"Acara ini kebanyakan drama!"
"Udah dibantu, eh malah memecahkan antena"
"Ibu ini kok emosional banget, sih!"
"Time keeper-nya ganti, bikin rusuh!"
Pernah enggak, seumur hidup kalian memerhatikan komentar (yang kata-katanya) "panas" seperti ini, di postingan apa pun?
Kalau ya, selamat! Kalian termasuk dalam kelompok rakyat milenial, atau generasi Z yang datang setelahnya, tentunya dengan ke-khasan yang tak mungkin bisa menjauh dari si gawai yang menjadi "ajudan" yang menemani kalian beraktivitas, ya 'kan?
Walaupun begitu, pasti di waktu luang kalian buka media sosial, bukan? Nah, di linimasa medsos kalian yang sudah dipenuhi komentar-komentar yang beranekaragam, jika sekiranya melihat komentar yang pedas seperti ini, di hati kalian rasanya seperti apa? Resah, miris, atau tak nyaman?
Saya pun begitu. Pada bulan lalu di mana saya sering memantau komentar-komentar yang masuk dari berbagai unggahan foto di Instagram, program TV bernilai kemanusiaan, yang jadi acara kesayanganku semasa SD, justru dinodai dengan komentar-komentar yang tak mengenakkan hati. Bisa dlihat tuh komentar-komentar yang kulampirkan di atas, apa kata-katanya menyejukkan?
Hmmm... sepertinya komentar-komentar seperti ini akan terus ada selama media sosial masih eksis di panggung dunia manusia, di samping berita palsu dan hoaks yang terus berkembang biak. Tak hanya di dunia hiburan, justru di bidang politik inilah yang lebih rentan "dirasuki" virus-virus negatif yang dipancarkan oleh konten-konten sampah.
Lagi pula, tahun ini adalah tahun politik dimana banyak pertarungan para kepala daerah yang tak kalah panasnya dengan pemilihan presiden, 'kan?
Terus, kalau begitu, kita harus bagaimana dong? Takutnya ada kubu yang fanatik pada menjelekkan jagoan lain, itu yang dikhawatirkan.
Yah, daripada terlambat, lebih baik kalian harus tahu apa penyebab di balik itu semua, setelah saya merenungkan dan menyimpulkan apa yang terjadi saat saya memantau di media sosial.
Semuanya, Memang Berawal dari Persepsi....
Ada banyak para ahli yang menjabarkan pengertian persepsi ini, salah satunya dari Leavitt (1978) yang menjelaskan persepsi adalah cara memandang atau mengartikan sesuatu. Lalu, bagaimana ya pengertian umum dari persepsi itu sendiri?
Ternyata, persepsi adalah proses pemahaman atau pemberian makna atas suatu informasi terhadap stimulus. Sedangkan stimulus itu sendiri didapat oleh proses penginderaan terhadap objek, peristiwa, ataupun hubungan-hubungan antar gejala yang selanjutnya diproses oleh otak.
Oh ya, saya pernah membaca artikel Prof Komaruddin tentang hal ini. Intinya, jika persoalan ini dihubungkan dengan dunia media sosial, berarti apa yang dijumpai di medsos, itu (kebanyakan) hanyalah persepsi.
Kita menilai orang tersebut hanya "katanya", sesuai apa yang dilihat dan didengar apa kata orang. Caranya? Ya mereka itu memandang, menduga-duga, lalu disimpulkan sendiri. Terus, hasilnya disebarkan lewat media sosial macam Facebook, Twitter, hingga Instagram.
Ya, Instagram! Seperti yang saya lihat terhadap komentar-komentar yang ditorehkan netizen. Jadi, mereka yang berkomentar kejadian ini adalah rekayasa, orang yang menemani belanja itu judes dan galak, sampai komentar yang sengaja memecahkan barang, itu sebenarnya hanyalah nilai yang didapatkan dari hasil persepsi itu sendiri.
Tapi, apakah penilaian yang didapatkan dari melihat foto atau video, sama dengan apa yang dialami langsung? Menurutku, tentu tidak sama!
Kok bisa sih?
Oke, saya kasih pengandaiannya ya.
Kalau kalian (pernah) baca salah satu bab tertentu pada buku traveling yang tak ada gambar, tentu kita membayangkan obyek wisatanya yang sesuai dengan penggambaran di benak kalian.
