
Nah, materi pelajaran SMP dan SMA ini, saya nonton lewat rekaman yang diunggah di Youtube, karena akhir-akhir ini jam tayangnya diubah, menjadi 08.00-11.00 WIB, berurutan dari PAUD sampai SMA plus tayangan khusus orang tua dan guru, masing-masing selama 30 menit tanpa diselingi program lain!
Sedangkan, saya baru tahu perubahan jadwalnya, pada kemarin malam, hari di mana saya merenungkan dan mendapatkan inspirasi untuk menuliskan artikel ini.
Lalu, setelah kuamati, apa saja ya, kelemahannya?
Hal utama yang jadi sorotan itu, durasi tayangnya. Menurutku, 30 menit alias setengah jam itu, tidaklah cukup untuk ukuran tayangan edukasi! Iyalah, menayangkan pelajaran kok terasa kejar tayang. Belum lagi dipotong waktunya buat iklan. Apa gak menggangu kosentrasi belajar, coba?
Seingatku, satu jam pelajaran di sekolah itu, setara dengan 45 menit (koreksi ya kalau salah). Tapi, sangat jarang satu pelajaran dipelajari di sekolah hanya dengan satu ukuran jam pelajaran dalam satu minggu. Pada umumnya dua jam pelajaran, itu yang paling sering.
Nah, dua jam pelajaran (2x45 menit), itu sungguh menyita waktu siaran, karena dalam sehari, stasiun TV harus bagi-bagi slot-nya untuk berbagai acara. Apalagi di masa pandemi COVID-19 yang sangat-sangat butuh yang namanya berita akurat dan terpercaya.
Jadi, ditambah setengah jam lagi saja, atau durasinya 1 jam, itu sudah cukup buat siaran pembelajaran untuk jenjang SD, SMP, dan SMA/SMK. Hal yang sama juga dilakukan dalam siaran interaktif Ujian Nasional di TV Edukasi yang kutonton saat SMA dulu. Atau, siaran motivasi yang kudengarkan lewat radio setiap Jum'at pagi.
Baca juga: Belajar dari Rumah Lewat TV? Saya Pernah!
Dengan durasi seperti itu, para guru bisa lebih leluasa lagi buat menyampaikan materinya. Apalagi pelajaran hitung-hitungan yang butuh kesabaran tingkat tinggi untuk menjelaskannya.Â
Dan alangkah lebih baik jika gurunya yang menuliskan pembelajaran secara langsung biar bisa menikmati proses perhitungannya (bukan lewat tampilan tulisan di layar).Â
Terus, ada waktu buat bertanya jika ada kesulitan atau merasa kurang paham lewat telepon di sela-sela acara pembelajaran. Bukankah itu lebih baik?
Oh ya, ada lagi. Menurutku, apakah sebaiknya siaran pembelajaran dilakukan secara langsung oleh guru-gurunya yang hadir di studio, disiarkan secara live? Tapi, mungkinkah hal itu bisa terwujud, gara-gara pemberlakuan PSBB di Jabodetabek?Â
Kalau TVRI dan Kemendikbud mau mempertimbangkan hal itu, bisa jadi siaran edukasi secara live bisa menjadi kenyataan.
Dan satu lagi. Perbaikilah tulisan di layar yang menurutnya bikin menyiksa penglihatan, buatlah tampilan hurufnya supaya lebih nyaman. Juga cara penyampaiannya, harus lebih seru lagi dan alon-alon asal kelakon demi kenyamanan murid-muridnya. Jangan kecepetan!
Semoga masukan dariku bisa dipertimbangkan oleh Mas Menteri, ya!Â
Demikian penjelasannya, salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H