Hmmm, bertahun-tahun diriku sudah bersabar, impianku untuk menonton televisi yang lebih cling harus tertunda karena revisi UU Penyiaran masih tertahan di DPR. Tapi, kini kesabaranku sudah tidak tertahankan lagi. Rasanya ingin kuajak pemirsa setia di seantero Nusantara buat demo, eh malah enggak mungkin.
Ya sudah deh, dirku sampaikan pada Bapak Menteri lewat tulisan aja, ya 'kan?
Oh ya, jauh sebelum itu saya sudah menonton proses migrasi TV analog ke digital di berbagai negara-negara di dunia lewat YouTube, dan saya dapat gambaran bagaimana negara-negara tersebut mengakhiri siaran televisi analog yang menemani pemirsa selama puluhan tahun. Dan apa yang saya dapatkan dan kemudian tuliskan, semoga Bapak Menteri bisa mempertimbangkannya.
***
Nah, sebelum menyelesaikan soal migrasi TV analog ke digital, mumpung RUU Penyiaran yang masih dalam masa perampungan, lebih baik Bapak Menteri sama pemangku kepentingan penyiaran TV harus belajar lebih dahulu sama negara lain dalam berkemas siaran analog untuk segera pindah ke digital.
Apa sih yang dipelajari?
Siaran TV analog dan digital, biarlah bersiaran bareng-bareng. Jangan sampai kayak TVRI yang menurut yang saya dapatkan di Twitter, pemirsanya pada ngeluh sinyalnya hilang. Terus mereka tanya-tanya lagi, jawabannya harus pindah ke Digital yang "masih asing" di mata mereka.
Mengapa sih nggak niru negara-negara tetangga (Singapura dan Malaysia) yang dalam masa transisi menyiarkan siaran analog dan digital bersama-sama? Tapi siaran analognya dibedakan dengan tulisan ANALOG yang diletakkan di dekat logo stasiun TV dan layar "dikecilkan" dengan tempat pemberitahuan migrasi TV analog ke digital beserta nomor telepon yang dihubungi. Ya sekalian buat "numpang" sosialisasi ke pemirsanya, bukan?
Atau seperti yang dilakukan di Jepang, dimana layar televisi diapit oleh "pita hitam"Â untuk memberitahukan perihal pemindahan siaran ke TV digital, seperti ini.