Namun, jika kalian langsung mengunjungi obyek wisata yang terdapat pada bab di buku itu, tentu suasana yang kalian dapatkan di obyek wisata itu berbeda sekali dengan imajinasinya, malah kalian akan mendapatkan hal-hal baru saat berwisata di tempat tersebut.
Makanya, "pengalaman" yang didapat hanya membaca atau menonton dari media tentang sesuatu, dibandingkan dengan terjun langsung ke lapangan, pasti akan berbeda rasanya. Yah, kalau sekiranya memang ingin berani merasakan, jika di postingan itu kalian menilainya hanya drama belaka, cobalah kalian terjun dan menyaksikan proses syutingnya, maka kalian akan menilainya begini: "ooooh, ini beneran nyata ya!"
Persepsi Dicampur Pikiran Negatif, Jadilah Komentar yang "Panas"!
Yup, bener banget! Saya rasa, persepsi yang didapatkan ternyata bisa dipengaruhi oleh pikiran negatif. Dan, ketika dua hal ini bergabung jadi satu, jadilah komentar negatif yang pastinya, terasa "panas" di telinga maupun di sanubari.
Oh ya, mengenai hal itu, saya jadi teringat apa yang saya dengarkan dan baca ringkasannya pada talkshow Smart Happiness-nya Arvan Pradiansyah. Kata beliau, hasil penelitian di bidang psikologi positif, 60% pikiran manusia di antaranya adalah negatif. Lebih parahnya lagi, menurut studi yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran di San Francisco, AS, pikiran negatifnya mencapai 80%! Tuuh, apa enggak ngeri ya?
Dan, tak hanya itu saja! Saya pernah membaca salah satu artikel di sini dan memang, ada salah satu faktor yang memfasilitasi untuk bisa berpikir negatif. Ya, si amigdala di otak kita!
Bagian-bagian tersebut, menggunakan dua per tiga dari keseluruhan neuron-neuronnya, untuk mendeteksi hal-hal negatif dan segera menyimpannya dalam memori jangka panjang. Beda dengan hal-hal positif, butuh lebih dari dua belas detik untuk mentransfer kesadaran positif dari memori jangka pendek sampai menyimpannya ke memori jangka panjang!
Makanya, jangan heran kalau kita lebih mudah terdorong untuk berpikiran negatif tentang sesuatu atau orang lain ketimbang berpikiran positif. Bahkan, waktu saya menonton kelanjutan episode lalu dilanjutkan dengan membaca komentarnya, kok saya merasa hal-hal negatif lebih bikin saya penasaran?
Nah, kalau seperti ini, itu adalah naluri kita. Adalah hal yang menjadi bawaan kita untuk membuat hal-hal negatif menjadi sesuatu yang menarik hati di antara banyak hal-hal yang positif, dan mengarahkan kita untuk lebih perhatian terhadap hal-hal negatif itu. Mengapa ya?
Karena, menurut pengamat sosial Devie Rachmawati, sifat seperti ini adalah semacam respon atau pertahanan diri seseorang terhadap hal-hal negatif yang datang pada mereka. Contohnya, orang yang sering menyebarkan gambar bom, justru ingin berbagi kesulitan dan mengingatkan orang, ada bahaya yang sedang mengancam.
Memang sih tujuannya memang positif, tapi kalau enggak dikendalikan, apa yang terjadi? Duuh, pikiran negatif malah bisa jadi bumerang bagi diri sendiri!
***
Oke, kalau melihat dua faktor seperti ini, harusnya kita melakukan apa ya?
Kita, memang seharusnya lebih berhati-hati dalam berkomentar, apalagi katanya kalian mau memerangi komentar panas bersifat negatif dan hoaks yang meresahkan. Kalau memang melihat video, foto, atau membaca tulisan atau komentar dan menemukan hal-hal yang tidak berkenan, tahan dulu!
Lalu, jangan langsung latah berkomentar begini dan begini, melainkan harus mencermati dengan teliti dan berpikir kritis atas apa yang kalian lihat. Kalau misalnya nonton video di Youtube, bisa kok menontonnya lebih cermat lagi dengan "meloncat" adegan yang diinginkan, dengan "memindahkan" durasi yang diinginkan pada bagian seek bar, lalu amati adegannya dengan teliti sebelum menilainya, ok!
Oh ya, satu lagi. kalau memang tidak bisa berkomentar positif di medos, lebih baik diam ya!
Dan, semoga artikel ini bisa berguna buat kalian semua, terutama bagi diriku.
Ya 'kan, teman-teman warganet yang baik!
Demikianlah penjelasannya, salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H