Diriku, memang termasuk umat mayoritas. Namun tetap saja, secara etnis diriku adalah minoritas di tanah Nusantara ini.
Hmmm, kalau dilihat ke belakang ya, ada permasalahan yang dialami oleh saudara-saudara yang menghuni bagian paling timur dari negeri ini, Papua. Ujaran bernada rasis, (mungkin) adalah pemicunya, bahkan sampai menimbulkan tragedi yang meletus di Surabaya, bahkan sampai merembet ke Jayapura dan berbagai daerah lain di Papua dan Papua Barat dalam bentuk gelombang demo.
Terus terang, lewat berita yang disampaikan oleh si layar ajaib ini, menimbulkan prihatin di hati. Perasaan di Papua, adalah perasaanku dan kita juga. Tanah Air kita ini, ibaratnya adalah satu tubuh, jika salah satu bagiannya sakit, ya seluruh raga ini akan merasakan penderitaan juga.
***
Nah, kejadian inilah yang menyentil diri saya untuk merenung, menjadi minoritas di bumi Indonesia ini, tentu saja ada suka-dukanya. Terasa manis, ya. Tapi tak jarang juga, merasakan kepahitan yang berarti, seperti kebebasan (juga kegiatan) yang kadang dibatasi, misal.
Makanya, diriku walaupun termasuk kaum mayoritas secara keyakinan, tak membuatku bersikap arogan dan superior terhadap orang yang berkeyakinan dan bersuku berbeda. Saya juga membela teman yang sama-sama minoritas secara etnis dan agama, bergaul bersama tanpa pilih-pilih teman bahkan saling bersahabat. Diriku juga masih (dan menjaga) berhubungan baik dengan teman lama semasa SD yang telah menjadi biarawati Katolik, mungkin di daerah yang berlainan.
Kok bisa ya?Â
Ya, sebenarnya saya bisa saja bergabung dalam satu kelompok tertentu, tetapi, gara-gara lingkungan masa kecil dan bangku sekolah, juga bermacam-macam darah yang mengalir dalam tubuhku, saya tersadar, bahwa diriku tak bisa keluar dari keberagaman ini. Dan, membuatku paham, bahwa Indonesia ini,amat beragam dan sangat kaya!
Dan, itu terjadi, saat kepulauan Nusantara terbentuk dengan keragaman bentang alamnya, dan hal itu pula yang menciptakan penghuni yang menempatinya, menjadi suku-suku dan budaya yang juga beragam. Ditambah, pengaruh budaya-budaya dan agama yang datang dari luar sepanjang ribuan tahun silam, turut mewarnai khasanah kepulauan yang terangkai di khatulistiwa ini.
Namun, ya semua berjalan sesuai takdirnya. Ada suku-suku yang berjumlah paling banyak, ada juga suku-suku yang populasinya sedikit. Begitu pun dengan kepercayaan yang dianutnya. Tak jarang, saking besarnya kaum minoritas dengan segala gerakannya, tak jarang memunculkan gesekan dengan kelompok lain bila tak ada perundingan yang baik dan perasaan damai, serta saling menghargai, yaa 'kan?
Karena itulah, demi kedamaian yang terus mengabadi di Bumi Pertiwi, bagaimana kalau kita belajar jadi kaum minoritas?
HAH!? Belajar pula?
Iya, karena ada kecenderungan kaum mayoritas itu bersikap sok berkuasa terhadap kelompok minoritas yang lemah, makanya, untuk menangkal itu, kita yang mayoritas harus bersikap, belajar dan merasakan jadi kaum minoritas. Ditambah lagi, kita harus terbuka untuk mengetahui budaya yang berlainan, biar pengetahuan tak sebatas di tempat asalnya, bukan?
Caranya, ya sederhana aja. Cobalah kalian tinggal, bersekolah, dan liburan di suatu tempat, di mana kalian akan merasakan posisinya menjadi minoritas. Ketika wisatawan muslim berlibur di Jepang di mayoritas non-muslim, baru merasakan, betapa tak berdayanya kita menjadi minoritas. Kita akan bersusah payah mencari makanan halal di tengah kuliner negeri Sakura yang banyak menggunakan babi, dan harus tahu jadwal jam shalat di tempat itu dengan berbagai cara, tanpa lantunan adzan.
Begitu pun dengan pelajar yang harus melanjutkan studi di daerah maupun negara lain, yang berlainan provinsi, pulau atau luar negeri yang tentunya punya karakteristik berbeda. Di balik tujuannya yang membentuk karakter mandiri dan memperluas pengalaman dan ilmu, sebenarnya manfaatnya bisa lebih dari itu!
 Di daerah tujuan selama studi, kita bakal merasakan betapa jadi kaum minoritas di sana dengan budaya dan agamanya, kecuali yang bersuku tertentu yang belajar di daerah yang beretnis sama dengannya. Ya, itu akan mendorong diri ini untuk mempelajari dan menyesuaikan diri dengan budaya setempat, dan mengenal seperti apa karakter pada mereka yang berbeda, bukan?
Dengan cara itulah, kita akan mendapat pengetahuan dari tempat itu, yang menumbuhkan rasa kepekaan dan empati jika menghadapi kaum minoritas. Jika ada masalah, ya gunakan pendekatan dengan "kacamata" dan sudut pandang mereka, bukan dengan cara kita yang mayoritas.
Termasuk, ya memberikan fasilitas untuk kaum minoritas itu dalam menjalani kegiatannya seperti sarana beribadah maupun aksesbilitas untuk penyandang disabilitas, misal. Dengan demikian, kaum minoritas merasa dihargai, sehingga tidak akan memicu bentrokan dan konflik yang jelas-jelas merugikan kita sendiri, bener 'kan?
***
Nah, kalau kalian sudah tahu hal itu, mulai saat ini, kita, kaum mayoritas gak usah bertindak seenaknya, deh! Yuk, belajar jadi minoritas; merasakan apa yang dirasakan pada mereka yang "berjumlah kecil" itu, sehingga kita menjadi lebih menghargai apa yang didapatkan dan dirasakan selama ini, di dunia ini, untuk menciptakan kedamaian untuk semua orang.
Oh ya, kita harus sadar diri juga, bahwa kita semua, bangsa Indonesia, terlahir dari satu rahim, Ibu Pertiwi, sehingga kita, anak-anaknya, otomatis jadi bersaudara, ya!
Yuk, marilah hidup kembali rukun, merangkai persatuan dalam untaian Zamrud Khatulistiwa!
Demikianlah penjelasannya, salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H